Minggu, 10 Agustus 2008

Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di Banten:Sebuah Pendekatan Sosiologis


Nelayan sebagai bagian dari masyarakat pesisir merupakan salah satu kelompok sosial yang masih perlu diberdayakan dan harkat hidup mereka perlu diangkat. Lebih-lebih pada krisis ekonomi yang terus berlangsung dewasa ini nelayan tradisional kian terkucil dari lahan mereka. Fakta itu tak terbantahkan jika melihat posisi Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim sejak berabad-abad silam. Namun kesadaran sebagai bangsa maritim masih jauh dari harapan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki perairan terpanjang. Dari total perairan 5,8 juta km2, lebih dari separo atau 3,1 juta km2 merupakan perairan Nusantara (laut wilayah dan teritorial). Adapun sisanya, sekitar 2,7 juta km2, adalah wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Mengingat lebih dari 20 juta kilometer persegi luasnya berupa laut. Bahkan sebanyak lebih kurang 50 juta penduduknya tinggal di kawasan pesisir pantai.

Dalam kaitan ini, pengembangan masyarakat pantai merupakan bagian integral dari pengelolaan sumber pesisir dan laut bagi kemakmuran masyarakatnya, sehingga perlu digunakan suatu pendekatan dimana masyarakat sebagai obyek sekaligus sebagai subyek pembangunan. Sementara, ketertinggalan dalam strategi pengembangan masyarakat pantai, tidak hanya dilihat sebagai masalah sosial dan budaya sehingga perlu perubahan ekstrem dalam sistem sosial atau nilai-nilai budaya, melainkan lebih sebagai masalah integral. Oleh karena itu, penyelesaiannya perlu dilakukan melalui strategi yang komprehensif dengan menempatkan sistem sosial-ekonomi dan nilai budaya yang sudah melekat didalam masyarakat sebagai faktor pendorong perubahan.

Dalam konteks itulah pemberdayaan masyarakat merupakan strategi yang tak bisa dihindarkan sebagai upaya memperkuat dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena didalam habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masayarakat diantaranya:

a) Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan dilaut. Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional. Keduanya kelompok ini dapat dibedakan dari jenis kapal/peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah tangkapannya.

b) Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kelompok masyarakt pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal. Umumnya yang menjadi pengumpul ini adalah kelompok masyarakat pesisir perempuan.

c) Masayarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak memiliki modal atau peralatan yang memadai untuk usaha produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang minim.

d) Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan buruh.

Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan dan perlakuan khusus sesuai dengan kelompok, usaha, dan aktivitas ekonomi mereka. Pemberdayaan masyarakat tangkap minsalnya, mereka membutukan sarana penangkapan dan kepastian wilayah tangkap. Berbeda dengan kelompok masyarakat tambak, yang mereka butuhkan adalah modal kerja dan modal investasi, begitu juga untuk kelompok masyarakat pengolah dan buruh. Kebutuhan setiap kelompok yang berbeda tersebut, menunjukkan keanekaragaman pola pemberdayaan yang akan diterapkan untuk setiap kelompok tersebut. Dengan demikian program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir haruslah dirancang dengan sedemikian rupa dengan tidak menyamaratakan antara satu kelompk dengan kelompok lainnya apalagi antara satu daerah dengan daerah pesisir lainnya. Pemberdayaan masyarakat pesisir haruslah bersifat bottom up dan open menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan itu sendiri yang harus langsung menyentuh kelompok masyarakat sasaran. Persoalan yang mungkin harus dijawab adalah: Bagaimana memberdayakannya?

Menurut Adimiardja dan Hikmat, pemberdayaan merupakan sebuah proses yang memandang inisiatif, kreatif dari rakyat sebagai sumber daya pembangunan utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan proses pembangunan.[1] Dalam prakteknya, mereka menjelaskan bahwa pemberdayaan mengandung dua kecenderungan yaitu pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kedua, pemberdayaan menekankan pada proses menstimulasi atau mendorong atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dalam spektrum yang lebih luas, Friedman seperti dikutip Billah menyebut tiga dimensi pemberdayaan, yaitu[2] :

1. Kekuasaan sosial (social power), berkaitan dengan akses kelompok-kelompok basis (seperti rumah tangga, serikat buruh, koperasi rakyat) kepada informasi, pengetahuan dan keterampilan, partisipasi di dalam organisasi sosial dan sumber keuangan. Jika kelompok-kelompok basis itu meningkatkan aksesnya pada berbagai hal itu, maka kemampuan untuk merancang dan mencapai tujuan meningkat.

2. Kekuasaan politik (political power) berkaitan dengan akses kelompok-kelompok basis dan anggota-anggota individual rumah tangga ke proses dimana keputusan diambil, khususnya keputusan yang mempengaruhi masa depan mereka sendiri. Kekuasaan politik bukan hanya untuk memilih, akan tetapi juga merupakan kekuasaan berbicara dan bertindak secara kolektif.

3. Kekuatan psikologis (psychological power) sangat berkaitan erat dengan kesadaran akan potensi individual. Kesadaran akan potensi individual ini terlihat di dalam tingkah laku yang lebih diri. Upaya pemberdayaan psikologis ini pertama-tama diarahkan untuk menguak kesadaran batiniah yang terdalam untuk mengikis kekuatan hegemonis negara atas rakyat.

Memberdayakan masyarakat nelayan selain harus empatif dan kontekstual juga harus dilakukan secara komprehensif. Pembangunan dan upaya pemberdayaan masyarakat di lingkungan mana pun harus diakui memang tidak akan pernah bisa diselesaikan melalui satu resep tunggal. Untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, memang tidak mungkin jika kita hanya mengandalkan pada satu usaha seperti hanya mengandalkan pada efektivitas stimulan modal usaha atau mendorong terjadinya diversifikasi usaha di lingkungan komunitas nelayan.

Sebagai sebuah komunitas pantai, yang namanya nelayan bagaimana pun bukanlah kelompok yang homogen, yang selalu serba harmonis sebagaimana dimitoskan orang tentang kehidupan masyarakat desa yang tradisional. Sekalipun mereka sebagian besar termasuk miskin, tetapi di sana juga tak terhindarkan terjadinya stratifikasi sosial, bahkan potensi pergesekan yang cukup kuat akibat makin menipisnya sumber daya laut yang bisa dieksplorasi dan perbedaan pemilikan aset produksi. Antara nelayan modern dan nelayan tradisional atau antara buruh nelayan dengan juragan kapal, misalnya jelas mereka memiliki perbedaan kepentingan yang sifatnya diametral -meski mungkin selama ini tertutup- tutupi. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan yang miskin, mau tidak mau, menuntut dilakukan perubahan yang sifatnya struktural, dan dalam konteks ini bisa dipastikan akan ada kelompok kelas menengah desa pesisir lain yang merasa terganggu karena harus kehilangan sebagian hak istimewanya.

Urgensi Social Mapping

Sebagai bagian dari proses pemberdayaan masyarakat pesisir khususnya lembaga ekonomi nelayan sebaiknya perlu dikreasi peningkatan kepedulian seluruh anggota masyarakat dengan mengemukakan pentingnya peran mereka, terutama pada mereka yang kemungkinan memegang peran kunci dalam aspek pengelolaan, mobilisasi, dan pengambilan keputusan. Hal ini bermanfaat untuk mengenali secara dini kemungkinan peran dan tanggung jawab setiap anggota masyarakat sehingga muatan partisipasi secara bertahap dibangun. Pembentukan team work yang terdiri dari berbagai latar belakang disipilin ilmu sangat diperlukan pada tahap awal pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat. Langkah ini sangat penting untuk merancang strategi bagi peningkatan rasa kepemilikan terhadap sumberdaya secara. Secara umum poin-poin yang dapat digali dalam social mapping masyarakat pesisir di Banten adalah :

(1) menganalisa kehidupan masyarakat pesisir dan masalahnya;

(2) menemukan solusi masalah masyarakat yang dihadapi; mengembangkan dan menginisiasi aktivitas, mengkaji hasilnya, kemudian merancang alternatif solusinya;

(3) memobilisasi potensi lokal (kearifan lokal, kapasitas sosial, budaya dan ekonomi, dan pengalaman dan pengetahuan masyarakat);

(4) merancang sistem dan mekanisme akses dan kontrol terhadap sumberdaya, termasuk didalamnya sistem bagi hasil bagi pemanfaatan sumberdaya.

Social mapping pada dasarnya merupakan penggalian data berdasarkan faktor-faktor yang telah ditentukan dalam studi yang dilakukan, yaitu paradigma, tata nilai, ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, dan faktor intervensi. Secara lengkapnya disajikan dalam tabel dibawah ini :

Social Mapping Masyarakat Pesisir di Banten

Faktor

Kegiatan Ekonomi

Kegiatan Sosial Budaya

Kegiatan Pendidikan

Kegiatan Kesehatan

Pola Pikir

Intervensi

Produk dan nilai jualnya

Lembaga-lembaga sosial setempat

Jumlah lembaga pendidikan umum/agama

Persepsi tentang sehat dan sakit

Pandangan tentang hidup

Pengembangan jalan

Diversifikasi usaha ekonomi

Interaksi antarlembaga sosial

Jumlah murid, ruang, jenjang pendidikan

Identifikasi penyakit

Pandangan tentang masa depan

Pemberian modal

Akses pasar/tempat pelalangan ikan

Interaksi lembaga sosial dengan luar

Asal murid

Angka kematian

Pandangan tentang adanya jalan, TV, radio dan koran

Pemasaran produk

Peran uang sebagai alat tukar

Penerimaan nilai/produk dari luar

Mobilitas alumni pendidikan (vertikal)

Puskesmas dan paramedis

Instrumen untuk menyaring pengaruh dari luar

Peningkatan kualitas produk

Perputaran uang

Kecenderungan perubahan nilai dan perilaku

Kegunaan pendidikan bagi masyarakat pesisir Banten

Identifikasi pasien

Perluasan pasar

Subsisten atau setengah subsisten (ekonomi pertanian)

Institusi komunikasi yang berperan

Perubahan sikap dan perilaku alumni setiap jenjang pendidikan

Identifikasi penyembuhan secara tradisional

Harapan terhadap kebijakan pemerintah

Saving (Menabung)

Transportasi

Angka drop out dan alasannya

Identifikasi dukun beranak/penyakit

Lembaga Permodalan

Mobilitas fisik (dalam-luar)

Etos pendidikan (ilmu sebagai kebutuhan hidup)

Kecenderungan memasuki ekonomi pasar

Jumlah dan peran tokoh masyarakat

Tingkat buta huruf dan kemampuan berbahasa Indonesia

Positioning tokoh-tokoh masyarakat

Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Ada dua strategi dalam memberdayakan masyarakat pesisir. yaitu, yang bersifat struktural dan non struktural. Pendekatan struktural adalah pendekatan makro yang menekankan pada penataan sistem dan struktur sosial politik. Pendekatan ini mengutamakan peranan instansi yang berwewenang atau organisasi yang dibentuk untuk pengelolaan pesisir laut. Dalam hal ini peranan masyarakat sangat penting tetapi akan kurang kuat karena aspek struktural biasanya lebih efektif bila dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kewenangan, paling tidak pada tahap awal. Di lain pihak pendekatan non struktural adalah pendekatan yang subyektif. Pendekatan ini mengutamakan pemberdayaan masyarakat secara mental dalam rangka meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan dan persoalan pesisir laut. Kedua pendekatan tersebut harus saling melengkapi dan dilaksanakan secara integratif.

1) Pendekatan struktural.

Pendekatan ini dilakukan untuk tertatanya struktur dan sistem hubungan antara semua komponen dan sistem kehidupan, baik di wilayah pesisir dan laut maupun komponen pendukung yang terkait, termasuk komponen sosial, ekonomi dan fisik. Dengan penataan aspek struktural, diharapkan masyarakat mendapatkan kesempatan lebih luas untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Strategi ini dilakukan antara lain dengan cara :

a. Pengembangan Aksesibilitas Masyarakat pada Sumber Daya Alam.

Aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya alam merupakan salah satu isu penting dalam rangka membangun perekonomian masyarakat pesisir. Selain itu, aksesibilitas masyarakat terhadap potensi perairan pesisir dan laut untuk transportasi dan parawisata perlu ditingkatkan. Tujuan untuk kegiatan dan membuka lapangan kerja yang lebih luas bagi masyarakat setempat. Pengembangan sektor seperti kegiatan pariwisata dapat mendorong kegiatan masyarakat untuk ikut serta melindungi lingkungan terutama apabila pelaksanaannya dilakukan dengan tepat.

b. Pengembangan aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya ekonomi.

Pengembangan aksesibilitas masyarakat pantai terhadap sumber daya ekonomi dimaksudkan untuk meningkatkan diversifikasi sumber penghasilan masyarakat dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Langkah ini mencakup perluasan pilihan sumber daya ekonomi, seperti perluasan usaha dan perkreditan. Peluang usaha selain sektor perikanan yang perlu dibuka lebih luas adalah dibidang pertanian, kerajinan, peternakan dan jasa angkutan.

c. Pengembangan aksesibilitas masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan.

Kebijakan yang dikembangkan dengan melibatkan dan memperhatikan kepentingan masyarakat dan menjamin keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan wilayah. Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan karena akan menghasilkan kebijakan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Kebijakan yang berbasis pada potensi masyarakat akan mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam.

d. Peningkatan aksebilitas masyarakat terhadap informasi.

Informasi merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan masyarakat pantai sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan laut. Kesediaan informasi mengenai potensi dan perkembangan kondisi wilayah dan sumber daya alamnya sangat berharga untuk penyusunan kebijakan, program dan kegiatan di wilayah tersebut. Kesediaan informasi ini juga penting bagi masyarakat untuk dijadikan bahan pertimbangan pengembangan kegiatan dan perannya dalam rangka meningkatkan perekonomian mereka.

e. Pengembangan kapasitas kelembagaan.

Diperlukan kelembagaan sosial, untuk mendorong peranan masyarakat secara kolektif. Semangat kolektif akan mendorong upaya pemberdayaan masyarakat untuk melindungi wilayahnya dari kerusakan yang dapat mengancam perekonomian. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan lembaga sosial diharapkan untuk memperkuat posisi masyarakat dalam menjalankan fungsi manajemen wilayah pesisir dan laut.

f. Pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat.

Keberadaan sistem pengawasan yang efektif merupakan syarat utama keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Sistem pengawasan tersebut harus mampu menjalankan fungsinya dengan cara memobilisasi semua unsur terkait. Salah satu pendekatan yang efektif adalah pengembangan sistem pengawasan berbasis pada masyarakat. Sistem pengawasan yang berbasis pada masyarakat adalah suatu sistem yang dilandasi oleh kepentingan, potensi dan peranan masyarakat lokal.

2) Pendekatan Subyektif.

Pendekatan subyektif (non struktural) adalah pendekatan yang menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam disekitarnya. Karena itu, salah

satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk berbuat sesuatu demi melindungi sumbar daya alam. Strategi itu dilakukan melalui cara antara lain yaitu :

a. Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan.

Pengetahuan dan wawasan lingkungan perlu dimasyarakatkan untuk memberikan konsep dan pandangan yang sama dan benar kepada masyarakat tentang lingkungan dan peranannya terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

b. Pengembangan keterampilan masyarakat.

Peningkatan keterampilan praktis pengelolaan lingkungan bagi masyarakat dan jajaran pemerintah ditingkat dusun, desa dan kecamatan sangat penting untuk mendorong peran serta unsur-unsur tersebut secara aktif dalam menanggulangi masalah-masalah lingkungan yang secara ekologis dan ekonomis akan merugikan.

c. Pengembangan kapasitas masyarakat.

Pengembangan kapasitas masyarakat diperlukan untuk dapat ikut serta dalam proses pengambilan kebijakan, terutama dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.

d. Pengembangan kualitas diri.

Kualitas masyarakat pantai perlu ditingkatkan untuk menjawab dua tantangan. Tantangan pertama adalah, upaya mengatasi masalah perekonomian, baik untuk mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan pokok, maupun dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang lebih luas.

e. Penggalian & pengembangan nilai tradisional masyarakat.

Upaya penggalian nilai-nilai tradisional adalah penting untuk dijadikan bahan pengem-bangan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat menjadi norma-norma yang dapat dioperasional-kan menjadi landasan dan rambu-rambu pengamanan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut. Pengembangan nilai-nilai dan norma-norma arif lingkungan masyarakat akan mendorong penggunaan aturan-aturan atau cara-cara mereka sendiri dalam mengelola sumberdaya alam berdasarkan pada nilai-nilai yang mereka yakini.

Tawaran Program

Dari social mapping dapat diturunkan bagaimana program-program pemberdayaan termasuk juga model pemberdayaan masyarakat pesisir khususnya lembaga ekonomi nelayan di masyarakat pesisir Banten. Beberapa contoh program yang dapat dilakukan antara lain :

(1) Pemberdayaan masyarakat melalui pengetahuan dan keahlian pembangunan berkelanjutan. Kegiatan ini berupa serangkaian pelatihan bagi tokoh masyarakat dari berbagai sektor yang bertujuan membangun pemahaman dan ketrampilan mengenai pembangunan berkelanjutan.

(2) Mendirikan lembaga pengelolaan sumber daya pesisir dan laut berbasis masyarakat. Lembaga yang bernama LPLP (Lembaga Pengelola Lalut dan Pesisir) ini merupakan kelompok nelayan di tingkat desa yang turut bertanggungjawab dalam pengelolaan sumber daya laut secara lestari, sekaligus mewakili aspirasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik terkait dengan pengelolaan sumber daya laut.

(3). Memfasilitasi pelatihan tentang praktek-praktek penangkapan ikan secara ramah lingkungan sesuai standar.

(4). Penguatan kelompok nelayan ikan melalui pendirian kelompok dan memfasilitasi pelatihan bisnis bagi anggotanya. Anggota kelompok ini adalah mereka yang telah mendapat sertifikasi sebagai nelayan ramah lingkungan.

Daftar Pustaka

Kusnaka Adimiardja dan Harry Hikmat. 2001. PRA (Participatory Research Appraisal);Dalam Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat (Bandung, Penerbit Humaniora)

Billah, Perkembangan Ornop di Indonesia, dalam Prosiding Seminar SMERU, Wawasan LSM Indonesia;Sejarah, Perkembangan, serta Prospeknya, Jakarta, 15 Agustus 2000

Media Massa/Internet

Agus Wariyanto, Perlu Pemberdayaan Nelayan, Suara Merdeka edisi Sabtu, 10 April 2004

Bagong Suyanto, Diskusi Putaran Kedua Masalah Kesejahteraan Nelayan Jatim

Menempatkan Nelayan sebagai Subyek Pembangunan dalam http://64.203.71.11/kompas-cetak/0305/09/jatim/302984.htm (diakses 1/4/2008)

Moh. Manshur Hidayat & Surochiem As, Pokok-Pokok Strategi Pengembangan Masyarakat Pantai Dalam Mendorong Kemandirian Daerah dalam http://www.hangtuah.ac.id/Baru-depan/Humas/artikel.htm (diakses 1/4/2008)

Rakhmat Hidayat adalah Pengajar Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta.



[1] Kusnaka Adimiardja dan Harry Hikmat. 2001. PRA (Participatory Research Appraisal);Dalam Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat (Bandung, Penerbit Humaniora), hal. 2

[2] Billah, Perkembangan Ornop di Indonesia, dalam Prosiding Seminar SMERU, Wawasan LSM Indonesia;Sejarah, Perkembangan, serta Prospeknya, Jakarta, 15 Agustus 2000, hal. 15-16

Tidak ada komentar: