Minggu, 10 Agustus 2008

RTH, Ruang Publik dan Kontestasi Ruang Perkotaan

Rakhmat Hidayat

Sejauh ini belum ditemukan literatur yang secara khusus membahas konsep RTH. Kebanyakan konsep ini memang ‘berserakan’ dari berbagai bahan bacaan yang ada. Sebagian berasal dari artikel di media massakotaurban ecology). Dalam pandangan peneliti, masih terbatas mengkaji topik RTH dengan menggunakan perspektif sosiologis. Hal ini perlu dikemukakan, untuk tidak mengatakan bahwa memang tidak ada kajian sosiologis tentang RTH. Studi ini dalam upaya memperkaya kajian sosiologi tentang topik RTH dan hutan kota sebagai sub(urban)ization problems. maupun jurnal penelitian. Penjelasan topik RTH selama ini lebih berkaitan dengan kajian perencanaan (planologi), arsitektur perkotaan maupun kajian ekologi perkotaan (

Secara umum konsep RTH adalah istilah teknis untuk menggambarkan lahan yang dibiarkan terbuka dan umumnya ditumbuhi pohon. Mengapa RTH dianggap strategis menjaga lingkungan sebuah wilayah ? Hal itu mengingat setiap satu hektar RTH dipercaya mampu menetralisasi 736.000 liter limbah cair hasil buangan dari 16 ribu penduduk per hari. RTH juga memproduksi 0,6 ton oksigen yang dibutuhkan 1.500 penduduk per hari, memindah 4.000 liter air per hari atau sama dengan pengurangan suhu 5-8 derajat Celcius.

Dalam sejarahnya, Jakarta pernah memiliki RTH seluas 32.110,30 ha atau sekitar 49,40 persen pada tahun 1970-an. Pada pertengahan tahun 1980-an, RTH sudah menyempit menjadi sekitar 36 persen. Pada tahun 1999, RTH yang masih tersisa hanya mencapai 7000-an hektar atau 11 persen. Sampai akhir tahun 2004 luas RTH yang ada sekitar 6.190 hektar atau 9 persen. Dalam perencanaan tata ruang tahun 2010, Pemprov DKI Jakarta menargetkan memiliki RTH seluas 9.544 hektar meliputi berbagai jenis hutan, pemakaman, ruang-ruang yang berfungsi sebagai pengaman, serta lahan pertanian. Idealnya, berdasarkan penelitian Lembaga Bina Lansekap Universitas Trisakti (2003), sebuah kota sebaiknya menggunakan 30 persen luas wilayahnya untuk RTH.[1]

Peruntukan RTH sudah mengalami banyak perubahan. Sampai tahun 1985, daerah pinggiran sungai dan lembah diperuntukkan menjadi kawasan hijau. Dalam rencana tata ruang tahun 2005, RTH DKI Jakarta terbagi pada tiga daerah yaitu barat laut, timur laut, dan selatan Jakarta. Sayang, dalam perkembangannya rencana tersebut tak terealisir. Pertama, bagian timur laut Jakarta meliputi Kelapa Gading, Cakung, Marunda, Rorotan, Rawa Terate, Pademangan Timur, dan Sunter Agung tak lagi diperuntukkan menjadi kawasan hijau melainkan diperuntukkan menjadi daerah permukiman dan kawasan ekonomi prospektif, yaitu kawasan yang memiliki nilai strategis dalam pengembangan kota. Kedua, bagian barat laut yang meliputi Kapuk, Kapuk Muara, dan Kamal Muara juga bernasib sama karena tingginya kebutuhan perumahan dan perkembangan kegiatan perkotaan. Dalam rencana periode selanjutnya, hanya bagian selatan yang diprioritaskan sebagai kawasan hijau.

Topik RTH sebenarnya berkaitan erat dengan struktur ruang perkotaan yang selama ini berkembang di kawasan urban (baca: Jakarta) maupun suburban yang dalam studi ini direprsentasikan. Problem serius minimnya RTH di kota-kota negara dunia ketiga sebenarnya jika menggunakan analisa Castells merupakan pergulatan kelompok-kelompok sosial yang ada. Castells mengatakan kota dibangun oleh struktur sosio-spasial (sosial-ruang).[2] Analisa Castell paling tidak membantu studi ini bahwa tergerusnya RTH, merupakan hegemoni dari proyek ambisius kekuatan pemodal yang dalam hal ini didukung oleh birokrasi untuk membangun berbagai pusat-pusat komersil. Kekuatan pemodal, jika menggunakan perspektif Castell sesungguhnya adalah kelompok dominasi dalam urban society yang berjuang mengkonkretkan citra dan visi mereka. Singkatnya, Castell ingin bergerak lebih jauh bahwa kelas pemodal perkotaan berupaya memenuhi tuntutan-tuntutan fungsional dan ideologis. Sebagai seorang neoMarxisme, Castell menilai kota merupakan area konsumsi bagi setiap individunya. Surbakti (1995:53) mengatakan bahwa Castell menjelaskan kota sebagai unit konsumsi kolektif, dimana setiap orang memperebutkan pengaruh dan kekuasaan satu dengan yang lainnya. Hasilnya, menempatkan manusia sebagai tahanan system produksi dan distribusi kapitalisme.[3]

Sejalan dengan Castells, RTH sebenarnya jika menggunakan pendekatan yang dirintis Edward Soja[4], merupakan tak terpisahkan dengan fenomena ruang-kota (citycpace), yang dipahami “kota sebagai fenomena histories-sosial-spasial, tetapi dengan spasialitas intrinsic yang ditekankan untuk tujuan penafsiran dan penjelasan”. Jadi, Soja hendak memasukkan problem ruang perkotaan ke dalam analisis sosial. Lebih lanjut Soja menjelaskan tiga perspektif dalam cityspace tersebut. (1) perspektif firtsspace, yaitu ruang-kota dapat dikaji sebagai seperangkat ‘praktik sosial’ yang dimaterialisasikan yang bekerja sama untuk memproduksi dan mereproduksi bentuk-bentuk konkret dan pola urbanisme spesifik sebagai gaya hidup. (2) perspektif secondspace, cenderung lebih subyektif dan berfokus pada “pemikiran tentang ruang”. Ruang kota dipahami sebagai imajinasi, pemikiran refleksif, dan representasi simbolik, sebuah ruang imajinasi yang dibayangkan atau imajinasi urban”, (3) perspektif thirdspace, melihat urbanisme diinvestigasi sebagai ruang yang dihidupkan (lived space) secara penuh, sekaligus riil dan bayangan, actual dan virtual, lokus dari individu yang terstruktur dan pengalaman kolektif. Berdasarkan analisa Soja, RTH dan hutan kota sesungguhnya merupakan upaya masyarakat mereproduksi bentuk-bentuk perkotaan dimana didalamnya terjadi ‘praktik social’. Sehingga, perspektif firtsspace relevan untuk menjelaskan topik RTH dan hutan kota.

Apa yang sudah dijelaskan diatas, tidak berlebihan jika kualitas ruang terbuka kota menjadi sangat memprihatinkan. Sisi sebaliknya, semakin nyaman dan atraktifnya pusat-pusat perbelanjaan. Festival budaya dan karnaval tak lagi digelar di ruang terbuka kota, tapi beralih mengisi atrium pusat perbelanjaan. Danang Priatmojo, pemerhati perkotaan menyebutnya evolusi ruang publik di Indonesia.[5] Konsepsi ruang publik sendiri merupakan sebuah kawasan dimana setiap orang dari berbagai latar belakang, etnis dan strata sosial bertemu dan berkumpul disatukan oleh kepentingan masing-masing. Dalam istilah lain, Habermas mengintrodusir terminologi public sphere. Juliawan (2004) mengemukakan :

“ruang publik yang muncul sekitar awal abad ke-18 digambarkan sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pribadi dan individu-individu dalam kehidupan keluarga dengan tuntutan serta kepentingan kehidupan sosial dan publik yang muncul dalam konteks kekuasaan negara”[6]

Penjelasan Juliawan tentang gagasan ruang publik juga menggambarkan kontradiksi yang sering digambarkan antara kepentingan borjuis dengan kepentingan masyarakat. Habermas sendiri menjelaskan ruang publik dengan menyebut beberapa contoh seperti lembaga-lembaga diskusi publik, media komunikasi, rumah minum, klub-klub politik, asosiasi sukarela, warung kopi, termasuk balaikota yang menjadi ruang terjadinya diskusi sosial politik. Dalam konteks urban sociology, ruang publik dapat dipahami sebagai ruang-ruang terbuka yang terdapat di kawasan perkotaan, dimana setiap orang dengan kepentingannya masing-masing dapat bersinggungan dan melakukan kontak-kontak. Hal itu dapat dijumpai misalnya pada mal (pusat perbelanjaan), taman kota, hutan kota, dan sebagainya.

Pada masa Jayakarta masyarakat mengenal alun-alun lama yang terletak di belakang Kali Besar Barat, Jakarta Pusat, sebagai ruang terbuka publik kemudian kondisinya diperbarui saat Belanda menduduki Batavia yang diadaptasi dengan tradisi plaza di Eropa.[7] Ruang publik yang berada di Plaza Taman Fatahillah itu, ditanam pohon-pohon yang rindang, untuk menyesuaikan diri dengan iklim panas di Indonesia. Sayangnya, kondisi itu tak berlangsung lama. Pada masa rezim Dandels yang juga pemerhati kota, dia mengadakan berbagai perubahan terhadap ruang publik ke arah Lapangan Banteng. Ruang publik itu lantas ditanami dengan rumput dan tanaman yang disebutnya sebagai waterloo plein. Pada 1850, pasca pemerintahan Daendels, pemerintah Belanda memindahkan pusat kekuasaannya di istana. Hasilnya, ruang publik berpindah di Monumen Nasional (Monas).

Babak baru ruang terbuka Jakarta berlangsung pada awal abad 20. Ruang publik dimeriahkan oleh pasar malam tahunan yang sangat terkenal, yakni Pasar Gambir. Ruang terbuka publik pada waktu itu meluas dari sepanjang Monas hingga sisi barat depan Departemen Pertambangan sekarang. Acara ini sekarang lebih popular dengan nama Jakarta Fair. Sayangnya, sekitar 10 tahun terakhir even Jakarta Fair tak lagi digelar di Monas tetapi memanfaatkan lahan di kawasan Kemayoran-Jakarta Pusat. Tradisi membangun ruang publik berbentuk taman kota atau-atau plaza dalam skala besar itu kemudian terputus. Beberapa taman kota di masa lalu telah berubah menjadi pompa bensin dalam skala kecil hingga hotel dalam skala besar.Secara sosiologis, gencarnya pembangunan perkotaan di Indonesia yang didominasi oleh kepentingan kapitalisme akan menghasilkan masyarakat yang secara social tidak sehat (socially unhealthy society)[8]. Karakteristik masyarakat ini sebagian besar menetap di pinggiran kota, kelompok strata menengah ke bawah, sangat bergantung pada pekerjaan di pusat kota, pola hubungan tidak dekat. Oleh karena itu perlu pemerintah setempat perlu meningkatkan kualitas hidup masyarakat kota tersebut. Dan, membangun hutan kota maupun RTH merupakan sebuah keniscayaan.

Ruang publik terbuka merupakan salah satu kebutuhan masyarakat perkotaan saat ini dan itu menjadi paru-paru kota. Di ruang publik terbuka itu warga dapat bersosialisasi melalu berbagai kegiatan seperti olah raga, bercengkrama, rekreasi, diskusi, pameran/bazaar, dan sebagainya. Anak-anak mungkin bisa bermain dengan leluasa dibawah teduhnya pohon-pohon yang rimbun. Warga juga dapat memanfaatkan taman kota sebagai terapi kesehatan dengan menginjak bebatuan sebagai pengganti pijat refleksi.[9] Singkatnya, ini menjadi tempat rekreasi dan olahraga yang menyenangkan tanpa harus mengeluarkan biaya.

Ketidakmampuan Jakarta mengelola RTH seyogyianya dapat belajar dari pengalaman Singapura dalam mengelola RTH yang serius, professional dan konsisten. Pemerintah Singapura melalui Urban Redevelopment Authority (URA) dan Singapore National Parks (Nparks) menyusun Rencana Induk RTH (The Parks and Waterbodies Plan) dengan komposisi RTH (19 persen), perkantoran (17 persen), infrastruktur (15 persen), perumahan (12 persen), dan lain-lain (lahan hijau cadangan, 37 persen)[10] Di Singapura, RTH yang dikelola sebesar 9.053,7 ha, taman sebesar 1.763 ha, hutan kota 2.979 ha, jalur hijau 2.390 ha, lahan hijau cadangan 1.871 ha, taman kompleks istana dan parlemen 42 ha, taman bangunan pemerintah 8,7 ha. Selain itu keberhasilan Singapura dalam mengembangkan RTH juga dilakukan dengan membentuk The Park Watch yang bertujuan memberdayakan masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan RTH secara bersama dan sederajat.

Rakhmat Hidayat adalah Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ)



[1]Seandainya Jakarta Tak Punya Kawasan Hijau”, Kompas, Februari 2005

[2] Evers dan Korff, op.cit, hal. 28

[3] Lihat Surbakti (1995), Dimensi Ekonomi-Politik Pertumbuhan Kota, dalam Jurnal Prisma 1, Januari 1995, hal.53. Lihat juga Schwab (1992), hal 24-25. Schwab menempatkan Castells sebagai neo-marxian urban sociology yang menjelaskan “views the function of the city as economic”.Ringkasnya, kepentingan ekonomi-kapitalis mendominasi ruang-ruang sosial kehidupan masyarakat perkotaan dan suburbanisasi.

[4] Ritzer and Goodman (2004) Teori Sosiologi Modern (Judul Asli : Modern Sociological Theory;diterjemahkan Alimandan), Penerbit Prenada Media, Jakarta, hal. 214.

[5] Mal=Ruang Publik ? dalam Rubrik Fokus Media Indonesia, 19 Juni 2005 hal. 4

[6] Juliawan (2004), Ruang Publik Habermas:Solidaritas Tanpa Intimitas, dalam Majalah Basis Nomor 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, hal. 32-33. Lihat juga, Allan, Kenneth (2006), Contemporay Social and Sociological Theory;Visualizing Social Worlds, Pine Forge, California, hal. 243.

[7] Media Indonesia, op. cit.

[8] Ibrahim, Kehidupan Sosial Budaya Kota dalam Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21;Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia, Yayasan Sugijanto Soegijoko dan Urdi, Jakarta, hal. 200.

[9] R Adhi Kusumaputra, Hutan Kota sebagai Penyeimbang Hutan Beton, dalam rubrik Metropolitan, Kompas, Senin, 17 April 2006

[10] Nirwono Joga, Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau ala Singapura dalam http”//www.kompas.com/kompas-cetak/0412/13/sorotan/1432267/htm (diakses 14/02/2006)

Tidak ada komentar: