Minggu, 10 Agustus 2008

Pendidikan Alternatif sebagai Wacana Tanding

Judul Buku : Belajar Sejati versus Kurikulum Nasional

Penulis : Yosef Dedy Pradipto

Kata Pengantar : Mudji Sutrisno

Jumlah Halaman : 261 halaman

Penerbit : Kanisius Yogyakarta

Waktu Terbit : Januari 2007

Harga : Rp. 45.000

Andai saja mendiang Romo Mangun masih hidup, pasti dia semakin miris melihat semakin carut marutnya dunia pendidikan kita. Dia akan tersayat hatinya melihat kontroversi UAN yang sangat absurd dan tak memiliki makna filosofis. Jika waktu bisa diulang, kita masih berharap Romo Mangun masih segar mendampingi komunitas dampingannya, mengajarkan berbagai pengalaman hidup, kearifan lokal berbasiskan dunia keseharian yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Tentu saja, itu hanya angan-angan belaka. Tetapi geliat dan semangat Romo Mangun terasa hidup kembali dan terus bergerak dalam struktur kognitif siapapun yang peduli dengan pendidikan humanis. Yosef Dedy Pradipto (YDP) tampaknya hendak melakukan itu. Usahanya itu dilakukan dengan sebuah studi yang sangat komprehensif tentang visi pendidikan yang diusung Romo Mangunwijaya. Dengan cara ini YDP ingin terus mendiseminasikan berbagai pengalaman praksis yang telah diperjuangkan oleh Romo Mangun melalui pendidikan humanis.

Belajar Sejati = Pemerdekaan Pendidikan

Bermodalkan sebuah bangunan yang terbuat dari kayu, gedheg (dinding terbuat dari anyaman bambu), dan sebagian dari batu bata serta semen, Romo Mangun dengan telaten mengembangkan sebuah proyek pendidikan kemanusiaan. Rintisan itu diwujudkan melalui sekolah Mangunan yang bernama Sekolah Dasar Kanisius Eksperimental Mangunan (SDKE) yang dimulai pada Tahun Pelajaran 1994/1995. Sekolah ini dirintis oleh Romo Mangun sebagai pendidikan alternatif yang hendak mentransformasikan visi pendidikan humanis. Sebagai orang yang terinspirasi Freire dan Piaget, Romo Mangun sadar bahwa pergulatannya tak sekadar omong-omong. Pergulatannya dia lakukan secara praksis dengan proyek eksperimennya, SDKE tersebut. Menariknya, sekolah ini awalnya dikelola Yayasan Kanisius. Tetapi, dalam perjalanannya, sekolah ini akan ditutup karena paceklik murid. Namun, dengan ketajaman visinya, Romo Mangun mengambil alih sekolah tersebut (hal 94). Pada aras ini, Romo Mangun ingin menjadikan SDKE Mangunan yang terletak di Desa Mangunan sebagai laboratorium pendidikan alternatif.

Jauh hari sebelum SDKE dirintis, visi pendidikan humanis Romo Mangun sudah dilembagakan melalui Yayasan Dinamik Edukasi Dasar (DED) pada 1989. Yayasan DED ini didirikan Romo Mangun guna mewujudukan gagasannya tentang pendidikan dasar untuk anak. Gagasan ini dilakukan dengan kesadaran akan kondisi pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan dasar, dan kepedulian Romo Mangun pada mereka yang miskin (hal. 74). Sekali lagi, dengan cara ini, Romo Mangun melakukan pencarian panjang bagaimana pendidikan yang membebaskan dapat diwujudkan.

Apa yang ingin disampaikan dari dua eksperiman tersebut (Yayasan DED dan SDKE) oleh Romo Mangun ? Paling tidak dari studi yang dilakukan YDP terdapat dua hal penting. Pertama, Romo Mangun tampak kecewa dengan praktek pendidikan dasar yang sama sekali miskin makna filosofis kehidupan. Mangun tak menjumpai anak-anak yang sekolah di pendidikan dasar formal mendapatkan haknya sebagai anak, tetapi anak digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri. (hal 66). Dengan kondisi ini, Mangun bergerak lebih jauh, bahwa pendidikan dasar alternatif yang dikembangkannya mencoba mengajarkan “keterampilan hidup”. Demikian YDP menyebutnya seperti diintroduksi oleh Romo Mangun. Keterampilan hidup yang dimaksud adalah kemampuan untuk terus berinteraksi dengan lingkungan selama hidup. Disinilah gagasan besar “belajar sejati” muncul. Menurutnya, “belajar sejati” merupakan bentuk kesadaran untuk terus belajar seumur hidup tanpa harus melalui pendidikan formal. (hal. 68)

Kedua, pendidikan alternatif yang dikembangkan Romo Mangun yang berupaya menghargai anak sebagai subjek dan aktor yang aktif dengan berbagai haknya--bukan sebagai objek—adalah dalam upaya humanisasi pendidikan. Pertanyaannya, kenapa Mangun melakukannya kepada anak-anak pendidikan dasar ? Tidak kepada orang dewasa, misalnya ? Tentu saja Mangun memandang bahwa anak-anak pendidikan dasar sebagai asset dan generasi yang memiliki kemerdekaan di kehidupannya. Akar historisnya melalui refleksi panjang pada saat Mangun terlibat dalam pendampingan anak-anak miskin pada tahun 1981-1987 di Code, Grigak, dan Kedung Ombo. Dengan pengalaman tersebut Mangun merasa anak-anak harus merdeka, dapat mengembangkan dirinya. Singkatnya, visi kemanusiaan tampil dalam praktek pendidikan dasar.

Kurikulum Alternatif

Mangun tak hanya melihat sekolah formal bersarangnya dehumanisasi, tetapi Mangun juga melihat ada faktor yang tak kalah pentingnya, yaitu kurikulum. Sepanjang Indonesia merdeka, kurikulum menjadi pembicaraan yang menarik seiring dengan rezim yang berkuasa. Pameo yang mengatakan ganti menteri ganti kurikulum rasanya tepat untuk menggambarkan perubahan tersebut. Pepatah tersebut sebenarnya hendak memberikan penjelasan bagi kita bahwa kurikulum bukanlah sesuatu yang given alias taken for granted, tetapi dia adalah hasil dari konstruksi sosial-politik yang saat itu berkuasa. Ini menunjukkan adanya kontinuitas antara kurikulum dengan kekuasaan. Ironisnya, bagi Indonesia, karena kurikulum menjadi komoditas politik yang dikendalikan rezim maka inipula yang kian menjadikan pendidikan kita semakin carut-marut.

Dalam sejarahnya pendidikan memang sarat dengan berbagai kepentingan kekuasaan. Pendidikan pada masa pra kemerdekaan diorientasikan untuk memenuhi kepentingan kekuasaan kolonialisme, selain itu pendidikan nasional juga dilaksanakan dalam upaya menciptakan nation building dan character building. Pada era Orde Lama, kepentingan tersebut masih bertahan. Muatan indoktrinasi sangat terasa dalam atmosfer pendidikan nasional pada saat era Orde Baru apalagi jika penerapan P4 untuk seluruh warga negara. Pasca Orde Baru, semangatnya adalah membangun tradisi demokrasi bagi masyarakat. Namun demikian, jargon yang diusung rezim Orde Baru adalah ‘nasionalisme’ terus menggema dalam berbagai ranah kehidupan. Semua dimensi kehidupan harus bermuara kepada semangat membangun nasionalisme tersebut. Karena negara berkepentingan dengan semangat nasionalisme, maka strategi yang ampuh dilakukan adalah dengan jalur pendidikan.

Apa yang dilakukan Mangun melalui DED dan SDKE sebenarnya merupakan konsistensi sikap---jika menggunakan Homi K Bhaba---sebagai counter knowledge terhadap kurikulum yang dikonstruksi oleh negara, yaitu melalui Kurikulum Nasional (Kurnas). Pada bagian ini YDP dengan cerdas menguraikan dinamika dan kontestasi dibalik kebijakan kurikulum nasional tersebut. Dalam konteks ini, proyek pendidikan humanis Mangun mencoba memandang kurikulum dari kaca mata lain. Kurikulum nasional yang dianggap homogen, monolitik coba disandingkan dengan kurikulum SDKE Mangunan. Dengan demikian, Mangun sebenarnya ingin melakukan alternative knowledge production, bahwa kurikulum yang diproduksi oleh pengalaman hidup keseharian, kearifan lokal dapat melahirkan berbagai bentuk pengetahuan yang dapat dirasakan dan bermanfaat selama kehidupannya kelak. Disinilah “belajar sejati” menemukan ruangnya.

Tanpa Kritik

Buku ini adalah hasil proses sangat panjang dari YDP yang merupakan hasil dekonstruksi dari disertasi di Antropologi UI. Karena melalui dialog akademik yang cukup panjang, buku ini layak disebut “buku”. Maklum, saat ini banyak buku yang sebenarnya bukan “buku”. Jika menyebut tokoh-tokoh siapa yang terlibat dalam studi ini hingga menjadi buku, kita akan disuguhkan kekayaan dan keragaman perspektif berbagai hal. Ini pula yang menjadikan buku ini semakin berbobot. Meski YDP seorang antropolog, tetapi dia tak ingin menonjolkan ‘keantropologannya’. Namun demikian, nuansa antropologis-nya tetap kental. Buku ini paling tidak dapat menjadi referensi tentang praksis pendidikan alternatif yang dikembangkan sesuai dengan konteks sosial-budaya masyarakat Indonesia. Untuk tidak mengatakan kekosongan bahan bacaan tentang pendidikan alternatif konteks Indonesia, buku ini berupaya menjadi salah satu bahan bacaan penting.

Hal yang cukup menggembirakan adalah jerih payah Mangun hari ini mulai bermunculan di berbagai daerah. Sadar atau tidak, keberadaan mereka semakin menegaskan bahwa (visi) Mangun masih hidup di jagad pendidikan Indonesia. Sebut saja pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah yang dikembangkan Bahrudin di Salatiga, Jawa Tengah sejak 2003. Sayangnya, kekuatan buku ini tak diimbangi dengan kritik terhadap gagasan pendidikan alternatif Mangun. Kesan yang kuat adalah YDP mengamini apa yang digagas dan dijabarkan Mangun. Kritik terhadap Mangun tetaplah penting sebagai proses dialektika. Kritik perlu dilakukan dalam upaya mencegah kejumudan berpikir tentang gagasan Mangun. Konsep-konsep Mangun bukan konstruksi yang establish, dan anti kritik. Dengan cara ini, maka visi Mangun terus akan hidup dan menerangi ranah pendidikan humanis Indonesia. Sayang, YDP tak melakukannya. Namun demikian, terlepas dari tiadanya kritik terhadap Mangun, tak mengurangi apresiasi terhadap YDP yang telah merekam dan mendekonstruksi keragaman gagasan Mangun yang dituangkan dalam buku ini. Maka, terlalu mahal harganya, jika tak membaca buku ini.


Rakhmat Hidayat adalah Pengajar Jurusan Sosiologi UNJ.
Dimuat dalam Jurnal Komunitas, terbitan Jurusan Sosiologi FIS UNJ (Desember 2007)

*********

Tidak ada komentar: