Minggu, 10 Agustus 2008

Memimpikan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta

10 April 2007
Memimpikan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta

SINDO | RAKHMAT HIDAYAT
Mahasiswa S-2 Sosiologi UI & Pengajar Jurusan Sosiologi UNJ

Beberapa kali Gubernur DKI Jaya Sutiyoso mengeluarkan pernyataan untuk segera membangun ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta.Apalagi,setelah banjir besar melanda Jakarta Februari 2007,Sutiyoso rajin melontarkan topik ini.

Tetapi,janji tinggal janji.Krisis RTH di Jakarta seolah tak pernah berakhir,malahan semakin menemukan identitasnya yang lebih canggih.Pembangunan pusat-pusat komersial terus berlangsung.

Krisis RTH
Sebagai kota metropolitan,Jakarta merupakan wajah paradoks pembangunan.Di satu sisi,Jakarta dihadapkan dengan padatnya ruangruang konkret seperti gedung perkantoran atau industri. Sisi yang lain,ruang publik seperti RTH semakin tergusur keberadaannya. Tak heran, RTH di Jakarta hanya tersisa 13%. Akibatnya,Jakarta disebut dengan heat island (daerah panas).

Tergusurnya keberadaan RTH di Jakarta boleh dikatakan berlangsung sejak 1950-an hingga 1970-an,banyak RTH dialihfungsikan menjadi permukiman, bandar udara, industri, jalan raya, pusat perbelanjaan. Logan dan Molotch (Lin and Mele,2005:97-98,Schwab,1992:28) mengungkapkan fenomena itu dengan analisisnya tentang the city as a growth machine.

Akibatnya,pembangunan pusat-pusat komersial seperti shopping mall, plasa, ITC, WTC, dan hypermart tumbuh subur di setiap lokasi strategis. Minimnya RTH juga mengakibatkan menurunnya daya lingkungan hidup di Jakarta. Paling tidak, ada tiga faktor yang menyebabkan itu terjadi.

Pertama, kepadatan penduduk yang tinggi di Jakarta sekitar 11,5 juta jiwa atau 175,6 jiwa per hektare (ha). Ledakan penduduk bukan hanya terjadi di Indonesia,tetapi menjadi masalah global yang dihadapi berbagai negara.

Kedua, menurunnya daya lingkungan hidup di Jakarta juga disebabkan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor sekitar 6,3 juta unit yang menyebabkan polusi udara. Ketiga, maraknya pembangunan gedung-gedung,baik untuk pusat perkantoran, perbelanjaan, hotel, apartemen, perumahan yang kerap menggunakan lahan-lahan yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik,misalnya untuk pemanfaatan taman kota.

Dalam sejarahnya,Jakarta pernah memiliki RTH seluas 32.110,30 ha atau sekitar 49,40% pada 1970-an.Pada pertengahan 1980-an,RTH sudah menyempit menjadi sekitar 36%. Pada 1999,RTH yang masih tersisa hanya mencapai 7000-an ha atau 11%.Sampai akhir 2004,luas RTH yang ada sekitar 6.190 ha atau 9%. Dalam perencanaan tata ruang 2010, Pemprov DKI Jakarta menargetkan memiliki RTH seluas 9.544 ha meliputi berbagai jenis hutan, pemakaman,ruang-ruang yang berfungsi sebagai pengaman,serta lahan pertanian.Idealnya,berdasarkan penelitian Lembaga Bina Lansekap Universitas Trisakti (2003),sebuah kota sebaiknya menggunakan 30% luas wilayahnya untuk RTH.

Hegemoni Kapitalisme
Krisis RTH sebenarnya berkaitan erat dengan struktur ruang perkotaan yang selama ini berkembang di kawasan urban (baca: Jakarta). Problem serius minimnya RTH di kotakota negara dunia ketiga sebenarnya jika menggunakan analisis Manuel Castells merupakan pergulatan kelompok-kelompok sosial yang ada.

Castells mengatakan,kota dibangun oleh struktur sosio-spasial (sosialruang). Analisis Castell paling tidak menjelaskan bahwa tergerusnya RTH merupakan hegemoni dari proyek ambisius kekuatan pemodal yang dalam hal ini didukung oleh birokrasi untuk membangun berbagai pusat-pusat komersial.

Kekuatan pemodal, jika menggunakan perspektif Castell sesungguhnya adalah kelompok dominasi dalam urban society yang berjuang mengonkretkan citra dan visi mereka. Sebagai seorang neomarxisme, Castell menilai kota merupakan area konsumsi bagi setiap individunya. Surbakti (1995:53) menyatakan bahwa Castell menjelaskan kota sebagai unit konsumsi kolektif,yakni setiap orang memperebutkan pengaruh dan kekuasaan satu dengan yang lainnya. Hasilnya, menempatkan manusia sebagai tahanan sistem produksi dan distribusi kapitalisme.

RTH sebagai Ruang Publik
Apa yang sudah dijelaskan di atas, tidak berlebihan jika kualitas ruang terbuka kota menjadi sangat memprihatinkan.Sisi sebaliknya, semakin nyaman dan atraktifnya pusatpusat perbelanjaan.Festival budaya dan karnaval tak lagi digelar di ruang terbuka kota,tapi beralih mengisi atrium pusat perbelanjaan.

Danang Priatmojo,pemerhati perkotaan, menyebutnya evolusi ruang publik di Indonesia. Konsepsi ruang publik sendiri merupakan sebuah kawasan, yakni setiap orang dari berbagai latar belakang,etnis,dan strata sosial bertemu dan berkumpul disatukan oleh kepentingan masing-masing. Habermas mengintroduksi terminologi public sphere. Habermas sendiri menjelaskan ruang publik dengan menyebut beberapa contoh seperti lembaga-lembaga diskusi publik, media komunikasi,rumah minum, klub-klub politik, asosiasi sukarela, warung kopi,termasuk balai kota yang menjadi ruang terjadinya diskusi sosial politik.

Dalam konteks urban sociology,ruang publik dapat dipahami sebagai ruang-ruang terbuka yang terdapat di kawasan perkotaan,di mana setiap orang dengan kepentingannya masing-masing dapat bersinggungan dan melakukan kontak-kontak. Hal itu dapat dijumpai misalnya pada taman kota,hutan kota,dan lain-lain.

Secara sosiologis,gencarnya pembangunan perkotaan di Indonesia yang didominasi oleh kepentingan kapitalisme akan menghasilkan masyarakat yang secara sosial tidak sehat (socially unhealthy society).Oleh karena itu,pemerintah setempat perlu meningkatkan kualitas hidup masyarakat kota tersebut.Dan, membangun hutan kota maupun RTH merupakan sebuah keniscayaan.

Kebutuhan Warga Kota
Ruang publik terbuka merupakan salah satu kebutuhan masyarakat perkotaan saat ini dan itu menjadi paru-paru kota.Di ruang publik terbuka itu,warga dapat bersosialisasi melalu berbagai kegiatan seperti olahraga,bercengkerama, rekreasi,diskusi,pameran/bazar, dan lainnya.Anak-anak mungkin bisa bermain dengan leluasa di bawah teduhnya pohon-pohon yang rimbun. Singkatnya,ini menjadi tempat rekreasi dan olahraga yang menyenangkan tanpa harus mengeluarkan biaya.(*)

Tidak ada komentar: