Minggu, 10 Agustus 2008

PRT, Korban Ketidakadilan Struktur Sosial

Rakhmat Hidayat


Artikel Diah Irawaty yang berjudul Perspektif Kepedulian terhadap PRT (Kompas,2/07/05) kembali mengingatkan kita bahwa posisi pembantu rumah tangga (PRT) merupakan kelompok yang selalu terpinggirkan oleh majikan. Diah mengungkapkan, “Bagaimanapun, pekerja rumah tangga masih merupakan kelompok yang rentan mengalami kekerasan dan pengabaian hak sebagai pekerja seperti gaji tidak layak, dibayar telat, tidak dibayar sama sekali;jam kerja berlebih;pekerjaan tidak terbatas; tidak ada libur dan cuti, pembatasan akses”. Tulisan ini ingin memotret lebih jauh posisi PRT sebagai kelompok yang termarjinalkan dalam relasi sosial dengan majikannya.

Akibat Krismon

Masih segar dalam ingatan kita medio 1997 tepatnya ketika krisis moneter mulai meradang di negeri ini, pemecatan buruh yang menggila ternyata melahirkan social cost yang begitu besar dan celakanya itupun harus ditanggung oleh kebanyakan buruh-buruh perempuan, terutama di sektor-sektor manufaktur yang notabene adalah pekerjaan mereka untuk mem-back up dapur mereka. Akibat krismon pula jumlah perempuan yang mendaftarkan diri sebagai tenaga kerja wanita (TKW) semakin melonjak. Kebanyakan mereka berusia antara 13-15 tahun dan sama sekali tidak punya pengalaman kerja sebelumnya.

Pada saat bersamaan, tidak sedikit kaum perempuan yang harus menjadi tumpuan dan harapan ekonomi keluarga ketika suami mereka pun terkena PHK. Di sinilah bagaimana perempuan mempunyai beban ganda, beban psikologis dan ekonomi. Mereka akhirnya lari menjadi PRT. Masyarakat beranggapan bahwa PRT adalah sektor informal sangat cocok bagi kaum perempuan, terutama mengingat bahwa beban kerja perawatan rumah tangga dan pengasuhan anak masih berada di pundak kaum perempuan sendiri. Lembaga non-pemerintah Tjoet Nyak Dien Yogyakarta yang banyak melakukan advokasi terhadap PRT misalnya, mengungkapkan bahwa mayoritas lebih dari 90 persen PRT adalah perempuan (Kompas,16/121999).

Berbeda dari perempuan migran yang bekerja sebagai PRT di luar negeri, status hukum ikatan kerja antara PRT dengan pemberi kerja belum jelas, artinya belum ada jaminan hukum dan sosial yang mengikat kedua belah pihak. Selama ini keterikatan adalah suka sama suka, sementara banyak agen PRT yang melupakan jaminan-jaminan bagi PRT tersebut. Di Jakarta misalnya, Pemda DKI sudah mengeluarkan Perda No. 6/1993 yang mengatur tentang PRT, namun karena tidak adanya kontrol terhadap pelaksanaannya yang antara lain mencoba mengatur soal hak dan kewajiban pekerja dan pemberi kerja itu, membuat Perda tersebut tetap tinggal sebagai peraturan di atas kertas.

Anders Uhlin (1998:52) menyebutkan bahwa PRT adalah bagian dari perempuan kelas bawah yang paling sering dieksploitasi dan berada dalam posisi yang teramat sulit. Uhlin menjelaskan bahwa sudah biasa di kalangan keluarga kelas menengah Indonesia untuk mempekerjakan satu atau lebih PRT. Mereka sepenuhnya bergantung pada majikan dan tidak diakui sebagai bagian dari angkatan kerja dan tidak memiliki hak-hak hukum. Seringkali pembantu bekerja hingga enam belas jam per hari, tujuh hari seminggu dengan waktu libur yang sangat sedikit. Mereka sering dihadapkan pada berbagai pelecehan baik yang verbal maupun fisik oleh kepala rumah tangga perempuan ataupun laki-laki.

Tidak adanya peraturan formal antara PRT dengan pemberi kerja sangat merugikan PRT, karena hak-hak PRT tidak terlindungi seperti besarnya gaji minimum, jaminan kesehatan, panjangnya jam kerja, serta perlakuan pemberi kerja terhadap PRT mulai dari omelan sampai kekerasan fisik. Pelanggaran hak ini biasanya tidak disadari oleh PRT karena mereka memang tidak menyadari hak-hak mereka. Bagi mereka itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Dalam situasi yang seperti ini, di mana sistem penunjang kesejahteraan sosial masyarakat tidak tersedia, maka peran PRT tidak akan surut dan hubungan kerja informal antara PRT dan pemberi kerja tampaknya tak akan banyak berubah. Dalam relasi sosial (baca : kemanusiaan) akhirnya posisi PRT tidak memiliki status sosial yang setidaknya lebih jelas.

Fakta Ketidakadilan Jender

Secara sosial, PRT tidak pernah dianggap sebagai pekerja formal dalam arti upah, jam kerja dan kondisi kesejahteraan sosial dan jaminan hukumnya. Isu PRT dalam negeri ini masih kalah gaungnya dibandingkan dengan isu PRT luar negeri, karena secara politis dan tentunya ekonomis, posisi PRT luar negeri masih jauh lebih memberikan kontribusi bagi negara, sementara kontribusi PRT dalam negeri tidak dihitung berapa besar kontribusi mereka pada produktivitas nasional. Pada era pemerintahan Habibie dari 1,5 juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau 2,8 juta buruh migran yang 60 persen di antaranya bekerja sebagai PRT ternyata mampu meraup 3,7 miliar dollar AS bagi devisa negara, maka wajar mereka mendapat julukan “pahlawan devisa”.

Realitas kemiskinan dan eksploitasi pada kaum perempuan bukan menjadi sesuatu yang baru. Peminggiran perempuan dari pusat-pusat sumber daya dan pengambilan keputusan merupakan fakta ketidakadilan jender yang telah lama hidup dan berkembang di semua sektor kehidupan. PRT misalnya, dibandingkan dengan pekerja-pekerja lainnya terutama di sektor publik sangat tidak jelas posisi dan statusnya. PRT sangat tertutup karena berada di sektor privat. Posisi tawar mereka sangat rendah, tekanan dan tuntutan majikan tinggi, sehingga peluang mengembangkan diri bagi PRT sangat kurang.

Pola kerentanan PRT terhadap kekerasan oleh majikan menjadi isu yang selama ini dikritisi oleh gerakan-gerakan feminisme dan pemberdayaan perempuan. Kekerasan selalu menghantui kehidupan PRT dalam bentuk kekerasan secara fisik seperti mendorong, memukul, melukai bahkan membunuh, kekerasan seksual seperti aktivitas seksual yang dipaksakan, dari sentuhan sampai perkosaan, pelecehan seksual berupa perhatian yang tidak diinginkan atau diharapkan baik fisik maupun verbal atau kekerasan psikologis, kekerasan yang mengancam harga diri dan percaya diri.

Fakta ketidakadilan itu bisa kita lihat dari konstruksi sosial yang mengungkapkan bahwa kaum perempuan berperan sebagai pengasuh dan pendamping, sebagaimana layaknya seorang istri dan ibu, sedangkan kaum lelaki mengambil peran sebagai pemimpin dan penentu, sebagaimana layaknya seorang kepala rumah tangga. Dalam alur pemikiran ini, perempuan ditempatkan pada pengelolaan kehidupan domestik, sedangkan lelaki mengurus kehidupan publik yang mencakup kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik serta posisi-posisi kepemimpinan (Kamala Chandrakirana, Kompas 28/12 2000).Ì

Rakhmat Hidayat

Staf Pengajar Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Tidak ada komentar: