Minggu, 10 Agustus 2008

Harian Kompas

Membangun Kredibilitas, Menjangkau Indonesia

Persaingan media kian menunjukkan dinamika dan kompleksitasnya. Satu hal yang tidak bisa dihindarkan adalah era keterbukaan yang melanda semua negara. Keterbukaan tersebut memberi peluang terjadinya penetrasi nilai-nilai universal yang kemudian berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat suatu bangsa sehingga membentuk masyarakat global. Globalisasi yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi telah menghadirkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat dunia. Akses informasi semakin mudah dan cepat, bersifat instant mencapai tempat lain tanpa memandang jarak dan batas negara. Batas suatu negara seakan-akan menjadi kabur dan seolah-olah menghadirkan dunia tanpa batas. Dalam tatanan global, media massa memiliki andil besar terhadap pandangan publik terhadap peristiwa yang terjadi di belahan dunia manapun. Media secara internal maupun eksternal nampak sangat berkepentingan untuk memanfaatkan momentum ini bagi kepentingan pasar dan eksistensi medianya. Dinamika media yang semakin global, serentak dan interaktif sempat menjadi tema sentral dalam forum Asia Pacific Media Forum (APMF) di Bali 14 Maret 2005, “Powering the Media Dynamics”.

Fenomena tersebut juga melanda Indonesia. Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia menerima imbas akibat globalisasi. Media cetak, surat kabar harian, dan majalah perlahan-lahan mendapat pesaing yang pengaruhnya tak kecil sejak adanya revolusi teknologi informasi. Kehadiran media digital memiliki pengaruh luar biasa terhadap akselerasi penyebaran informasi. Dalam konteks itu menarik untuk mencermati perkembangan industri surat kabar nasional. Sebagai salah satu media konvensional, pengaruh dan keberadaannya terus menerus dikepung berbagai media non konvensional.

Sekadar menoleh ke belakang, dalam kurun waktu 1990-an, pers nasional mengalami repolitisasi. Jauh hari sebelum gerakan reformasi, pers Indonesia sudah melakukan berbagai kritik sosial terhadap berbagai kebijakan penguasa. Pada tahun 1994, tiga majalah mingguan ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor. Pada kurun waktu 1990-1997, pers nasional mulai mengalami komersialisasi dan diversifikasi media yang banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok besar.

Sayangnya, industri pers nasional harus menelan pil pahit. Krisis moneter yang melanda perekonomian Indonesia pada Juli 1997 berimbas pada industri pers. Saat itu harga kertas koran membumbung tinggi, banyak wartawan dan karyawan-karyawan perusahaan pers dipotong gajinya bahkan mengalami PHK. Berbagai cara dilakukan oleh surat kabar untuk bisa eksis, seperti mengurangi jumlah halaman.

Industri surat kabar nasional mengalami perkembangan sangat pesat selepas orde baru tumbang. Pada tahun 1998, muncul ratusan surat kabar baru di tanah air seiring dengan dicabutnya kebijakan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Fenomena yang menarik juga adalah munculnya pers daerah di tengah keterbukaan informasi. Kehadiran pers lokal tentu saja menjadi fenomena tersendiri karena surat kabar ini berbeda dengan surat kabar nasional maupun surat kabar regional. Ciri tersebut yaitu koran-koran daerah bersifat lokal dan bersifat kedaerahan (community newspaper). Peraturan-peraturan pemerintah merupakan pengaruh besar terhadap pers daerah, tetapi bukan dalam arti perlindungan kepentingan, melainkan peraturan otonomi daerah yang meningkatkan kewibawaan dan kepentingan daerah. Pers daerah lahir sebagai bagian diversifikasi oleh grup-grup besar dalam upaya meraih pasar, hal yang sama juga karena saat itu masyarakat cenderung tertarik dengan informasi daerahnya sendiri. Pers daerah puncaknya terjadi pada tahun ketiga setelah jatuhnya Soeharto.

Sebelum tahun 1998, perkembangan surat kabar nasional bolah dikata mengalami hegemoni dari negara. Saat itu proses perolehan SIUPP harus melibatkan 16 tahap yang semuanya menjadi sangat birokratis. Namun, lengsernya orde baru mengakibatkan longgarnya proses mendapatkan SIUPP. Di bawah kepemimpinan Menteri Penerangan Yunus Yospiah, proses pengajuan dipangkas menjadi tiga tahap. Hampir 1000 SIUPP telah disetujui dalam jangka waktu Juni 1998-Desember 2000. Dari jumlah tersebut yang benar-benar operasional sekitar 300. Namun demikian, jumlah tersebut sudah menjadi angka fantastis. Angka tersebut tidak termasuk sekitar 250 SIUPP yang telah diterbitkan sebelum reformasi. Pada tahun 2002, dari jumlah itu hanya menyisakan 695 penerbitan yang masih bertahan. Berdasarkan data dari Departemen Komunikasi dan Informasi tahun 2003, jumlah penerbitan pers sekitar 450 penerbit, dengan total tiras sekitar tujuh juta eksemplar. Dari jumlah itu, surat kabar 4,3 juta eksemplar, majalah 1,4 juta eksemplar, dan tabloid 1,1 juta eksemplar.[1]

Sebagian besar dari meledaknya terbitan itu merupakan tabloid mingguan yang berorientasi politik yang dimiliki dan didukung oleh konglomerat media, misalnya Bangkit (Kelompok Kompas Gramedia) dan Oposisi (Jawa Pos Grup). Dengan menjamurnya terbitan tersebut, tidak perlu lagi mengartikan ungkapan yang tersembunyi atau ‘read between the lines’ seperti ketika orde baru. Namun saat itu, yang diperlukan adalah sikap skeptis dalam memperoleh informasi berita sehingga media dapat menghasilkan berita yang dipercaya, bukan hanya sekadar bersifat sensasional.[2]

Tak ayal, persaingan pun berlangsung semakin ketat antara surat kabar yang sudah lama terbit dengan maraknya media-media baru. Persaingan juga semakin diramaikan dengan kehadiran portal informasi (dot com). Konsekuensinya, publik semakin terbuka lebar kesempatan untuk mengakses informasi secara cepat dan akurat. Maklum saat itu masyarakat Indonesia tengah mengalami banjir informasi, sehingga kehausan untuk mendapatkan informasi terasa menjadi kebutuhan penting.

Dalam kompetisi tersebut tampaknya masih berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dia akan bertahan. Tak semua media-media baru bisa bertahan lama, banyak diantara mereka yang rontok di tengah jalan. Tak sedikit yang hanya menjual ‘keberanian’ dibanding dengan isi berita yang disajikan kepada pembacanya. Akibatnya banyak yang menjadi ‘media sensasional’. Perlahan-lahan karena tak dapat mendapatkan pangsa pasarnya umur mereka pun tak bertahan lama.

Bisnis pers ibarat uang bermata dua. Kehebatan jajaran redaksi tak serta merta menjadikan koran laku di pasaran, tapi harus didukung adanya kemampuan manajemen untuk menjual dan memperoleh iklan. Realitas yang terjadi juga menunjukkan banyak pendatang baru yang hanya bermodal cekak dan tidak didukung oleh profesionalisme dalam jurnalistik maupun bisnisnya, gugur dalam waktu singkat. Pasar pun relatif tak bertambah. Hal yang sama di alami beberapa portal informasi. Detik com satu-satunya portal informasi yang hari ini terus eksis.

Di tengah gempuran berbagai media massa selepas orde baru tumbang, beberapa koran nasional yang sudah eksis jauh hari sebelum reformasi tetap bertahan. Dalam kompetisi pasar yang relatif ketat, yang akan memenangkan persaingan adalah koran yang berkualitas (quality newspaper). Kualitas menjadi trade mark bagi koran-koran nasional menghadapi persaingan tersebut. Dalam konteks itu, Kompas secara elegan terus memantapkan dirinya sebagai pemain utama industri surat kabar nasional. Dalam usianya yang ke-41 tahun, Kompas secara meyakinkan telah membangun merek yang tangguh dalam pasar koran nasional. Alhasil, Kompas pun menjadi pemimpin pasar yang terus melakukan berbagai terobosan untuk mempertahankan posisinya.

Membangun Kepercayaan

Ketika Kompas pertama kali terbit, 28 Juni 1965, jumlah terbitan terus menerus meningkat, tepatnya dari tahun 1963 sampai dengan 1966 sejalan dengan eskalasi politik yang terus bergejolak. Tahun 1965, pers harus menggabungkan diri dengan sebuah partai politik, organisasi massa atau golongan. Hal itu perlu dilakukan untuk kepentingan agar pers tetap hidup dengan adanya suntikan modal dari organisasi payung mereka. Implikasinya, pers pun menjadi lebih partisan.

Jauh hari sebelum kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi kekuatan politik dominan, Peng Koen Auwjong (kelak dikenal dengan P.K Ojong), pemuda kelahiran Bukittinggi itu sudah menerbitkan majalah mingguan Star Weekly pada tahun 1945. Saat itu Ojong menjadi penulis lepas. Selepas menamatkan kuliahnya di Rechts Hoge School (RHS), kini Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tahun 1951 Ojong resmi diangkat menjadi pemimpin redaksi Star Weekly. Sayang, karena isi beritanya yang kerap menyentil beberapa kebijakan pemerintah, majalah bertiras 60 ribu eksemplar itu diberangus tanpa alasan yang jelas oleh pemerintah. Penutupan yang terjadi pada 7 Oktober 1961 itu tak lepas dari pengaruh PKI di pemerintahan.

Ojong memiliki sahabat Jakob Oetama, akrab dipanggil JO oleh karyawan Kompas. Keduanya memiliki pengalaman yang sama sebagai guru sejarah. Selepas Star Weekly tutup, keduanya menerbitkan sebuah majalah yang berisikan tentang perikehidupan manusia yang nyata, konkret, tidak lagi berbau renungan atau abstrak serta tak lagi berhubungan dengan soal politik. Akhirnya sejak 17 Agustus 1963, terbitlah edisi perdana majalah Intisari yang berukuran 14 X 17,5 cm dengan tebal 128 halaman, dan dicetak 10.000 eksemplar. Hasilnya laku di pasaran.

Beberapa pihak berupaya mengimbangi pengaruh PKI. Dalam suatu kesempatan salah seorang perwira tinggi Angkatan Darat, Jenderal Ahmad Yani menganjurkan agar kalangan Katolik mendirikan harian untuk mengimbangi PKI. Gayung bersambut. Ide tersebut mendapat respon dari duet Ojong dan Jakob. Dua tahun setelah Intisari terbit, harian Kompas resmi beredar pada 28 Juni 1965. Awalnya, nama yang digunakan adalah Bentara Rakyat. Nama Bentara merupakan kebanggaan warga Flores. Di Flores sendiri terdapat majalah Bentara yang sangat populer. Adapun pemilihan kata Rakyat bertujuan untuk mengimbangi harian Rakyat milik PKI. Penggunaan kata inipun berupaya melakukan ‘wacana tanding’ bahwa kata ‘rakyat’ bukan hanya monopoli PKI. Namun, pada saat pengurus Yayasan Bentara Rakyat bertemu Bung Karno, beliau mengusulkan nama ‘Kompas’. Pengurus yayasan terdiri dari I.J. Kasimo (Ketua), Frans Seda (Wakil Ketua), F.C. Palaunsuka (Penulis I), Jakob Oetama (Penulis II), dan PK Ojong (Bendahara) menyetujui masukan Bung Karno. Menurut tokoh proklamator tersebut arti ‘Kompas’ adalah pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba. Maka, selanjutnya koran baru itu bernama Kompas.

Sejak terbit edisi perdana, Kompas masih harus dibantu oleh ‘saudara tuanya’, Intisari, baik dari segi fasilitas kantor maupun wartawannya. Menjadi harian independen, serta mengimbangi secara aktif pengaruh komunis adalah harapan utama Ojong dan Jakob saat menerbitkan Kompas. Mereka mengusung slogan ‘Amanat Hati Nurani Rakyat’.

Tiga hari sebelum terbit, Kompas meluncurkan edisi percobaan. Modal yang dikucurkan waktu itu hanya Rp 100.000. Berita utama di halaman satu berjudul ‘KAA II Ditunda Empat Bulan’. Di tahun-tahun pertama, Kompas dihadapkan pada masalah minimnya fasilitas produksi. Dicetak di percetakan Eka Grafika di Jl. Kramat Raya, dekat bioskop Rivoli. Biasanya menunggu giliran hingga Koran Karya Bhakti selesai dicetak. Maka, Kompas pun sering datang terlambat, hingga dijuluki komt pas morgen (besok baru datang). Namun, sejak 25 November 1972, Kompas berhasil dicetak dengan mesin sendiri setelah didirikannya PT. Gramedia. Memiliki percetakan sendiri merupakan langkah awal Kompas menata sistem perusahaanya. Sejalan dengan itu sentuhan manajemen modern pun mulai diperkenalkan kepada setiap bagian yang ada di perusahaan, seperti keuangan, sumber daya manusia maupun sirkulasinya. Saat itu masyarakat Indonesia baru mengenal apa yang disebut ‘manajemen’.

Situasi politik mengalami berbagai macam perubahan. Dominasi PKI tak lagi berpengaruh seiring dengan berkuasanya rezim orde baru. Sejak itu terjadi pergeseran paradigma pers nasional, dari pers partisan menjadi komersialisasi pers. Pers tak lagi mendapat sokongan dana dari partai politik melainkan harus kreatif menggali dana dari periklanan. Konsekuensinya, pers harus meningkatkan jumlah pembaca sebanyak mungkin.

Satu hal yang sangat signifikan juga adalah terjadinya depolitisasi terhadap keberadaan media massa. Pada waktu itu, media dibatasi ruang geraknya untuk mengekspresikan berbagai pemikiran-pemikiran kritisnya. Apalagi yang langsung bersinggungan dengan kekuasaan negara. Media-media yang berani akhirnya mendapat tempat di hati masyarakat. Alhasil, rasa kepercayaan masyarakat ketika itu dimanifestasikan dalam bentuk keberanian.

Dominasi negara terhadap media cetak diwujudkan dengan pembreidelan terhadap 12 terbitan setelah peristiwa Malari, Januari 1974. Beberapa wartawan ditangkap dan puluhan lainnya didaftarhitamkan. Empat tahun kemudian, tujuh harian yang terbit di Jakarta kembali dihentikan peredarannya karena dianggap mendukung aksi demonstrasi mahasiswa terhadap orde baru. Ketujuh koran tersebut yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore[3]. Kompas sendiri sempat tidak terbit sejak 21 Januari sampai 6 Februari 1978. Saat itu Kompas menulis tajuk tentang gerakan mahasiswa menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden RI. Setelah peristiwa itu, semua media lainnya harus menandatangani kesepatakan untuk tidak menyerang pemerintah. Pengalaman pahit ini terjadi kedua kalinya pada Kompas. Kompas juga mengalami pembreidelan pada 2 Oktober 1965 melalui Pepelrada Jakarta Raya dikeluarkan larangan terbit untuk semua harian, termasuk Kompas. Beruntung, larangan tersebut hanya berlangsung selama empat hari. Mulai tanggal 6 Oktober, Kompas diizinkan terbit kembali.

Belajar dari pengalaman tersebut, Kompas merasa bahwa dengan hanya bermodalkan keberanian tidak cukup. Akhirnya Kompas lebih banyak mengedepankan analisanya yang dingin, sejuk dan tak terburu-buru. Kecenderungan yang ada Kompas tampil dengan hati-hati. Pilihan itu tampaknya menjadi strategi Kompas menyiasati kekuasaan hegemonik negara agar bisa bertahan hidup. Kepentingan lebih luas adalah menyelamatkan nasib ribuan karyawannya.

Di tengah situasi politik yang tak menguntungkan, tepat rasanya jika pembacaan dan kalkulasi politik harus benar-benar dipikirkan akibatnya. Kompas merasa pilihan menampilkan dirinya secara ‘kalem’ sebagai strategi survival menghadapi tekanan negara. Oleh Rosihan Anwar, gaya jurnalisme Kompas ini disebut sebagai ‘jurnalisme kepiting’. Kepribadian Kompas bergerak a la kepiting, mencoba melangkah setapak demi setapak untuk mengetes seberapa jauh kekuasaan memberikan toleransi kebebasan pers yang ada. Jika aman, kaki kepiting bisa maju beberapa langkah, jika kondisi tak memungkinkan, kaki kepiting pun bisa mundur beberapa langkah.[4] Maka, gaya penulisan Kompas pun penuh dengan kehati-hatian. Tetapi, justru dengan itulah Kompas terus bermetamorfosa menjadi raksasa media di Indonesia yang pengaruhnya sangat besar dalam industri pers nasional. Tak salah jika pilihan itu dianggap sebagai kekuatan Kompas, yang tak dimiliki oleh media-media lainya. Dengan kata lain sejak awal, prinsip Kompas adalah koran bukan sekadar hanya menyampaikan berita dan informasi kepada masyarakat. Tetapi koran harus menjual rasa. Rasa yang paling dalam atau paling tinggi sampai seseorang mau membeli koran tersebut sebenarnya adalah rasa percaya. Dan, Kompas secara elegan telah menunjukkan dengan pilihan sikapnya itu sebagai media yang memiliki kredibilitas.

Sejak dari awal pendiri dan perintis Kompas ingin membangun korannya sebagai surat kabar umum, obyektif dan tidak memihak. Hasilnya, kredibilitas Kompas terus terpelihara. Sepanjang perjalanannya, Kompas menyadari bahwa asset lain yang sangat berharga adalah kredibilitas baik dari segi pemberitaan, rubrikasi maupun sinergi dengan klien.

Dalam kacamata marketing, hal tersebut dikenal sebagai brand equity. Kepercayaan bagi Kompas menjadi ruh yang berlangsung sepanjang masa. Situasi sosial, politik maupun ekonomi boleh saja berubah, tetapi Kompas menganggap bahwa mempertahankan kepercayaan menjadi keniscayaan tersendiri. Konkretnya, dengan berbagai kekuatan yang dimilikinya, orang membeli Kompas sebenarnya bukan korannya atau sekadar informasi an sich melainkan rasa kepercayaannya. Alhasil, komitmen Kompas terhadap kepercayaan pembaca yang sudah diberikan terus dipelihara sampai hari ini.

Di sisi yang lain sebagai bentuk perlawanan terhadap negara, media massa mengedepankan editorial sebagai fungsi kritiknya. Tak heran jika mainstream media massa saat itu menganggap bahwa membuat koran berarti editorial. Editorial dianggap sebagai alat perjuangan koran melawan pemerintah. Sejak saat itu, Kompas merasa bahwa mainstream itu bukanlah sebagai sesuatu yang mutlak. Artinya, di luar editorial ada kepentingan lain yang juga layak mendapat perhatian serius. Bagi Kompas, koran bukan hanya sekadar alat revolusi, alat perjuangan untuk menentang kebijakan negara atau menunjukkan siapa yang salah tetapi dari sisi yang lain harus juga memperkuat posisi bisnisnya. Memperkuat posisi bisnis memiliki kepentingan strategis bagi perusahaan. Pasalnya, hal itu jelas akan meningkatkan kebebasan perusahaan untuk memperjuangkan idealisme yang diusungnya. Atas dasar itu Kompas memiliki kesadaran bahwa hubungan antara editorial dengan bisnis harus terpisah. Hal itu perlu dilakukan mengingat sisi editorial bukanlah faktor determinan yang menentukan hidup tidaknya sebuah media, tetapi harus adanya sinergi dengan sisi bisnisnya.

Bagaimana Kompas membangun posisi bisnisnya tak terlepas dari pemikiran visioner kedua pendirinya. Saat itu Ojong dan Jakob sepakat untuk melakukan pembagian tugas. Ojong lebih konsen menangani manajemen perusahaan sementara Jakob diberikan tanggungjawab redaksi. Cikal bakal ranah bisnis Kompas oleh Ojong dirintis dengan membentuk bagian tata usaha yang mencakup iklan, sirkulasi, keuangan, pembukuan, umum dan personalia.[5]

Tampilkan Sisi Kemanusiaan

Strategy is all about being different. Jack Trout dalam bukunya Trout on Strategy (2005) mengemukakan bahwa merek yang berhasil menjadi pemimpin pasar bukan hanya ditentukan oleh kualitas yang baik dan customer orientation yang jelas. Menurutnya itu belum cukup untuk membedakan produk dengan produk kompetitor. Jack menawarkan hal lain yang dapat menjadi pembeda yaitu : yaitu menjadi yang pertama (the first), memiliki atribut yang menonjol. Tampaknya hal terakhir tersebut yang dilakukan Kompas dalam menawarkan gaya jurnalistiknya.

Kompas menterjemahkan itu dalam bentuk pemberitaan dan analisa-analisa khasnya. Jika media massa yang lain masih mempertahankan prinsip jurnalistik cover both sides, maka Kompas sudah melangkah lebih jauh dengan mengusung prinsip cover all sides (CAS). Membangun kepercayaan kepada pembacanya memang bukan perkara mudah dan Kompas mengakui itu sebagai tugas jurnalistik terberat. Karenanya, prinsip CAS ini lahir dalam upaya membuat pembaca mempercayai setiap apa yang disampaikan Kompas dalam pemberitaannya. CAS pada hakikatnya bermaksud meyakinkan kepada masyarakat tentang duduk persoalan sebuah peristiwa. Hal itu dilakukan pada saat, misalnya, pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kompas dalam pemberitaannya tidak berhenti sampai dengan analisa dari beberapa pihak seperti pemerintah atau pengamat ekonomi. Jika itu terjadi, maka orang akan terus berdebat dengan persentasi kenaikan harga BBM atau perlu tidaknya harga BBM dinaikkan. Tetapi, CAS bergerak lebih jauh dengan memotret sejauhmana kinerja Pertamina, bagaimana pula dampak psikologis setelah kenaikan harga yang dialami oleh sebagian masyarakat.

Dengan kata lain Kompas sebenarnya ingin melihat sebuah peristiwa secara komprehensif. Kejadian suatu peristiwa boleh sama diangkat oleh berbagai media, namun hal yang membedakan adalah sudut pandangnya (angle). Nah, Kompas tampil dengan pilihan angle kemanusiaan. Dalam memotret suatu kejadian atau persoalan, Kompas selalu melihatnya dari sisi manusia, sisi kemanusiaan, bagaimana posisi dan keberadaan manusia dalam peristiwa tersebut. Secara tegas Kompas berupaya meletakkan nilai yang menempatkan manusia dan kemanusiaan pada posisi sentral pemberitaan. Bahkan, dengan prinsip jurnalistiknya yang khas, Kompas mengusung kredo, ‘menghibur kaum papa, mengingatkan kaum mapan’. Jika sampai hari ini Kompas masih bertahan dan memiliki jutaan pembaca loyalnya antara lain karena prinsip jurnalistik yang dianutnya.

Kultur jurnalisme yang dikembangkan Kompas tak dapat dipisahkan dari determinasi yang kuat JO sebagai salah satu pendiri Kompas. JO dan Kompas ibarat dua sisi dalam satu mata uang. JO adalah Kompas, dan Kompas adalah JO. JO berperan besar dalam meletakkan kultur jurnalisme a la Kompas yang kelak di kemudian hari menjadi referensi bagi kehidupan jurnalisme di Indonesia. Atas dasar totalitasnya, JO mendapat penghargaan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa (Dr HC) dalam bidang komunikasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 17 April 2003. JO adalah penerima doktor honoris causa ke-18 yang dianugerahkan UGM.

JO dianggap konsisten dalam mengembangkan wawasan dan prinsip jurnalisme yang bernuansa sejuk. Pihak UGM menyebut karakteristik jurnalisme yang dikembangkan JO sebagai ‘jurnalisme damai’ (peace journalism), sebuah genealogi pers baru yang memungkinkan pers bertahan di tengah-tengah konfigurasi politik otoriter.[6] Peace journalism diwujudkan dengan kesediaan dan kemampuan insan pers untuk berempati pada apa yang dialami khalayak dalam suatu peristiwa tertentu.

Kesetiaan Kompas mengedepankan sisi kemanusiaan mendapat apresiasi luar biasa dari dunia pers nasional. Di bawah nakhoda JO, Kompas dipandang telah berhasil menggunakan pers sebagai wahana mengamalkan pilar-pilar humanisme transendental melalui kebijakan pemberitaan yang memberikan perhatian sentral pada masalah, aspirasi, hasrat, keagungan dan kehinaan manusia dan kemanusiaan.

Tegaskan Kualitas

Aspek pertama yang kerap ditonjolkan sebuah media adalah isi pemberitaannya. Kredibilitas Kompas selama ini juga tak lain didukung oleh kelengkapan informasi yang disajikannya. Ini merupakan differensiasi utama yang dilakukan Kompas dari segi redaksi. Kompas terus menciptakan rubrik-rubrik baru yang berupaya melengkapi topik-topik utamanya. Lembar Muda dan Swara hadir sejak Mei 1999. Lembar Muda berisikan artikel yang menyasar pembaca muda, dimana mereka dapat meningkatkan minat baca, perkembangan atau tren terbaru di kalangan anak muda. Untuk ini, Kompas bersinergi majalah Kawanku dan Hai. Keduanya merupakan media dibawah bendera KKG. Sementara rubrik Swara menyajikan informasi sekitar dunia perempuan yang peduli dengan lingkungan sosialnya.

Selain Swara, pembaca perempuan diwadahi dengan adanya rubrik Aksen. Yaitu rubrik yang berisi informasi terbaru sekitar dunia fesyen, kosmetika, serta aksesoris. Rubrik-rubrik baru lainnya yaitu rubrik Anak yang terbit pada Kompas Minggu. Rubrik ini diasuh beberapa majalah anak terbitan KKG seperti Bobo, Mombi yang memberikan artikel yang berhubungan dengan dunia anak, juga untuk mengembangkan minat dan potensi anak dalam karya sastra.

Kepedulian Kompas terhadap dunia kebudayaan dituangkan dengan terbitnya lembar Bentara yang berisi berita dan berbagai pemikiran budaya. Kelebihan Kompas juga dibuktikan dengan terbitnya lembar Pustakaloka dan lembar Fokus. Lembar pertama membahas soal buku dengan tujuan meningkatkan kebiasaan membaca. Adapun lembar kedua menyajikan liputan mendalam suatu persoalan yang menjadi bahan pembicaraan masyarakat dalam minggu yang sedang berjalan.

Selain dari sisi redaksional, Kompas juga melakukan differensisasi dari segi infrastruktur melalui cetak jarak jauh (CJJ). CJJ ini dilakukan di beberapa wilayah untuk menambah kepuasan pembaca dengan meningkatkan layanan jam kedatangan. Saat ini Kompas memiliki enam lokasi CJJ yaitu Bawen, Semarang yang dirintis sejak September 1997, Makassar sejak Oktober 1997, Surabaya pada Desember 1999, Palembang sejak Juni 2001, Banjarmasin sejak September 2002, Medan sejak Juni 2003, dan terakhir Bandung dalam waktu dekat ini. Sebelum ada CJJ, pembaca di beberapa daerah menerima Kompas siang atau sore hari karena setelah dicetak di Jakarta masih harus dikirim dengan mobil atau pesawat. Dengan adanya CJJ, pembaca di daerah juga dapat membaca Kompas di pagi hari.

Untuk lebih mendekatkan emosional dengan pembacanya, Kompas pun melengkapinya dengan halaman tambahan daerah. Hal ini dilakukan untuk menambah daya tarik lokal di daerah yang bersangkutan. Langkah pertama dimulai dengan menerbitkan Sisipan Jawa Timur sejak Mei 2000. Dari senin sampai sabtu, selain edisi Kompas seperti halnya yang beredar di daerah-daerah lain, pembaca di Jatim dapat menikmati berita dan informasi yang berkembang di Jatim dalam bentuk lembar sisipan Jatim. Hal yang sama dilakukan untuk pembaca di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak Maret 2004 menerbitkan Sisipan Jawa Tengah-DIY. Saat ini sudah dipisah masing-masing untuk Jawa Tengah dan DIY. Pembaca di Jawa Barat mendapat tambahan Sisipan Jawa Barat sejak tahun 2006. Upaya ini juga sebenarnya untuk memperlebar pasar lokal, meski ini tak terlalu signifikan. Pasalnya, beberapa kompetitor dengan benderanya masing-masing mengibarkan koran-koran lokal.

Dengan adanya CJJ dan suplemen daerah, Kompas ingin meningkatkan kepuasan pembaca dan tetap mempertahankan posisinya sebagai surat kabar nasional. Saat ini Kompas menjadi satu-satunya surat kabar yang beredar di 33 provinsi di Indonesia. Semua itu menyebabkan performa Kompas kian mengukuhkan dirinya sebagai koran nasional terbaik di Indonesia. Tidak berlebihan jika Dewan Pers menempatkan Kompas sebagai koran terbaik 2004 untuk kategori performa terbaik (media performance) dari segi isi berita dan penampilan terbaik. Empat koran lainnya berada menyusul Kompas yaitu Koran Tempo, Bernas, Republika, dan Surya. Kategori kedua yang didapatkan Kompas adalah kategori nilai dari isi sebuah berita (information value), berikutnya Republika, Wawasan, Suara Merdeka, dan Koran Tempo. Penghargaan ini diberikan setelah Dewan Pers memonitoring dan mengevaluasi pemberitaan terhadap 28 surat kabar se-Jawa.

Hargai Etika Bisnis

Kesadaran Kompas untuk memperkuat posisi bisnisnya perlahan-lahan kian mengukuhkan dirinya sebagai koran yang sangat diperhitungkan dari segi bisnisnya. Dari sisi perolehan iklan Kompas selama bertahun-tahun nyaris tak tertandingi oleh koran-koran lainnya. Berdasarkan data AC Nielsen, selama tahun 2000 perolehan iklan Kompas menembus angka Rp 494,26 miliar. Di bawah Kompas, Jawa Pos memperoleh Rp 138,31 miliar. Pada tahun 2001 billing iklan Kompas mencapai Rp 611,58 miliar. Angka ini jauh didapatkan pesaing utamanya, Jawa Pos yang ‘hanya’ mendapatkan Rp 207,1 miliar.[7] Angka itu terus meningkat pada tahun 2002. Perolehan iklan Kompas mencapai Rp 792,7 miliar, menyusul berikutnya Jawa Pos sebesar Rp 287,2 miliar, Media Indonesia sebesar Rp 193 miliar dan Pikiran Rakyat Rp 148,7 miliar, Bali Post Rp 140 miliar, dan Suara Merdeka Rp 100 miliar.[8] Posisi perolehan iklan Kompas di tahun-tahun berikutnya kian jauh meninggalkan koran-koran lainnya. Tahun 2003, Kompas memperoleh Rp 875 miliar. Tahun 2004, perolehan iklan Kompas mencapai 900 miliar lebih.

Data Nielsen Media Research (NMR) selama tahun 2002 juga mencatat berdasarkan risetnya di 60 media harian nasional dan 12 media mingguan Indonesia, Kompas masih teratas dengan jumlah pembaca sebesar 2,24 juta orang (7%). Dibawahnya Pos Kota sebesar 2,09 juta (6,5 %), Media Indonesia dengan 1,19 juta (3,7 %), Pos Metro sebanyak 335 ribu pembaca (1 %), Berita Kota sebesar Rp 285 ribu (0,9 %), Rakyat Merdeka memiliki jumlah pembaca sebanyak 281 ribu (0,9 %), Republika sebesar 244 ribu (0,8 %), dan Koran Tempo 230 ribu (0,7 %).[9]

Dominasi Kompas dalam perolehan iklan tidak didapatkan dalam waktu sekejap. Tetapi dari sebuah kerja keras yang terus dipertahankannya sejak awal berdiri. Sebagai pemimpin pasar yang posisinya terus digoyang oleh kompetitor lainnya, Kompas menganggap bahwa kredibilitas yang selama ini dibangun ditentukan pula oleh komitmennya terhadap etika bisnis media dan periklanan. Sejauh ini ada tiga pihak yang berkepentingan dalam bisnis media yaitu media, pengiklan/klien dan biro iklan. Kompas sadar betul bahwa ketiga pihak ini adalah mitra yang keberadaannya harus saling mengun tungkan satu sama lain didasari dengan semangat menjunjung tinggi kepercayaan.

Setidaknya ada dua strategi bagaimana Kompas betul-betul menghargai keberadaan kedua mitranya itu. Pertama, Kompas menganggap bahwa biro iklan sebagai pihak yang memiliki kekayaan intelektual dalam penciptaan ide-ide kreatifnya. Celakanya, sejauh ini banyak pihak terutama media yang menghargai biro iklan hanya sebatas harga pembuatan materi, bukan kepada ide kreatifnya. Misalnya, pada saat Garuda Indonesia dengan menggunakan salah satu konsultan merek terkenal meluncurkan logo baru seharga Rp 1 miliar. Muncul komentar bahwa untuk menciptakan logo tersebut tak perlu merogoh kocek sebesar itu, semua biro iklan bisa melakukannya. Tetapi mengapa bertahun-tahun tak ada ide-ide cerdas untuk melakukan itu. Dalam konteks itu, Kompas berkesadaran bahwa biro iklan tidak hanya dihargai pada ongkos pembuatan materinya tetapi pada intelectual property right-nya.

Dalam hubungan tri mitra tersebut, setiap pengiklan yang akan memasang iklan di Kompas harus menggunakan jasa biro iklan. Dan, pertanyaan pertama yang sering diajukan adalah biro iklan mana yang digunakan oleh calon pengiklan tersebut ? Jika pada suatu saat, pengiklan/klien tersebut ternyata menggunakan agensi lain setelah beriklan di Kompas, maka pihak Kompas akan mengkonfirmasikannya kepada pengiklan tersebut apakah betul dia pindah dan kepada biro iklan lamanya ditanyakan tentang rekam jejak si pengiklan ini. Kompas selalu menanyakan kebenaran dia pindah agensi, apakah dia ganti agensi tidak meninggalkan hutang, dan sebagainya. Bahkan, tak jarang Kompas selalu meminta dibuatkan surat kepindahan dari agensi lamanya. Agensi lama dapat memberikan rekomendasi terhadap pengiklan tersebut. Misalnya, karena masih terbelit kewajiban dengan biro iklan lamanya, maka agensi tersebut dapat merekomendasikan agar Kompas tak memuat iklan tersebut sebelum kewajibannya selesai. Kadang-kadang, Kompas pun masih menjadi ‘tukang tagihnya’ agensi.

Bisa jadi ini adalah hal kecil bagi sebagian orang, tetapi dalam pandangan Kompas dengan hal kecil itulah kredibilitas dan tingkat kepercayaan berbisnis jangka panjang terus dijaga dan dipertahankan baik-baik. Kepercayaan berbisnis tentu menjadi harga yang sangat mahal karena ini merupakan ‘modal sosial’ (social capital) yang memiliki nilai investasi jangka panjang. Mempertahankan idealisme adalah pilihan menanggung resiko, dan idealisme ini tak jarang dianggap terlalu ‘aneh’ oleh pihak-pihak yang tak memahami filosofi bisnis Kompas. The show must go on, Kompas terus berjalan on the track.

Strategi pertama diatas lebih bagaimana Kompas menghargai betul keberadaan biro iklan. Strategi kedua yang dilakukan Kompas lebih mengapresiasi (calon) pengiklan/klien. Sampai tahun 1994, Kompas praktis hanya memiliki tiga produk iklan yaitu iklan baris, iklan kolom, serta iklan duka cita. Dalam perjalanannya, terutama pada saat krisis moneter, bujet iklan beberapa pengiklan tak semuanya bisa memilih ketiga jenis produk iklan tersebut. Sebuah terobosan dilakukan, pengiklan/klien yang memiliki anggaran kecil atau besar bisa beriklan di Kompas. Tentu Kompas tidak melakukannya dengan ‘banting harga’, ide kreatif muncul dengan menciptakan produk iklan baru. Saat itu muncul konsep ‘kreatif media’ dari beberapa kategori pengiklan yang sejenis sebut saja, restoran, bridal, dan yang lainnya.

Strategi yang sampai hari ini masih terus dilakukan tersebut berhasil menciptakan kategori pengiklan baru. Rubrik tersebut saat ini masih menjadi rubrik incaran para pengiklan yaitu Advertorial. Selain Advertorial terdapat juga jenis iklan khusus seperti Seremonia (memberi kesempatan kepada klien untuk mempromosikan even perusahaan), Pernikahan (artikel dan produk-produk tentang pernikahan), Wisata Boga (informasi tentang restoran dan café), serta Rumah Pengetahuan (sarana eskpos optimal dari usaha penyelenggara pendidikan). Kompas sadar bahwa sebagai media dia perlu memahami apa sebenarnya kebutuhan pengiklan. Dengan itulah Kompas menyediakan lahannya. Beragam anggaran, pengiklan dapat beriklan di Kompas. Karenanya Kompas berusaha membantu bagaimana mereka berkomunikasi dengan khalayak dengan cara mencarikan solusi komunikasinya.

Membangun kepercayaan juga dilakukan dengan cara audit sirkulasi. Kompas adalah satu-satunya media yang melakukan audit sirkulasi sejak 1972. Empat tahun kemudian, Kompas menjadi anggota Audit Bureau of Circulation (ABC). Empat tahun sebelumnya, P.K Ojong mengutus Kurnia Munaba--pernah menjadi General Manager Divisi Kontrol dan Direktur Kelompok Usaha Jasa Kelompok Kompas Gramedia—untuk melakukan survey ke The Manila Times di Filipina yang merupakan koran terbesar di Asia Tenggara dengan tiras 250.000 eksemplar. Mantan asisten dosen Tata Usaha Negara di Universitas Padjajaran itu mendapatkan pengalaman berharga dari hasil kunjungannya ke Filipina bahwa koran tersebut menjadi market leader iklan dengan cara membentuk komite audit iklan yang anggotanya terdiri 3 biro iklan independen. Setelah itu dipilihlah kantor akuntan public SGV-Utomo untuk mengaudit sirkulasi Kompas.[10]

Di Indonesia hanya Kompas dan The Jakarta Post yang menjadi anggota ABC. Selain data jumlah pembaca yang dikeluarkan Nielsen Media Research (NMR) dan perusahaan riset media lainnya, data tiras ABC banyak dipakai di berbagai negara oleh biro iklan maupun pengiklan. Sejak 1969 Kompas menjadi koran nasional yang tirasnya paling besar di Indonesia dan juga dianggap koran paling berpengaruh di Indonesia.Hal itu seperti yang diungkapkan Cornell University, “Kompas stands clearly as the most sophisticated and respected of present Indonesian newspapers”. Saat ini tiras Kompas rata-rata 530 ribu eksemplar dan pada hari minggu rata-rata 609.350 eksemplar. Dengan jumlah pembaca lebih dari 2,25 juta orang.

Audit sirkulasi memberikan keuntungan baik untuk Kompas sendiri maupun bagi pengiklan. Artinya, hitung-hitungan pengiklan mengenai oplah Kompas tidak akan meleset. Meskipun, statistik tetap saja ada error-nya. Pengiklan tak dapat dibohongi bahwa oplah Kompas memang sesuai dengan hasil audit tersebut. Suatu waktu, oplah Kompas pernah turun dari 500 ribu eksemplar menjadi 450 ribu eksemplar. Kompas pun tak bisa melakukan apa-apa. Dengan cara ini Kompas membangun perusahaan berbasiskan transparansi dan akuntabilitas. Bahkan, tak tanggung-tanggung, untuk membuktikannya, Kompas mengajak biro iklan untuk mendatangi langsung proses produksi pada pukul 24.00. “Tak ada dusta diantara kita”, begitu prinsip Kompas dalam bersinergi dengan mitranya.

Boleh jadi dilakukannya audit sirkulasi ini merupakan ‘prinsip hidup’ yang dikembangkan Kompas sampai hari ini. Bagi Kompas, bisnis jangka panjang harus dilakukan secara santun dan bermartabat. Perusahaan memang tujuannya mencari keuntungan, tetapi keuntungan dalam falsafah Kompas harus didapatkan dengan cara bermartabat. Hal inilah yang terus dirawat baik-baik oleh Kompas sampai hari ini.

Kesuksesan Kompas dari segi bisnis menginspirasi manajemen untuk melakukan differensiasi ke bidang lain. Differensiasi tersebut dikonsentrasikan pada satu bidang industri, yaitu industri media informasi dan komunikasi melalui payung Kelompok Kompas Gramedia (KKG) sebagai holding company yang membawahi tak kurang dari 10 ribu karyawan. Kompas sendiri sampai hari ini memiliki 960 karyawan yang tersebar di seluruh bagian. Differensiasi bisnis yang sudah dilakukan antara lain merintis toko buku Gramedia pada tahun 1970, Percetakan PT Gramedia diresmikan pada 25 November 1972, Radio Sonora pertama kali siaran pada 8 Agustus 1972, Gramedia Film tahun 1976 yang tak mampu bertahan lama, bisnis kertas tisu PT Graha Kerindo Utama, Hotel Santika, PT. Indopersda Primamedia (Persda) pada tahun 1989, Kompas Cyber Media (KCM) didirikan pada tahun 1998, ini merupakan pengembangan dari Kompas Online yang didirikan sejak 1995. Differensiasi terakhir dengan didirikan TV 7 pada tahun 2000. Mengapa Kompas melakukan diversifikasi ? Karena Kompas percaya jika keuntungan suatu perusahaan dibagi-bagikan begitu saja dalam bentuk uang, maka uang itu akan habis dikonsumsi. Tetapi, jika keuntungan itu diputar kembali (reinvestasi) dengan mendirikan lapangan kerja baru yang menghidupi banyak orang beserta keluarganya dalam jangka waktu yang panjang. Lebih dari itu, cara ini adalah memberikan peningkatan harga diri kepada manusia.[11]

Kesadaran Beriklan

Sadar dengan posisinya yang terus dikawal ketat para pesaingnya, Kompas terus melakukan terobosan-terobosan untuk memagari posisinya sebagai market leader. Kesadaran itulah yang kemudian menginspirasi Kompas untuk menyempurnakan 3P pertama yaitu price, product, public relation dari 4P bauran pemasaran. Dari ke-4 unsur tersebut, unsur promosilah yang belum tergarap secara optimal. Atas dasar itu pilihan beriklan pun dipilih untuk lebih mempertahankan brand awareness dan brand loyality. Tak mudah merek seperti Kompas yang sudah mapan menjadi pemimpin pasar untuk beriklan. Pertentangan keras di kalangan internal begitu kuat menentang kenapa Kompas harus beriklan. Di satu sisi ada semacam pertanyaan mendasar jika selama ini jutaan masyarakat Indonesia sudah familiar dengan Kompas, lantas apa keuntungannya bagi Kompas untuk beriklan ?

Ide ini berawal dari Agung Adiprasetyo yang saat itu menjabat staf Kepala Bagian Iklan Kompas (kini Wakil Pemimpin Umum Kompas). Agung dengan getol meyakinkan kalangan internal Kompas bahwa dengan beriklan banyak keuntungan yang didapatkan Kompas. Sisi ini yang tak terpikirkan oleh kalangan yang kritis mempertanyakan kenapa Kompas harus beriklan ? Apakah karena oplah Kompas sudah turun drastis sehingga mengharuskan Kompas beriklan ? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul dalam perdebatan kala itu. Sampai suatu saat beberapa produk dalam negeri juga tengah gencar beriklan sebut saja Dji Sam Soe dan Jamu Jago. Hal yang sama dilakukan BMW. Setelah beriklan BMW mampu menyalip posisi Mercedes di Indonesia. Mercedes karena sudah terlanjur mapan dengan posisinya, seolah terlena menghadapi serangan balik para kompetitornya. Hal ini melecut Agung bahwa sebagai pemimpin pasar harus sepenuh hati mempertahankan pangsa pasarnya.

Akhirnya pada tahun 1989, Kompas mengundang dua biro iklan yaitu Bates dan AdForce untuk mempresentasikan konsep-konsep komunikasinya. Tak berhenti sampai disitu, selain biro iklan, Kompas pun mengundang konsultan kehumasan Maria Wongsonegoro untuk ikut serta dalam pitching tersebut. Saat itu Kompas berpikir, selain biro iklan, mereka pun membutuhkan jasa komunikasi dari konsultan kehumasan. Dalam pitching tersebut, Bates berhasil meyakinkan manajemen Kompas dengan konsep-konsep kreatifnya.

Sampai akhirnya keluarlah slogan ‘Mata Hati Kata Hati’. Joko Lelono yang menciptakan slogan tersebut, awalnya menambahkan ‘Hati-Hati’ dibelakang ‘Kata Hati’. Namun, dari hasil survei yang dilakukan Kompas tentang kekurangan Kompas, sebagian besar jawaban mengatakan bahwa Kompas terlalu hati-hati. Khawatir itu akan memudarkan imej Kompas, maka kata ‘Hati-Hati’ akhirnya tak digunakan.

Kompas pertama kali menggunakan billboard hitam putih sebagai media promosinya. Pemilihan warna hitam putih didasarkan karena imej Kompas sebagai koran yang serius, cenderung konservatif, bahkan dianggap tua. Saat itu sempat terlontar untuk menggunakan full colour. Tapi karena khawatir beberapa pihak akan kaget jika full colour digunakan, maka pilihan akhir pun menggunakan hitam putih. Billboard tersebut menggambarkan beberapa anak kecil berlari-lari sambil bermain-main kereta-keretaan. Billboard Kompas dipasang di beberapa kota besar seperti Medan, Yogyakarta, Medan, Semarang, Bandung, Surabaya, dan tentunya Jakarta. Iklan-iklan Kompas selain menggunakan billboard, juga menggunakan Kompas sendiri sebagai tempat beriklan. Beberapa koran lain serta radio juga dipilih sebagai media beriklan Kompas. Saat itu Kompas tidak menggunakan TV karena era TV swasta nasional baru saja hadir dipelopori RCTI pada tahun 1989. Ketika itu, RCTI pun siaran masih menggunakan dekoder sehingga jangkauannya pun masih sangat terbatas.

Untuk mendukung kampanye komunikasinya, Kompas mengucurkan dana sebesar Rp 800 juta, meskipun akhirnya dana tersebut membengkak menjadi Rp 1 miliar. Dana sebesar itu pada zaman tersebut tentu sangat besar jumlahnya, bahkan karena dianggap jor-joran, hal tersebut menjadi buah bibir oleh sebagian pihak.

Tonggak pertama Kompas beriklan sebenarnya ingin menunjukkan bahwa sebagai media bukan saja menyerap iklan, namun juga harus beriklan untuk mengkomunikasikan manfaat yang ditawarkannya. Kompas menjadi koran yang pertama melakukan pembelajaran bahwa media juga harus beriklan.

Makna dari Sebuah Objek

Kampanye tersebut berlangsung sampai tahun 1990. Setelah itu manajemen Kompas melakukan evaluasi mengenai hasil kampanye tersebut. Memang kampanye tersebut berhasil menggenjot kenaikan oplah mencapai 30 ribu eksemplar. Tetapi, muncul pertanyaan dari manajemen Kompas, apakah betul kenaikan oplah itu benar-benar hasil dari kampanye Kompas yang massif selama dua tahun. Ataukah jangan-jangan memang karena kualitas dan performa Kompas selama ini.

Akhirnya diambil keputusan untuk memberhentikan kampanye lini atas. Belanja komunikasi pun dipangkas dananya, sebagian besar dialihkan kepada kegiatan lini bawah. Titik tekannya adalah direct marketing, promosi yang langsung menghasilkan penjualan terutama berhubungan dengan iklan.

Di luar itu, sejak tahun 1991 Kompas terus mencari biro iklan yang dapat mewakili dan menterjemahkan visi dan semangat Kompas. Kecenderungannya memang tak segencar dengan kampanye sebelumnya. Beberapa biro iklan seperti Matari Advertising, Lintas maupun IndoAd sempat mempresentasikan ide-ide kreatifnya kepada manajemen Kompas. Sayang, karena belum ada kecocokan mereka pun urung menjadi menangani kegiatan komunikasi Kompas. Itu terjadi sampai akhir 1999. Di Kompas sendiri terjadi perubahan tim marketing komunikasi, sehingga periode tersebut terus mencari-cari agensi mana yang tepat.

Sampai akhirnya pada tahun 2000 tercetus pemikiran agar Bates yang pernah menangani kampanye periklanan Kompas diundang kembali untuk menawarkan gagasan-gagasan komunikasinya. Manajemen Kompas berharap ada ide-ide baru dari Bates untuk menangani promosi Kompas. Akhirnya, Bates kembali menggarap strategi komunikasi Kompas. Pada saat bersamaan International Advertising Association (IAA) gencar mengkampanyekan kegunaan beriklan kepada semua khalayak bahwa iklan itu penting. Kompas merasa terpanggil untuk mendukung kampanye tersebut. Dukungan yang dilakukan tak sekadar dibuktikan dengan omongan belaka, tetapi sebagai pemimpin pasar harus memberikan contoh kepada pasar bahwa Kompas juga harus beriklan.

Berhasil mengemas kampanye komunikasi Kompas sebelumnya, Bates berkaca kepada pengalaman tersebut. Bates menjelajahi berbagai kekuatan dan differensiasi yang dimiliki Kompas, kampanye bertajuk ‘Buka Mata dengan Kompas’(BMDK) diluncurkan untuk mempertegas posisi Kompas sebagai pemimpin pasar. Kompas tak tanggung-tanggung menggelontorkan dana sekitar Rp 15 miliar. Pesan komunikasi yang ingin disampaikan iklan Kompas adalah dengan membaca Kompas, pembaca akan berpikir lebih maju, lebih terbuka, dan tidak gampang mengambil kesimpulan. Pesan ini disebarkan kepada khalayak pembaca Kompas yaitu orang-orang Indonesia yang berpikir maju dan terbuka, dengan cara pandang yang terbuka.[12]

Bates harus kerja keras melakukan riset agar pesan komunikasi yang hendak disampaikan mengena. Hasilnya, konsep kreatif yang dipilih adalah dengan memperlihatkan dua sisi dari sebuah objek yang biasa ditemui sehari-hari. Konsep kreatif itu diwujudkan melalui iklan-iklan tematis. Misalnya, iklan versi ‘Makanan Hari Ini’ yang visualnya menggambarkan tumpukan sampah. Kompas ingin menyampaikan bahwa sampah bukan hanya dilihat sekadar sampah, tetapi ia punya makna luar biasa bagi pemulung demi sesuap nasi saban harinya. Iklan-iklan tematis ini menampilkan tema-tema sekitar ekonomi, politik, olah raga yang mencerminkan determinasi Kompas dalam pemberitannya. Versi lainnya, misalnya berjudul ‘Menu Termahal’. Visualisasinya menggambarkan sepiring nasi tanpa ada lauk pauknya. Pesannya sangat kontekstual dengan kondisi Indonesia saat itu. Di saat seluruh masyarakat Indonesia menjadikan nasi sebagai konsumsi utama. Ironisnya, beras bagi bangsa ini menjadi barang yang langka dan mahal. Sampai-sampai Indonesia harus mengimpor beras. Mengenaskan jika beras yang kita nikmati adalah beras impor.

Iklan-iklan tematis itu berupaya memperlihatkan penajaman Kompas terhadap suatu peristiwa secara lebih mendalam sesuai dengan tema kampanye yang diusung BMDK. Kompas melalui iklan tematis mengajak pembacanya melihat “lebih jauh, lebih dalam, dan lebih luas”. Penajaman tersebut berupaya menjelaskan sebuah objek yang memiliki makna dibaliknya. Versi lain berjudul ‘Pembersih Utang Negara’. Visualnya hanya sebuah kemoceng, pembersih debu dari bulu ayam. Kemoceng ini merupakan ‘alat produksi’ pembantu rumah tangga (PRT) sehari-hari termasuk para tenaga kerja wanita (TKW) yang mengadu nasib ke luar negeri. Mereka disebut dengan ‘pahlawan devisa’ bagi negara. Sayang, kemoceng yang mereka gunakan sehari-hari terakumulasi hasilnya hanya untuk membersihkan negara dari jeratan hutang. Selain versi ‘Makanan Hari Ini’, ‘Menu Termahal’, dan ‘Pembersih Hutang’, versi lainnya yaitu versi ‘Topi Sang Presiden’, versi ‘Anti Luntur’, versi ‘Shuttle Cock’, versi ‘Time Signal’. Iklan versi tematik ini menggunakan bauran media TV, yaitu tiga stasiun mapan Indosiar, RCTI, dan SCTV. Selain TV, media cetak berupa koran, tabloid dan majalah yang memiliki target umum digunakan pula. Begitu juga dengan radio yang dimanfaatkan oleh Kompas untuk beriklan.

Selain aktivitas promosi lini atas, Kompas juga menggencarkan aktivitas promosi lini bawah. Tepatnya selama bulan Agustus 2002, Kompas menggelar kegiatan yang bertajuk breakfast package. Kompas membagi-bagikan paket sarapan pagi ke beberapa radio di Jakarta berisi kopi dan donat yang diantar oleh suatu tim khusus yang diantarkan sebelum pukul 06.30 pagi setiap harinya selama seminggu. Selain itu, Kompas juga menggunakan fasilitas bis kota di Jakarta dan kereta api untuk mengiklankan produknya. Ini merupakan strategi pemasaran kreatif yang dilakukan sebuah produk dengan memanfaatkan media luar griya (MLG). Pada titik ini Kompas berupaya keluar dari paritas iklan yang ada, tak hanya mengandalkan media konvensional yang ada. Sebuah terobosan cerdas dari sang pemimpin pasar. Kampanye ini berlangsung selama Agustus 2002-Agustus 2003.[13]

Determinasi Kompas melakukan promosi juga dilakukan dengan menciptakan iklan-iklan taktikal sepanjang empat bulan terakhir tahun 2002. Iklan taktikal ini berupaya menyasar segmen pembaca kalangan muda dan perempuan. Tren global memang menunjukkan kecenderungan bahwa kedua kelompok pembaca ini mulai meninggalkan koran sebagai pilihan utama mendapatkan informasi. Mereka mulai berpaling ke internet. Karenanya Kompas ingin mempertahankan keberadaan mereka sebagai pembaca loyalisnya. Diciptakanlah enam versi iklan taktikal yang targetnya mengajak pembaca muda dan perempuan melihat sesuatu dari sisi lain. Iklan-iklan tematik ini dipasang sesuai dengan rubrik-rubrik yang ada di Kompas dan relevan dengan tema yang hendak disampaikan. Keenam versi tersebut yaitu versi ‘Rose’ untuk rubrik Psikologi Keluarga, versi‘Guitar untuk rubrik Muda, versi ‘Dot’ untuk rubrik Muda, versi ‘Palet’ untuk rubrik Fashion, versi ‘Kursi’ untuk rubrik Karier serta versi ‘Dumbell’ untuk lebih menginformasikan perbaikan pada Kompas. Kompas hanya memanfaatkan koran, majalah, serta radio sebagai medium beriklan untuk iklan taktikal ini.

Tak berhenti disitu, Bates kembali menunjukkan sentuhan kreatifitasnya dengan menciptakan kreatif iklan dengan konsep ‘Manusia dan Kemanusiaan’ pada Juni 2003. Ada beberapa versi yang marak tayang sejak pertengahan 2003 hingga penghujung tahun 2003, yaitu versi Butet Manurung, versi Djamsari ‘Petugas Kereta Api’ dan versi Karina. Beberapa tokoh tersebut, profilnya pernah ditulis di Kompas halaman 16 pada rubrik Sosok. Butet Manurung (31), misalnya, jebolan Antropologi Unpad itu mengabdikan dirinya sebagai relawan sekaligus guru bagi anak-anak pedalaman di suku Kubu dan Suku Rimba. Iklan ini menggambarkan perjuangan Butet mengajarkan cara menulis, membaca dan menghitung anak-anak suku pedalaman. Aktivitas perempuan Batak ini terbilang langka, perlu ketelatenan, mental sekaligus nyali yang tidak main-main, taruhannya adalah kematian dari penyakit malaria, tipes, binatang buas. Iklan versi Butet Manurung ini selama kurun waktu tersebut marak tayang di TV berdurasi 60 detik.

Iklan-iklan tersebut terkesan begitu kuat mengungkap sisi kemanusiaan dari tokoh yang dijadikan sebagai endorsernya. Dengan demikian ini merupakan personifikasi dari karakteristik Kompas sendiri sebagai koran yang kental mengusung nilai-nilai kemanusiaan. Sementara untuk versi lainnya banyak menggunakan media cetak, radio dan billboard yang hanya dipasang di Yogyakarta dan Surabaya.

Untuk yang keduakalinya, Kompas memanfaatkan MLG sebagai medium komunikasinya. Kali ini media yang digunakan adalah neon sign, tangga, dan pilar yang ada di stasiun Gambir. Sejak Juni 2003 hingga Juni 2004, Kompas secara jeli memanfaatkan beberapa fasilitas yang terdapat di stasiun Gambir untuk memajang iklannya. Dua pilar penyangga di lobi utama stasiun Gambir dibalut dengan lipatan Kompas dalam bentuk neon sign. Pilar ini akan terang benderang ketika malam hari. Sementara itu tangga menuju lantai satu dihiasi dengan slogan ‘Buka Mata dengan Kompas’. Tujuan Kompas melakukan kampanye ini sebenarnya hanya ingin mengingatkan kembali (reminding) kepada khalayak yang dituju bahwa Kompas merupakan pilihan utama media informasi yang menyajikan informasi secara kredibel.

Kerja keras Kompas dan Bates tak sia-sia. Ajang Cakram Award 2003 yang digelar Majalah CAKRAM Komunikasi menobatkan dua penghargaan sekaligus. Penghargaan pertama, Kompas dianggap sebagai media pemberi inspirasi bagi industri media nasional. Kompas sebagai sebagai pemimpin pasar terus memperbaiki diri mengkomunikasikan hal itu kepada khalayak. Penghargaan kedua diberikan kepada Kompas untuk kategori kampanye iklan terbaik melalui BMDK. Kampanye Kompas ini menyisihkan beberapa kandidat lainnya yang juga sama-sama tampil memikat, diantaranya kampanye A Mild versi Waktunya Malu Sama yang diatas serta kampanye Pepsodent seri Lomba Lari. Meski sama-sama memiliki kelebihan dan persaingan yang terjadi cukup sengit, namun kampanye BMDK tetap memiliki greget tersendiri. Kampanye ini berpengaruh signifikan terhadap kenaikan oplah. Indikasinya, dua bulan setelah beriklan berdasarkan pantauan Nielsen Media Research (NMR) jumlah pembaca meningkat dari 1,78 juta menjadi 2,24 juta pembaca.

Momentum Perubahan

Rhenald Kasali mengatakan tahun 2005 sebagai tahun corporate reneval (pembaharuan korporat).[14] Ada beberapa alasan kenapa tahun itu banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia yang melakukan perubahan. Pertama, perusahaan-perusahaan di Indonesia tak lagi bisa mengandalkan perubahan dari luar. Perubahan tak lagi sekadar ditentukan oleh ekonomi makro atau peran pemerintah, melainkan oleh perusahaan yang sehat, segar dan berenergi. Kedua, banyak perusahaan terjebak pada pusaran arus liar yang sama, yaitu melakukan upaya-upaya manajerial non stratejik yang bersifat reaktif. Arus liar yang dimaksud adalah teknologi dan perubahan selera pasar. Ia bergerak cepat, tapi hilangnya juga cepat. Ketiga, perusahaan masih banyak berpikir untuk melakukan perubahan tradisional. Banyak perusahaan yang berubah pada saat mengalami masa-masa sulit. Paradigma ini yang harus dibalik, yaitu tren global menunjukkan perubahan yang dilakukan perusahaan berlangsung ketika perusahaan sedang mengalami puncak kejayaan. Sebuah perusahaan yang berhasil memotong mata rantai zona kenyamanan (comfort zone) maka ia akan memberi kenikmatan yang luar biasa.

Jauh hari sebelum Rhenald mengemukakan pemikirannya, Kompas sebenarnya sudah melakukan apa yang disebut ‘perubahan’. Sekitar tahun 1996-2000, seorang konsultan bernama Roger Black tengah menggarap beberapa perubahan untuk Kompas. Beberapa hasil perubahan itu antara lain, halaman empat sudah berubah dari segi wajah, begitu juga dengan tipografi. Tulisan logo ‘Kompas’ juga secara perlahan-lahan sudah mulai berubah, yaitu mulai agak direnggangkan, tidak serapat sebelumnya. Perubahan yang mencolok sebenarnya Roger Black berusaha merubah halaman satu menjadi full colour. Lagi-lagi, pengalaman Kompas beriklan melalui billboard tahun 1989 terulang kembali. Terjadi perdebatan kenapa harus full colour di kalangan internal Kompas ? Mereka khawatir jika halaman satu full colour, maka tingkat serius khas Kompas akan berkurang bahkan hilang. Pendapat lain muncul bahwa koran berkualitas pantang berwarna-warni. Bahkan, ada yang menyindir jika full colour, maka Kompas sama halnya dengan Taman Kanak-Kanak (TK). Diantara sekian perdebatan, akhirnya rencana perubahan warna halaman satu ini yang tak diteruskan.

Roger Black bisa dikatakan cukup berani untuk merubah Kompas. Pada tahun 1999, dia sempat mengusulkan agar Kompas berubah menjadi tabloid. Roger sudah menyiapkan konsepnya, Kompas dalam bentuk tabloid. Saat itu perubahan koran menjadi tabloid sedang menjadi tren di sebagian besar dunia. Ide ‘nyeleneh’ Roger tersebut tak mendapat respon serius dari manajemen Kompas.

Ketakutan Kompas berubah memang terkesan begitu kuat di kalangan internal Kompas. Sangat wajar jika perdebatan itu terjadi. Pasalnya hal itu jelas akan memberikan side effect yang luar biasa bagi pembaca setia Kompas. Kompas khawatir mereka akan berpaling dan meninggalkan Kompas. Kompas sadar betul bahwa membaca koran itu merupakan sebuah kebiasaan (habit). Seseorang membaca satu koran berdasarkan kebiasaan yang dia lakukan selama bertahun-tahun. Artinya, kalau sudah cocok maka ia akan membaca koran itu selamanya. Sebaliknya, jika Kompas berubah apa yang akan terjadi dengan pembaca loyalisnya. Pada sisi yang lain, orang membaca koran sebenarnya bukan hanya sekadar menginginkan informasi tetapi juga memiliki beberapa ekspektasi yang dapat dijumpai pada koran tersebut. Koran selalu menjadi sesuatu yang lekat pada masyarakat, maka pembaca selalu menginginkan adanya hubungan yang alami dan personal antara berbagai berita di koran dengan lingkungannya.

Perdebatan Kompas merubah halaman satu menjadi full colour kembali mencuat pada saat Kompas meliput Piala Dunia 2002 di Prancis. Tidak mungkin Kompas menampilkan foto-foto yang hitam putih dalam beberapa laporan ekslusifnya. Mau tak mau selama satu bulan berlangsungnya Piala Dunia, Kompas menggebernya dengan foto-foto full colour termasuk untuk halaman satu. Pihak yang mengusung halaman satu harus berubah berupaya meyakinkan internal Kompas bahwa perubahan itu hanya berlangsung selama Piala Dunia 2002. Setelah itu kembali ke hitam putih lagi. Apa yang terjadi kemudian, karena terbiasa menggunakan warna, maka hal itu pun akhirnya bukan barang baru lagi untuk Kompas. Rasanya tak mungkin kembali ke warna hitam putih karena sudah terbiasa. Uniknya, setelah Piala Dunia berakhir nyaris tak ada pihak yang komplain dengan perubahan warna tersebut. Maka, ide Roger Black yang sempat ditolak akhirnya terealisir setelah perhelatan Piala Dunia 2002 usai.

Era Internet

Sudah puaskah Kompas dengan perubahan tersebut ? Ternyata, dari hasil analisa pasar, itu tetap tidak terlalu signifikan mempertahankan pembaca muda dan perempuan yang sudah banyak meninggalkan koran dan berpaling ke dunia cyber. Kompas sadar bahwa dunia sedang dilanda revolusi teknologi informasi. Jacob Oetama pada saat menjadi pembicara utama dalam Asia Pacific Media Forum (APMF) di Bali, 14 Maret 2005 mengatakan bahwa akibat revolusi teknologi selalu mendorong munculnya gelombang-gelombang baru dengan melahirkan medium-medium baru. Pada mulanya media cetak, lantas radio, dan film, dan televisi. Dalam jangka waktu yang intensif dan pendek jaraknya, beragam media digital lainnya seperti internet muncul dan berkembang sangat pesat.[15]

Internet menawarkan sifat personal, intim dan interaktifnya kepada para penggunanya. Penetrasi internet di Indonesia memang belum begitu besar angkanya, pada tahun 2002 angkanya mencapai 2 persen. Angka tersebut dapat dikatakan mencapai persentase masa kritis jika menembus 10 persen dari populasi total. Namun demikian, fenomena muncunya internet menjadi tantangan tersendiri. Hal yang sama juga terjadi di Amerika. Keberadaan internet menimbulkan dampak serius terhadap industri surat kabar di Amerika. Banyak orang membaca surat kabar secara gratis, 24 jam sehari, melalui internet, yang membuat berita halaman muka surat kabar pada pagi hari menjadi seperti berita basi. Lewat internet, beberapa surat kabar Amerika dapat diakses dari manapun di dunia. Selain itu, memang orang Amerika semakin kurang membaca, terutama mereka yang umurnya di bawah 35 tahun. Lembaga Poynter di Florida berpendapat, gaya hidup sekarang yang selalu terburu-buru membuat orang kekurangan waktu untuk membaca koran.[16] Tak ayal, keberadaan internet disebut sebagai media versi ke-4 setelah tiga media konvensional yang sudah ada yaitu media cetak, radio, dan televisi.

Fenomena menarik memang terjadi di Amerika, tahun 2005 dianggap sebagai tahun penuh gejolak dalam industri media khususnya surat kabar. Kompetisi media semakin ketat, surat kabar harus menghadapi gempuran berbagai media-media lainnya yang terus melakukan inovasi dan terobosan cerdasnya. Sebut saja keberadaan stasiun-stasiun radio digital yang menawarkan stasiun-stasiun radio gelombang menengah tanpa harus berlangganan di seluruh dunia. Saluran televisi kabel yang menyediakan siaran berita 24 jam sehari juga menjadi ancaman serius surat kabar di Amerika.

Alhasil, sirkulasi surat kabar di Amerika telah turun selama 44 tahun terakhir. Tahun 1960, satu dari tiga orang Amerika membeli koran setiap hari. Tahun 2004, hanya satu dari lima orang membaca surat kabar.[17] Namun demikian, surat kabar memiliki kelebihan tersendiri yang tak dimiliki oleh media-media lainnya yaitu kedalaman berita. Kecil kemungkinan koran-koran akan mati.

Gelombang Baru

Semangat perubahan terus menginspirasi Kompas untuk menampilkan yang terbaik bagi pembacanya. Sekitar tahun 2003, Daniel Dhakidae, Kepala Litbang Kompas, mengikuti Kongres Surat Kabar Se-Dunia di Portugal. Di awal tahun 2000-an, terjadi tren perubahan di beberapa surat kabar dunia. Koran yang biasanya berukuran broadsheet, dengan sembilan, delapan, atau tujuh kolom (749 x 597 mm), kini ada beberapa koran yang mengubah formatnya jadi format tabloid atau kompak, menjadi empat sampai lima kolom (597 x 375 mm). Beberapa koran di luar negeri banyak yang berubah format menjadi tabloid, sebut saja Le Matin di Swiss yang berubah pada September 2001. The Times, koran milik Rupert Murdoch yang berusia 216 tahun juga berubah. Di Jerman, koran De Welt melakukan hal yang sama. Sementara di Asia, perubahan itu dilakukan New Straits Times di Malaysia.

Setelah kembali ke Jakarta, Daniel yang awalnya menolak keras pekerjaan Roger Black presentasi di hadapan manajemen Kompas. Daniel adalah orang yang sempat mengatakan Kompas seperti TK jika halaman satu berubah menjadi full colour. Sampai akhirnya, semangat perubahan itu semakin menggema di kalangan Kompas. Perayaan ulang tahun ke-40, 28 Juni 2005, dipilih sebagai momentumnya.

Di usianya yang ke-40 tahun itu, Kompas sadar betul bahwa selain pembaca setianya yang sudah berpuluh-puluh tahun menjadikan Kompas sebagai referensi utama, sudah muncul gelombang baru. Gelombang baru ini adalah pembaca pemula yang masuk ke dalam kalangan muda. Terlalu naïf jika Kompas hanya terlena oleh pembaca-pembaca lamanya, tanpa mengakomodir kelompok baru ini. Kalangan muda dengan segala dinamikanya tetap menjadi magnet tersendiri bagi industri koran nasional karena memiliki populasi sangat besar di Indonesia. Sebagai bagian dari anak bangsa, mereka tetap memberi warna yang khas di seluruh aspek kehidupan republik ini. Maka, kehadiran mereka pun mendapat tempat khusus bagi Kompas.

Untuk mewadahi gelombang baru itu maka Kompas mengacu kepada format internet sebagaimana tren yang sedang marak di belahan dunia. Di internet orang akan dengan mudah mencari informasi secara cepat dan praksis. Apalagi, pada saat bersamaan tak semua orang memiliki waktu yang lama untuk membaca koran. Selain untuk mengakomodir kalangan muda, format internet juga menyasar pembaca perempuan sebagai kelompok pembaca potensial.

Maka, Kompas meminta bantuan konsultan Mario Garcia untuk menyusun konsep perubahan tersebut. Mario Garcia ini adalah orang yang mengerjakan perubahan beberapa koran dunia seperti Asian Wall Street Journal. Pada saat Mario mengerjakan perubahan Asian Wall Street Journal, bersamaan dengan Roger Black menggagas beberapa perubahan untuk Kompas. Maka, sejak Desember 2004 Mario Garcia mulai menyusun konsep-konsep perubahannya.

Niat dan kesadaran berubah sudah tertanam kuat, begitu juga dengan momentum sudah ditentukan. Bagi Kompas perubahan itu penting tetapi yang lebih penting yaitu menjaga kepercayaan. Pertanyaan kemudian, bagaimana caranya menyampaikan perubahan tersebut kepada pembaca ? Maka berdasarkan pengalaman panjang Kompas berkomunikasi kepada pembacanya, diundanglah beberapa biro iklan untuk mempresentasikan bagaimana ‘menjual’ perubahan tersebut kepada khalayak. Bates, agensi lama Kompas, Lowe, Publicis, Dentsu, dan AdWork ! Euro RSCG diundang untuk mempresentasikan strategi komunikasi mereka.

Gunakan ‘Dead Endorser’

AdWork Euro secara resmi menangani kampanye komunikasi Kompas. Saat AdWork menggarap kampanye periklanannya, Mario Garcia terus menggodok perubahan format Kompas. Kampanye perubahan yang akan dilakukan tidak dengan cara yang lazim, disampaikan sendiri oleh media yang bersangkutan. Itu dianggap hal lumrah. Alasan kedua, jika dilakukan sendiri tidak memberikan semangat berubah dan memberikan nuansa bahwa Kompas memang berubah.

Maka, AdWork memilih jalan testimoni. Pertanyaannya, siapa yang harus berbicara ? Sebelum ide itu muncul, Ndang Sutisna, Pengarah Kreatif Eksekutif AdWork Euro menyampaikan ‘ide gila’nya. Di Kompas halaman satu edisi 28 Juni 2005, dipasang sebuah iklan besar bertuliskan ‘Simpan Kompas Hari ini, Besok Tidak Akan Terbit Lagi’. Di iklan tersebut dipasang beberapa foto tokoh yang sudah meninggal seperti Harry Roesli dengan foto hitam putih seperti layaknya foto kematian. Idenya menganggap bahwa Kompas akan mati, dan besoknya tidak akan menjumpai Kompas lagi. Maka, Kompas edisi hari itu adalah edisi terakhir yang beredar.

Khawatir bahwa Kompas benar-benar akan mati dan tidak terbit lagi, petinggi Kompas tak menerima ide Ndang tersebut. Maka, pembicaraan kembali berkisar siapa yang layak bertestimoni. Muncul beberapa nama dari hasil inventarisir. Mereka adalah beberapa tokoh nasional yang masih hidup. Perdebatan sengit terjadi pada saat membedah rekam jejak masing-masing tokoh. Sayang, tak ada satu pun yang lolos. Perubahan pandangan terjadi, karena kesulitan mencari figur tokoh yang bersih, kredibel dan mewakili semangat perubahan, akhirnya dipilih beberapa tokoh yang sudah meninggal. Orangnya boleh mati tetapi pesan-pesan dan gagasannya tetap hidup dan terus menginspirasi banyak orang. Pemilihan tidak mengarah ke tokoh politik tertentu, dengan harapan tokoh tersebut mudah diterima oleh seluruh rakyat Indonesia. Maka, dipilihlah kebudayaan sebagai ranah yang dianggap netral dan universal, bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Tokoh tersebut juga harus mewakili kalangan muda. Pilihan tokoh muda jatuh kepada Soe Hok Gie. Harry Roesli dan Chairil Anwar mewakili tokoh budaya. Ketiganya dianggap memiliki karakteristik yang kuat dalam mengusung perubahan dan tidak pernah menimbulkan kontroversi. Pada waktu bersamaan Mira Lesmana tengah mempersiapkan pembuatan film teranyarnya, Gie. Gayung bersambut. Mira dan Kompas bekerja sama karena mendapat momentum yang tepat.

Strategi Kompas itu dalam praktik marketing dikenal dengan ‘dead endorser’, mengkomunikasikan pesan dengan menggunakan endorser yang sudah meninggal. Strategi ini memang bukan barang baru, jauh hari sebelum Kompas melakukan ini, beberapa merek global melakukan hal yang sama. Babe Ruth, atlet baseball legendaris Amerika dipakai oleh Citibank dan Lipton. Bahkan, setelah 49 tahun kematiannya, ikon olah raga Amerika itu masih dipakai untuk kampanye iklan Citibank. Komputer Apple pada saat mengusung kampanye ”Think Different” menggunakan Amelia Earhart dan Alfred Hitchcock.[18] Earhart adalah pilot Amerika yang meninggal ketika menyebrangi Pasifik tahun 1937. Sedangkan Hitchcock adalah produser film-film yang penuh ketegangan. Dengan menggunakan kedua tokoh tersebut, Apple ingin menampilkan imej sebagai perusahaan berani. Ilmuwan Albert Einstein pernah menjadi endorser untuk iklan perawatan rambut anti rontok. Visa memakai Mahatma Gandhi untuk pasar mahasiswa.

Dua minggu menjelang ultah Kompas, iklan-iklan yang menampilkan semangat perubahan dari ketiga tokoh tersebut marak menghiasi media cetak maupun TV. Iklan media cetak menggambarkan t-shirt yang dipakai anak muda bergambar tokoh-tokoh tersebut di atas tiga warna dasar. Warna coklat bergambar Chairil Anwar, hijau untuk Harry Roesli, dan Gie menggunakan warna biru dengan masing-masing diiringi ungkapan ‘Berjuang untuk Perubahan, ditambahkan pernyataan, ‘Kompas 28 Juni 2005 Berubah’[19].

Dalam ketiga iklan tersebut di masing-masing t-shirt juga tertulis pernyataan dari masing-masing tokoh tentang semangat perubahan dan mempertahankan kepercayaan. Versi Gie misalnya,“Buat apa menghindari? Cepat atau lambat, suka atau tidak. Perubahan hanya soal waktu. Semua boleh berubah. Semua boleh baru. Tapi satu yang harus dipegang : Kepercayaan”. Banyak orang menyangka kutipan ini adalah apa yang dikatakan langsung oleh ketiga tokoh tersebut, tetapi itu adalah hasil eksplorasi AdWork. Selain media cetak juga menggunakan iklan TV berdurasi 15 detik. Menurut Triawan Munaf, Chairman AdWork!Euro RSCG penggunaan dead endorser tersebut untuk mengambil spirit ketiga tokoh tersebut. Semangat dan citra tokoh-tokoh tersebut pararel dengan Kompas sebagai brand. Hal itu dilakukan juga untuk menjelaskan bahwa Kompas berada dalam sebuah perjalanan dimana dia akan dilahirkan kembali.[20]

Puncaknya, 28 Juni 2005, apa yang dijanjikan Kompas tentang perubahan terjadi. Hasil kerja keras Mario Garcia dan tim internal Kompas selama tujuh bulan diluncurkan. Kompas berubah format menjadi bentuk yang lebih simple, dalam bentuk compact mengikuti format internet. Format internet dipermudah dengan adanya navigasi. Ukuran Kompas menjadi lebih ramping agar lebih enak dipegang dan dibaca. Hal ini dilakukan karena Kompas memangkas lebarnya sekitar delapan cm (dari 84 cm menjadi 76 cm). Perubahan juga terjadi dalam jumlah kolom, dari sembilan kolom menjadi tujuh kolom. Sehari setelah meluncurkan format baru, Kompas menyediakan satu halaman penuh untuk menjelaskan perubahan yang terjadi dan bagaimana cara membaca Kompas format baru dengan menggunakan navigasi.

Hal lainnya yang menonjol kuat adalah lay out tampil lebih muda, lebih fresh, lebih ramah. Warna tulisan ‘Kompas’ pun yang tadinya dianggap ‘sakral’ untuk dirubah akhirnya dirubah menggunakan warna biru. Dengan garis-garis pembatas antartopik, pergantian font, dan permainan warna, Kompas menjadi koran yang lebih mudah dinikmati secara visual oleh pembaca. Daniel Dhakidae menyebut perubahan ini sebagai metode jurnalistik postmodern, yaitu visual thinking[21]. Filosofi dasar Kompas berubah yaitu berupaya membuat semua lapisan informasi menjadi tampak (visual) dan gampang dikenal (visible).

Perubahan juga dirasakan dari isi. Artikel atau berita diperas menjadi lebih singkat, padat tanpa mengurangi kedalaman berita sebagaimana khasnya Kompas selama ini. Hal ini cukup beralasan karena tak semua orang memiliki waktu yang lama untuk membaca koran. Perubahan yang lain, berbagai kategori iklan diwadahi dalam lembar khusus Klasika. Dari mulai iklan properti, advertorial hingga lowongan kerja tersedia dalam lembar rubrik Klasika. Tujuannya tak lain memudahkan pembaca untuk mendapatkan produk-produk yang diinginkannya sesuai kategori. Keuntungan kedua, bagi pengiklan/klien produk-produk mereka dapat dipasarkan secara tepat sesuai dengan target marketnya. Klasika dapat dikatakan sebagai classified section pertama di Indonesia. Di luar negeri classified section sudah menjadi hal yang lazim dengan jumlah halaman yang sangat tebal. Koran-koran di Indonesia tak menangkap itu sebagai peluang bisnis karena skala komunikasi mereka tak mungkin melakukannya. Bersamaan dengan momentum perubahan format, maka Kompas pun memunculkan classified section yang disebut Klasika. Perubahan tersebut dilakukan oleh konsultan yang melakukan redisain.

Tema perubahan format seperti yang dilakukan Kompas sebenarnya sudah dikembangkan oleh harian USA Today sejak tahun 1980-an dengan konsep visual. Koran nasional pertama di Amerika yang oplahnya kini menembus 2,3 juta eksemplar tersebut memberikan pelajaran bagaimana pentingnya mengemas informasi dan pemberitaan dan unsure visual melalui warna, navigasi, foto, ilustrasi, infografis, dan lain-lain.

Lintas Generasi

Setelah berhasil meluncurkan format baru dengan menggunakan iklan-iklan dari tokoh-tokoh perubahan, Kompas merubah strategi kampanyenya. Iklan-iklan tersebut sempat tayang hampir 1,5 bulan. Dari hasil diskusi panjang dengan Kompas, AdWork mengeluarkan iklan versi keduanya yang bertajuk ‘Lintas Generasi’. Ide utamanya sebenarnya ingin menghargai kekuatan yang dimiliki oleh kalangan orang tua yang mewakili pembaca setia Kompas. Achievement yang dimiliki orang tua itu dalam bentuk kebijaksanaan (wisdom). Semakin tua orang makin bijaksana. Kompas tidak ingin meninggalkan kelompok orang tua ini. Prestasi-prestasi orang tua itu dengan segala kebijaksanaannya berupaya ditransformasikan kepada anak-anak muda sebagai bagian gelombang baru tersebut.

Diciptakanlah iklan TV versi ‘Lintas Generasi’ berdurasi 60 detik yang menggambarkan bayang-bayang seorang direktur yang teringat masa lalu sesaat setelah mendengar dering bel sepeda yang berasal dari telepon genggam seorang eksekutif muda yang saat itu sedang mempresentasikan logo baru perusahaannya. Iklan versi ini juga masih memiliki semangat yang sama dengan versi pertama, mempertahankan kepercayaan Kompas yang digambarkan melalui perjuangan seorang pengantar koran. Meski hujan deras, dia tetap setia melayani pelanggannya dengan baik. Koran dikirim tepat waktu dia berupaya menjaga kepercayaan pelanggannya.

Menaklukkan Pasar

Apa yang dilakukan Kompas dengan melakukan berbagai macam differensiasi dari segi content (what to offer), dari segi context (how to offer), dan dari segi infrastruktur memerlukan terobosan pemikiran pemasaran yang jitu. Koran-koran besar berkembang menjadi sebuah merek tangguh karena belajar dari sejarah dan pengalaman masa lalunya pada saat tahun-tahun pertama terbit. Hal lainnya adalah berbagai terobosan pemikiran yang kerap kali melampaui koran-koran lainnya. Ini dilakukan oleh koran Al-Ahram di Mesir ketika merintis penerbitan pada masa-masa paling awal, berdiri pada tanggal 5 Agustus 1876 hingga menjadi koran terbesar dan tertua di dunia Arab. Ia segera menjadi wacana untuk mengartikulasikan pandangan dan gagasan intelektualisme Arab saat ide-ide besar, seperti demokrasi, masih menjadi barang langka. The Washington Post yang tentu mengalami masa-masa sulit pada rintisan awal hingga menjadi koran terkemuka menjadi contoh lainnya.

Kadangkala memang harus berpikir di luar konteks dan memecahkan kemapanan berpikir. Tak sedikit anggaran dan pengorbanan yang dikeluarkan untuk lebih meyakinkan kepada khalayak kelebihan-kelebihan dari produknya. Cara berkomunikasi yang cerdas dengan menggunakan bauran media menjadikan Kompas sebagai strong brand. Kegamangan menentukan sikap berubah atau tidak selama bertahun-tahun menjadikan dialektika tersendiri bagi manajemen Kompas sampai akhirnya kata ‘perubahan’ menggelinding sesuai dengan niat dan kesadaran kolektif yang harus dilakukan.

Apa yang disarankan Jack Trout untuk menaklukan pasar kepada para perusahaan yaitu dengan melakukan berbagai strategi, seperti strategy is all about survival, strategy is all about perceptions, strategy is all about competition, strategy is all about specialization, strategy is all about simplicity, strategy is all about leadership, strategy is all about reality sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum media lain melakukannya. Hasilnya, hari ini posisi Kompas di segmen koran nasional tetap tidak terbendung. Tak dapat dipungkiri juga bahwa Kompas telah berhasil menjadi merek terkuat di kategorinya. Itu karena Kompas melakukan all out strategy menghadapi persaingan pasar yang berlangsung secara ketat.

**********



[1] Perskita, No. 21/Juni 2005

[2] Kirrilee Hughes (2001), Wajah Pers Malang ; Laporan Studi Lapangan,Universitas Muhammadiyah Malang dan Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies, hal. 27

[3] ibid, hal. 22

[4] ibid,

[5] Helen Ishwara (2001), P.K. Ojong;Hidup Sederhana Berpikir Mulia, Penerbit Buku Kompas, hal 198

[6] Lihat http://www.indomedia.com/bernas/042003/19/UTAMA/19uta1.htm, “Kehormatan Ini untuk Masyarakat Wartawan” (Diakses tanggal 21 September 2005)

[7] CAKRAM Komunikasi Edisi Khusus Media Cetak 2002, hal.11.

[8] CAKRAM Komunikasi Edisi Khusus Media Cetak 2003, hal. 9

[9] op cit.

[10] Ishwara, op.cit, hal. 218.

[11] Ishwara, op.cit, hal. 242.

[12] CAKRAM Komunikasi, Maret 2003, hal. 14

[13] Kompas Campaign Report 2003

[14] Rhenald Kasali, “Ramai-Ramai Berubah”, www.detik.com. (Diakses tanggal 21 September 2005)

[16] http://www.voanews.com/indonesian/2006-01-03-voa7.cfm. (Diakses tanggal 01 Februari 2006).

[17] ibid

[18] httt://www.kompas.com/marketing/news/0510/24/114659.htm. (Diakses tanggal 01 Februari 2006).

[19] CAKRAM Komunikasi, September 2005, hal.19.

[20] op.cit

[21] Daniel Dhakidae, “Kompas 2005 : Mengapa Berubah ?”, Kompas, 28 Juni 2005.

Rakhmat Hidayat adalah mantan wartawan Majalah Periklanan Cakram Komunikasi. Tulisan ini adalah salah satu tulisan yang ada dalam buku Strategi Pemimpin Pasar yang diterbitkan oleh Majalah Cakram Komunikasi (2006)

Tidak ada komentar: