Minggu, 10 Agustus 2008

Setelah KTSP, Apa Lagi?

(Refleksi Hardiknas 2007)


Rakhmat Hidayat

“Ganti menteri ganti kurikulum”. Pameo itu akrab kita dengar setiap pergantian kurikulum di Indonesia. Pepatah itu juga menegaskan bahwa kurikulum bukanlah sesuatu yang given alias taken for granted, tetapi dia adalah hasil dari konstruksi sosial-politik yang saat itu berkuasa. Ini menunjukkan adanya kontinuitas antara kurikulum dengan kekuasaan. Ironisnya, bagi Indonesia, karena kurikulum menjadi komoditas politik yang dikendalikan rezim maka inipula yang kian menjadikan pendidikan kita semakin carut-marut.

Konteks Kekuasaan

Pendidikan pada masa pra kemerdekaan diorientasikan untuk memenuhi kepentingan kekuasaan kolonialisme. Melalui indologie sebuah cara pandang dan pengetahuan yang diproduksi rezim kolonialis untuk memahami dan mengerti masyarakat jajahan dan disana ilmu pengetahuan diorientasikan melayani dan mengabdi kepada kolonialis. Diantaranya bertujuan menghasilan administratur, pamong, juru tulis (klerk), mantri kesehatan. Pada masa itu pendidikan nasional juga dilaksanakan dalam upaya menciptakan nation building dan character building. Pada Orde Lama, kepentingan tersebut masih bertahan. Muatan indoktrinasi sangat terasa dalam atmosfer pendidikan nasional pada saat era Orde Baru terutama penerapan P4 untuk seluruh warga negara.

Pasca Orde Baru, semangatnya adalah membangun tradisi demokrasi bagi masyarakat. Namun demikian, jargon yang diusung rezim Orde Baru adalah ‘nasionalisme’ terus menggema dalam berbagai ranah kehidupan. Semua dimensi kehidupan harus bermuara kepada semangat membangun nasionalisme tersebut. Karena negara berkepentingan dengan semangat nasionalisme, maka strategi yang ampuh dilakukan adalah dengan jalur pendidikan. Dalam pemikiran Tim Dant, term nasionalisme ini dapat bergerak secara dinamis dalam tiga ranah yang berbeda, knowledge, ideology, dan discourse. Awalnya, nasionalisme hanya menjadi pengetahuan, tapi dalam perkembangannya akumulasi kesadaran dari ketidaksadaran menghasilkan ideologi, sampai akhirnya melembaga menjadi discourse. Ignas Kleden menyebutnya tak ada satu disiplin ilmu yang bebas nilai (value free), bebas kepentingan (interest free) dan bebas kekuasaan (power free).

Praktek pendidikan yang dilakukan Orde Baru, jika meminjam Louis Althusser sebenarnya mengalami apa yang disebut ideological state apparatus (ISA), yakni konsep untuk menjelaskan intervensi negara untuk menunjukkan eksistensinya. ISA menyebar di berbagai institusi seperti agama, maupun pendidikan. Orde Baru memandang pendidikan hanya digunakan untuk menegakkan ideologi dominan penguasa. Dengan demikian pendidikan hanya menjadi alat yang mengabdi kepada kepentingan negara, sehingga keberadaan guru, kurikulum, sarana prasarana adalah instrumen untuk melanggengkan kekuasaan negara. Kita masih ingat bagaimana Orde Baru menerapkan penataran P4 untuk semua jenjang pendidikan, tak terkecuali bagi pejabat-pejabat. Kurikulum berbagai mata pelajaran seperti Sejarah, PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) dan PMP (Pendidikan Moral Pancasila) semua dikonstruksi menyampaikan sekaligus melanggengkan kepentingan dan kekuasaan rezim.

Senada dengan Althusser, pergulatan kurikulum di negeri ini jika meminjam konsepsi Foucault menggambarkan dominasi kekuasaan menyebar dalam dunia pendidikan. Menurutnya, konstelasi kekuasaan menyebar dan bekerja dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pendidikan.

Setelah KTSP ?

Seiring dengan pergantian kekuasaan, kurikulum kembali berubah pada masa rezim SBY. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) No 22/2006 tentang Standar Isi Pendidikan (dan No 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan/SKL) menginisiasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan alias KTSP di Indonesia. Terhitung tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan KTSP atau akrab disebut Kurikulum 2006. Kurikulum 2006 memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memerhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar. Ini adalah kurikulum kedua yang diberlakukan pasca Orde Baru tumbang. Sebelumnya, pada rezim Megawati diberlakukan Kurikulum 2004 atau yang akrab disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Semangat KBK terinspirasi dari UU No. 22 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom. Saat itu ada tiga kebijakan penting yang termuat dalam KBK yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Ujian Akhir Nasional (UAN). Yang terakhir ini kemudian menjadi bermasalah dan diprotes banyak pihak terutama pihak guru.

Pada saat Mendiknas Malik Fadjar mengintrodusir KBK semangat yang mencuat adalah reformasi dan otonomi daerah yang berhembus kencang. Sayang, kurikulum ini belum sepenuhnya diterapkan di seluruh daerah tiba-tiba wacana kurikulum baru menghentak sebagian guru yang masih gagap dan gamang menerapkan KBK. Celakanya, di sebagian daerah masih dalam tarap mensosialisasikan KBK kepada para guru yang masih menerapkan Kurikulum 1994. Foucault benar bahwa kekuasaan menyebar dalam berbagai ranah. Dan kurikulum Indonesia tak dapat dilepaskan dari konteks kekuasaan tersebut.

Semangat yang diusung KTSP sebenarnya otonomi pendidikan, artinya setiap institusi pendidikan dasar dan menengah diberikan peluang untuk mengembangkan dan menetapkan KTSP. Keleluasaan dan kebebasan tersebut memang belum sepenuhnya mewarnai peluncuran KTSP, karena masih menyisakan sebuah paradoksal, yakni keharusan menempuh ujian nasional. Jadi, logika yang dibangun pemerintah sama sekali tidak logis. Satu sisi ingin membangun semangat otonomi pendidikan, tetapi di lain pihak nuansa sentralistik masih dipertahankan. Pertanyaannya, untuk kepentingan siapa Ujian Nasional itu diorientasikan ? Jika jawabannya untuk peningkatan kualitas pendidikan, tentu saja pendekatan yang dilakukan bukan dengan jalan UAN yang kentak sentralistik. Alih-alih ingin meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi UAN hanya untuk memenuhi kepentingan penguasa.

Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini sejatinya menjadi refleksi kritis perjalanan pendidikan di negeri ini. Terlalu rumit membicarakan problem pendidikan yang ada. Paling tidak, kata kuncinya adalah paradigmanya harus digeser---Thomas Kuhn menyebutnya paradigm shift---dari mengabdi untuk kekuasaan menjadi mengabdi untuk masyarakat. Pergeseran paradigma ini bukan perkara mudah. Kurikulum, pengembangan SDM kependidikan, pengembangan sarana prasarana, kesejahteraan pendidik menjadi bagian penting dalam pengembangan visi pendidikan yang berorientasi masyarakat. Ironisnya, jika paradigma lama (kekuasaan) masih dominan maka dia akan semakin langgeng seiring dengan penetrasi neoliberal yang semakin menancapkan pengaruhnya di negara-negara dunia ketiga. Dan, ini harus menjadi perhatian bersama. Jadi, kita akan menunggu apakah nasib KTSP sama dengan kurikulum lainnya ?

*****



Tidak ada komentar: