Minggu, 10 Agustus 2008

Kurikulum Pendidikan Nasional: Persinggungan Negara dan Neoliberal

Rakhmat Hidayat

Pengantar

Sepanjang negeri ini ada, kurikulum menjadi pembicaraan yang menarik seiring dengan rezim yang berkuasa. Pameo yang mengatakan ganti menteri ganti kurikulum rasanya tepat untuk menggambarkan perubahan tersebut. Pepatah tersebut sebenarnya hendak memberikan penjelasan bagi kita bahwa kurikulum bukanlah sesuatu yang given alias taken for granted, tetapi dia adalah hasil dari konstruksi sosial-politik yang saat itu berkuasa. Ini menunjukkan adanya kontinuitas antara kurikulum dengan kekuasaan. Ironisnya, bagi Indonesia, karena kurikulum menjadi komoditas politik yang dikendalikan rezim maka inipula yang kian menjadikan pendidikan kita semakin carut-marut. Tulisan ini hendak mengurai carut marut kurikulum pendidikan nasional di negeri ini dan bagaimana pergulatannya sejak kolonialisme, developmentalisme sebagai mainstream Orde baru hingga neoliberal yang semakin menancapkan pengaruhnya di berbagai struktur kehidupan masyarakat.

Melacak Jejak Kolonialisme

Perubahan kurikulum yang terjadi di negeri ini---seiring dengan pergantian kekuasaan---semuanya berjalan penuh dinamika bahkan polemik pada saat diberlakukan. Sejarah kurikulum di Indonesia dapat dilacak keberadaannya pada masa pra kolonial. Misalnya, sejak zaman Hindu dan Buddha pada abad ke-5 masehi.[1] Proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh kedua ajaran agama tersebut. Hal yang sama dialami pada zaman Majapahit (abad 14-16).

Kurikulum pada zaman kolonial ketika VOC mengendalikan Indonesia disusun sedemikan rupa dan sudah relatif sangat canggih. Abad 17, pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan sistem pendidikan yang ditujukan untuk mendidik tenaga-tenaga terampil yang dapat dipekerjakan di perusahaan-perusahaan mereka. Waktu itu beberapa jenis pendidikan yang tersedia meliputi pendidikan dasar, sekolah latin (latijnsche school), pendidikan teologi (seminar theologicum), akademi pelayaran (academie der Marine).[2] Pada akhir 1818, pada masa Daendels dikeluarkan peraturan umum mengenai persekolahan dan sekolah rendah. Isinya hanya mengenai ketentuan-ketentuan tentang pengawasan, pengajaran, namun tidak menyinggung perluasan pengajaran bagi golongan pribumi.

Pada 1842 pemerintah kolonial memperkenalkan apa yang disebut indologie, suatu bagian dari ilmu oriental yang dikembangkan untuk tujuan menyiapkan bekal pengetahuan tentang masyarakat negeri jajahan bagi calon administratur yang akan bertugas di Hindia-Belanda.[3] Indologie dalam prakteknya sebenarnya dapat disebut ‘ilmu negara’. Menurut Zed, saat itu banyak ilmuwan sosial yang bergerak di bidangnya ‘mengabdikan’ ilmunya untuk kepentingan kekuasaan atau menjabat pejabat pemerintah kolonial. Secara umum ada dua hal yang dapat menjelaskan indologie yang sudah lama berkembang di tanah air. Pertama, indologie sebagai keahlian Eropa tentang dunia Timur sangat diwarnai oleh bias Eurosentrisme dengan interest ideologi kolonial. Artinya, kontribusi mereka terhadap kebijakan sangat kuat. Untuk menjelaskan ini, pemikir poskolonial Edward Said mengatakan hubungan antarmanusia penjajah dan terjajah merupakan hubungan penaklukan dalam relasi kekuasaan yang seluruh inisiatif pengobjekannya dirancang dalam kerangka orientalis.[4]

Kedua, indologie memiliki kontribusi besar dalam membangun basis ilmu pengetahuan di Indonesia. Indologie dengan sedemikian rupa dijadikan seperangkat cara untuk mengerti dinamika masyarakat negeri jajahan lewat jalan ilmu pengetahuan. Intinya, kaum penjajah sadar betul bahwa dengan indologie-lah, mereka bisa mengkonstruksi (dan sekaligus mendekonstruksi) realitas sosial negeri jajahannya, sesuai dengan kepentingan rezim kolonial. Budaya, bahasa juga pengetahuan hasil dominasi penjajah---meminjam istilah Homi K. Bhaba---si penjajah dan si terjajah tak dapat dihadirkan dalam bentuk yang ‘murni’ karena mereka tak dapat dipisahkan satu sama lain. Mereka mengalami apa yang disebut cultural exchange.[5]

Sistem pendidikan saat itu menekankan kurikulum yang diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan mengisi lowongan kerja dalam administrasi modern, dengan gaji dan hasil yang lebih baik. Saat itu kurikulum pengajaran yang diwajibkan pemerintah kolonial adalah pengetahuan umum (Bahasa Belanda, sastra, dan berhitung). Dalam pandangan Umar Kayam, pola pendidikan yang dikembangkan Hindia-Belanda tersebut hanya berorientasi kepada kebutuhan praktis dari suatu pemerintah jajahan. Kurikulum yang ada saat itu hanya ditekankan kepada pendidikan calon-calon juru tulis (klerk), pegawai rendahan dan pegawai menengah birokrasi kolonial, termasuk lulusan STOVIA dipersiapkan untuk menjadi mantri cacar.[6]

Pada masa pergerakan kurikulum diimplementasikan ke dalam berbagai sistem pengajaran baik umum maupun kejuruan diantaranya dengan didirikan berbagai sekolah kejuruan seperti Sekolah Guru (Kweeschool)[7] di Surakarta pada tahun 1852. Setelah itu menyusul sekolah pertanian, teknik, sekolah kehutanan, dan sebagainya. Puncaknya, pada dua dasawarsa pertama abad ke-20 didirikan sekolah tinggi pertama di Bandung yaitu Technische Hoge School (THS) pada 1922 yang kemudian kita kenal dengan ITB. Saat itu, kurikulum yang digunakan semuanya mengacu ke kurikulum yang dikembangkan Belanda. Diantaranya diterapkan sistem persamaan (konkondantie), seorang siswa dapat meneruskan pelajarannya sampai ke Belanda. Saat itu, banyak dilakukan pengiriman mahasiswa program pascasarjana ke Belanda untuk berbagai bidang studi.[8]

Developmentalisme sebagai Mainstream

Belum lepas dari warisan kolonialisme, indologie perlahan-lahan mulai bergeser ke arah developmentalis yang berkembang pasca Perang Dunia II (1950-1960-an). Indologie yang berkiblat ke Eurosentrisme bergeser ke paradigma developmentalis yang merujuk ke Amerika Serikat. Keduanya saling berkontestasi dan bernegosiasi. Dominasi indologie tetap saja tak dapat dihilangkan karena sudah mengakar begitu kuat dalam mind set orang-orang Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, melalui BP-KNIP merekomendasikan untuk melakukan perubahan mendasar kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Ide ini direalisasikan dengan pembentukan Panitia Penyelidik Pengajaran, salah satu diantara tugasnya adalah menyusun sistem persekolahan pada tahun 1947. Disinilah developmentalisme berhembus kencang sebagai sebuah mainstream pembangunan hampir di seluruh negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Tak ayal, developmentalisme menjadi preskriptif terhadap berbagai dinamika pembangunan yang ada. Ranah pendidikan tak terkecuali menjadi ruang dominan berlangsungnya penetrasi tersebut.

Fase berikutnya, kurikulum pendidikan nasional menyesuaikan diri dengan Keputusan MPRS No. II/MPRS/1960 yang merumuskan mengenai manusia sosialis Indonesia sebagai suatu bagian dari pada sosialisme Indonesia yang menjadi tujuan pembangunan nasional semesta berencana yaitu tata masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Saat itu pendidikan menjadi alat revolusi dalam upaya menciptakan warga negara sosialis Indonesia yang susila, bertanggungjawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun material dan yang berjiwa Pancasila.

Kurikulum mengalami dinamika baru ketika Orde Lama tumbang dan Orde Baru mengambil alih kekuasaan negara. Melalui Tap MPRS No. XXXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan dirumuskan mengenai tujuan pendidikan untuk membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 dan isinya. Pada aras ini Orde Baru semakin mengokohkan kekuasaannya melalui pendidikan. Disana kekuasaan negara menyebar.

Developmentalisme menandakan berakhirnya kolonialisme dan memasuki era neokolonialisme. Ciri utamanya adalah modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung melainkan melalui penjajahan teori, ideologi dan discourse. Periode ini ditandai dengan masa kemerdekaan negara-negara dunia ketiga secara fisik. Namun dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dilanggengkan melalui kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial. Maka teori pembangunan maupun paham developmentalisme sesungguhnya merupakan bagian dari media dominasi. Singkatnya, fase ini kolonialisasi tidak lagi secara fisik, melainkan melalui hegemoni yakni cara pandang dan ideologi serta discourse yang dominan melalui pengetahuan. Dan, instrumen yang digunakan adalah pendidikan.

Fakta developmentalisme menjadi mind set pemerintah Indonesia melalui penetapan kurikulum 1975. Saat itu dibentuk Pembaharuan Kurikulum dan Metode Mengajar (PKMM) yang mana bermuara menghasilkan kurikulum dengan fokus pembangunan dan kemajuan (development and progress oriented) sehingga dapat menyiapkan tenaga kerja yang memiliki watak, pengetahuan dan keterampilan untuk pembangunan bangsa dan negara di berbagai bidang. Setali tiga uang, 19 tahun kemudian. Tepatnya, melalui Kurikulum 1994 secara gamblang merupakan derivasi rumusan GBHN yang menjelaskan bahwa Indonesia sedang mengalami Pembangunan Jangka Panjang II atau dianggap sebagai masa Kebangkitan Nasional ke-2. Semangatnya, hendak diorientasikan kepada pemanfataan, pengembangan dan penguasaan IPTEK. Kebijakan link and match yang digagas Mendikbud Ing Wardiman Djoyonegoro waktu itu pada dasarnya mengandung muatan besar dalam praktek modernisasi di Indonesia.

Antara Kekuasaan dan Ideologi

Pergulatan kurikulum di negeri ini jika meminjam konsepsi Foucault menggambarkan dominasi kekuasaan menyebar dalam dunia pendidikan. Menurutnya, konstelasi kekuasaan menyebar dan bekerja dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pendidikan[9]. Kurikulum merupakan produk pengetahuan yang diproduksi oleh negara. Foucault menjelaskan relasi antara kekuasaan dengan pengetahuan. Dalam bukunya Power and Knowledge, Foucault mendefinisikan kekuasaan sebagai strategi. Artinya, kuasa itu dipraktekkan, kuasa itu ada dimana-mana dan tidak dapat dilokalisir. Kuasa dalam pandangan Foucault menentukan susunan, aturan-aturan dan hubungan-hubungan dari dalam, seperti hubungan keluarga, hubungan seksualitas, media komunikasi, pendidikan dan lain sebagainya.[10] Relasi itu dalam pandangannya merupakan relasi yang bersifat struktural. Singkatnya, Foucault ingin menegaskan bahwa kekuasaan itu inheren ada dalam segala hal, termasuk pengetahuan.

Foucault juga melihat pengetahuan (melalui kurikulum) digunakan sebagai kekuasaan kepada sekelompok masyarakat selain penggunaan birokrasi.[11] Kekuasaan bagi Foucault tersembunyi dan sangat licik. Kekuasaan itu dapat ditemukan dalam kebenaran, diskursus, dan berada diluar tubuh, pikiran serta subyektifitas.

Kontestasi juga dapat dilihat bagaimana negara melalui kurikulum berada dalam proses pembentukan pengetahuan. Berbagai stakeholders seperti murid, guru, orang tua, pemerintah, atau masyarakat berada dalam kontestasi kekuasaan pembentukan pengetahuan.[12] Negara sendiri berupaya mengontrol seluruh proses pendidikan agar mengabdi kepada kepentingan politis penguasa. Dengan demikian, pengetahuan sebenarnya berada dalam posisi undercontrolling negara.

Tesis Foucault semakin menegaskan bahwa kekuasaan sangat dominan dalam konstruksi kurikulum sepanjang Indonesia berdiri. Pendidikan pada masa pra kemerdekaan diorientasikan untuk memenuhi kepentingan kekuasaan kolonialisme, selain itu pendidikan nasional juga dilaksanakan dalam upaya menciptakan nation building dan character building.[13] Pada Orde Lama, kepentingan tersebut masih bertahan. Muatan indoktrinasi sangat terasa dalam atmosfer pendidikan nasional pada saat era Orde Baru apalagi jika penerapan P4 untuk seluruh warga negara. Pasca Orde Baru, semangatnya adalah membangun tradisi demokrasi bagi masyarakat. Namun demikian, jargon yang diusung rezim Orde Baru adalah ‘nasionalisme’ terus menggema dalam berbagai ranah kehidupan. Semua dimensi kehidupan harus bermuara kepada semangat membangun nasionalisme tersebut. Karena negara berkepentingan dengan semangat nasionalisme, maka strategi yang ampuh dilakukan adalah dengan jalur pendidikan. Dalam pemikiran Tim Dant, term nasionalisme ini dapat bergerak secara dinamis dalam tiga ranah yang berbeda, knowledge, ideology, dan discourse. Awalnya, nasionalisme hanya menjadi pengetahuan, tapi dalam perkembangannya akumulasi kesadaran dari ketidaksadaran menghasilkan ideologi, sampai akhirnya melembaga menjadi discourse.[14] Foucault tidak sendirian. Habermas seperti halnya Foucault juga menjelaskan bahwa pengetahuan yang diproduksi manusia tak ada yang bebas dari kepentingan yang mendasarinya (interest free). Ignas Kleden menyebutnya tak ada satu disiplin ilmu yang bebas nilai (value free) dan bebas kekuasaan (power free).[15]

Praktek pendidikan yang dilakukan Orde Baru, jika meminjam Althusser sebenarnya mengalami apa yang disebut ideological state apparatus (ISA)[16], konsep untuk menjelaskan intervensi negara untuk menunjukkan eksistensinya. ISA tidak hanya menyebar di pusat-pusat kekuasaan tetapi juga menyebar di luar kantong-kantong kekuasaan seperti institusi agama, institusi pendidikan. Dalam hal ini pendidikan hanya digunakan untuk menegakkan ideologi dominan penguasa. Dengan demikian pendidikan hanya menjadi alat yang mengabdi kepada kepentingan negara, sehingga keberadaan guru, kurikulum, sarana prasarana adalah instrumen untuk melanggengkan kekuasaan negara.

Dalam pandangan Nugroho, kurikulum menjadi arena intervensi negara melalui pembentukan berbagai konsorsium yang relevan untuk mendukung pembangunan dan distandarisasi menjadi Kurikulum Nasional (Kurnas).[17] Dalam prakteknya, kurikulum tak lagi terkonsentrasi dalam filosofi pendidikan dan pembelajaran, tetapi hanya menempatkan praktik pendidikan sebagai instrumen belaka. Pendidikan ini hanya menghasilkan manusia yang taat pada kepentingan kekuasaan.

Neoliberal;Wajah Baru Kapitalisme

Di akhir abad XX, kapitalisme terus bergerak merumuskan strategi baru untuk mempercepat pertumbuhan dan akumulasi kapital. Strategi itu antara lain menyingkirkan segenap rintangan investasi dengan pasar bebas, perlindungan hak milik intelektual, good governance, penghapusan subsidi dan program proteksi kepada rakyat, deregulasi, dan penguatan civil society dan anti korupsi. Dengan demikian dibutuhkan suatu tatanan global. Sejak saat itu maka gagasan globalisasi dimunculkan. Globalisasi pada dasarnya merupakan kebangkitan kembali liberalisme, suatu paham yang dikenal sebagai neoliberalisme.[18]

Ada beberapa kata kunci dari neoliberalisme ini. Pertama, para penganut neoliberalisme percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari ‘kompetisi bebas’. Cara ini dianggap yang paling tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kedua, intervensi negara harus ditekan seminimal mungkin, pemerintah harus menyingkir dari menghalangi pertumbuhan ekonomi yang berlangsung. Demikian jargon utama yang dikemukakan kaum neolib. Ketiga, berbagai subsidi dihapus karena dianggap bertentangan dengan prinsip pasar dan persaingan bebas.

Pandangan tidak jauh berbeda diungkapkan Steger[19] mengemukakan lima klaim utama globalisasi. Pertama, liberalisasi dan integrasi pasar. Kedua, globalisasi adalah sesuatu yang tak terelakkan dan tak berbalik. Ketiga, tidak seorangpun memegang kendali atas globalisasi. Keempat, globalisasi menguntungkan semua orang. Kelima, globalisasi meningkatkan penyebaran demokrasi di seluruh dunia.

Pendidikan Indonesia bukanlah tempat yang steril dari gegap gempitanya neoliberal. Menjamurnya berbagai ‘proyek’ pendidikan yang dikelola oleh berbagai PTN seperti non reguler/ekstensi/jarak jauh (diluar S1 reguler) atau S2 kelas khusus, kelas jarak jauh, pembukaan cabang didaerah menjadi ragam neoliberalisme tumbuh subur di Indonesia.[20] Sejalan dengan itu, kebijakan otonomi perguruan tinggi bagi UGM, UI, ITB dan IPB sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Hal ini semakin mengafirmasi adanya komodifikasi pendidikan. Dengan status itu memberikan keleluasaan untuk mencari dana dalam pengembangan pendidikan. Kebijakan itu saat ini akan diterapkan ke kampus-kampus lain melalui Badan Hukum Pendidikan (BHP). Pendidikan Indonesia hari ini dihadapkan pada berbagai idiom-idiom neolib seperti komersialisasi, komodifikasi, korporatisasi, akuntabilitas, profitisasi, dan sebagainya. Jika meminjam George Ritzer, inilah era ‘McDonaldisasi pendidikan‘[21]. Alih-alih ingin meningkatkan kualitas pendidikan, yang terjadi adalah membengkaknya biaya kuliah, protes masyarakat muncul karena terjadi marjinalisasi kaum miskin dalam mengakses pendidikan.[22] Singkatnya, pendidikan menjadi arena permainan politik bagi negara, pasar dan pelaku pendidikan yang memiliki otoritas akademik.

Pada sisi lain, kita menjumpai ‘obral gelar’ yang dilakukan berbagai institusi pendidikan. Tak jarang, sangat mudah dan murah mendapatkan ijazah S1. Hanya dengan beberapa juta rupiah ijazah pascasarjana (baik S2 maupun S3) dapat dikantongi. Tidak heran berbagai kasus (calon) kepala daerah banyak yang terjerat kasus ijazah palsu. Apa yang bisa menjelaskan pengarunya terhadap kurikulum pendidikan nasional ? Tentu saja, konstruksi kurikulum nasional terkena imbasnya. Kurikulum jika pada kolonialisme harus melayani dan mengabdi kepada kolonialis, pada developmentalis harus mengabdi kepada rezim modernisasi dan kapitalis. Kurikulum dalam arus neoliberal harus ‘mengabdi’ kepada pasar. Rezim pada fase neoliberal tak lagi dominan seperti halnya di era developmentalisme, tetapi ‘pasar’ melalui aktornya multinational corporation (MNC) dan lembaga finansial internasional (internasional finansial institutions, IFIs) seperti Bank Dunia dan IMF menjadi aktor penting. Pada titik ini, tantangannya adalah budaya akademik versus budaya pasar. Disinilah akan terjadi kontestasi. Budaya pasar perlahan-lahan akan menggerus budaya akademik yang sejatinya harus menjadi produk dan benchmark pendidikan nasional. Sejalan dengan itu, budaya pasar dengan mudah dapat melakukan penetrasi terhadap kurikulum di berbagai jenjang pendidikan.

****

Bahan Bacaan

Allan, Kenneth. 2006. Contemporary Social and Sociological Theory;Visualizing Social Worlds, Pine Forge Press, California.

Anonim, Ilmu Sosial di Asia Tenggara dari Partikularisme ke Universalisme, Jakarta, LP3ES.

Cahyadi, Hari, Louis Althusser Telaah Negara dan Ideologi, dalam Tim Redaksi Driyarkara (Tim Penyunting), (1993), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Penerbit Gramedia, Jakarta.

Calhoun, Craig, et.al (ed) (2002),Contemporary Sociological Theory, Blackwell Publishing.

Dant, Tim. 1991. Knowledge, Ideology, Discourse;A Sociological Perspective, Routledge, London.

Delanty, Gerard.2001. Challenging Knowledge;The University in The Knowledge Society, SRHE & Open University Press, Buckingham.

Hardiman. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas;Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

------------1993.Menuju Masyarakat Komunikatif;Ilmu, Masyarakat, Politik & Postmodernisme menurut Jurgen Habermas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa:Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieui, dalam Majalah Basis Nomor 11-12, Tahun ke-52, November-Desember 2003.

Gilbert, Moore-Bart, (1997). Post Colonial Theory;Contexts, Practices, Politics, Verso, London.

Gandhi, Leela, (2006). Teori Poskolonial:Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat (Judul asli; Postcolonial Theory A Critical Introduction), Penerbit Qalam, Yogyakarta.

Samuel, Haneman, (2002), The Making of Indology:Orientalism in Colonial Relation, dalam Jurnal Masyarakat, No.10 Tahun 2002.

Kleden, Ignas, (1987).Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta.

--------, (1992). Ilmu Sosial di Indonesia;Tindakan dan Refleksi dalam Perspektif Asia Tenggara dalam Ilmu Sosial di Asia Tenggara dari Partikularisme ke Universalisme, LP3ES, Jakarta.

Kayam, Umar (1989), Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, (19 Mei 1989).

Kusumo, Pendidikan Sebelum Masa Kolonial dalam Salim (2004), Indonesia Belajarlah;Membangun Pendidikan Indonesia, Gerbang Madani, Semarang.

Lubis, Akhyar Yusuf (2006), Dekonstruksi Epistemologis Modern. Pustaka Indonesia Satu, Jakarta.

Mudji Sutrisno, Diri dan “The Other”, dalam Sutrisno dan Putranto (ed), (2004). Hermeneutika Pascakolonial;Soal Identitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Pryhantoro dan Nugroho, (2002), Paradoks Modernitas dalam Pembangunan;Diskursus tentang Kapitalisme Menjelang Runtuhnya Orde Baru dalam Jurnal Sosiohumanika, Volume 15, Nomor I/Januari 2002.

Nugroho, Heru, (2000). Menumbuhkan Ide-Ide Kritis, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

----------, Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi:Universitas sebagai Arena Perebutan Kekuasaan dalam Hadiz, Veri R dan Dhakidae Daniel (ed), (2006), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing, Jakarta.



[1]Kusumo, Pendidikan Sebelum Masa Kolonial dalam Salim (2004), Indonesia Belajarlah;Membangun Pendidikan Indonesia, Gerbang Madani, Semarang, hal 219-220

[2] Suryana, Pendidikan Masa Kolonial dalam Salim (2004), Indonesia Belajarlah;Membangun Pendidikan Indonesia, Gerbang Madani, Semarang, hal. 226.

[3]Zed, Ilmu Sosial Indonesia dalam Wacana Methodenstreit, dalam Taufik Abdullah (ed), 2006 Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 57. Lihat juga Kleden, 1987, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Penerbit LP3ES, Jakarta. Bandingkan dengan Samuel, 2002, The Making of Indology:Orientalism in Colonial Relation, dalam Jurnal Masyarakat, No.10 Tahun 2002, hal. 3

[4]Sutrisno, Diri dan “The Other”, dalam Sutrisno dan Putranto (ed), 2004. Hermeneutika Pascakolonial;Soal Identitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal 27.

[5] Lihat Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial:Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat (Judul asli; Postcolonial Theory A Critical Introduction), Penerbit Qalam, Yogyakarta, hal.viii.

[6] Lihat Kayam, Umar (1989), Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, (19 Mei 1989), hal.19.

[7] Kelak sekolah ini menjadi cikal bakal Sekolah Pendidikan Guru (SPG)

[8] Salim, Pendidikan Zaman Pergerakan dalam Salim (2004), Indonesia Belajarlah;Membangun Pendidikan Indonesia, Gerbang Madani, Semarang, hal. 240.

[9]Pradipto, (2004), Pendidikan dan Negara sebagai Konstelasi Kekuasaan;Studi Kasus SDKE Mangunan Sebagai Fenomena Pendidikan Alternatif di Indonesia, Ringkasan Disertasi Program Antropologi FISIP UI, (tidak dipublikasikan), Depok, hal. 5. Baca juga Pradipto (2007), Belajar Sejati versus Kurikulum Nasional;Konstelasi Kekuasaan dalam Pendidikan Dasar, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Buku ini merupakan hasil revisi disertasi Pradipto yang kemudian dibukukan.

[10] Lihat Lubis, Akhyar Yusuf (2006), Dekonstruksi Epistemologis Modern. Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, hal. 230. Lihat juga Ritzer, George (2003), Teori Sosial Postodern (Judul Asli :The Postmodern Social Theory, diterjemahkan Muhammad Taufik), Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 81.

[11] Allan, Kenneth (2006) Contemporary Social and Sociological Theory;Visualizing Social Worlds, California, Pine Forge Press, hal. 289.

[12] Pradipto, op.cit, hal. 12.

[13]Nation Building merupakan istilah yang diintrodusir oleh Soekarno untuk melukiskan proses integrasi nasional. Saat itu, Soekarno menekankan nation building untuk menjaga berbagai kelompok etnis, agama, politik tetap berada dalam satu kesatuan. Kleden, 1992. Ilmu Sosial di Indonesia;Tindakan dan Refleksi dalam Perspektif Asia Tenggara dalam Ilmu Sosial di Asia Tenggara dari Partikularisme ke Universalisme, Jakarta, LP3ES, hal. 11.

[14]Dant, Tim. 1991. Knowledge, Ideology, Discourse;A Sociological Perspective, Routledge, London, 185.

[15]Indigenisasi Ilmu-Ilmu Sosial:Tanggapan Nasional atas Model Pembangunan dan Pembentukan Teori dalam Kleden,1987.Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, hal 21.

[16]Althusser juga mengintrodusir repressive state apparatus (RSA) yang identik dengan sistem dan struktur negara, yang semata-mata berdiri sebagai penyangga kekuasaan yang sah dan eksplisit. RSA menjangkau publik lebih luas dan geraknya bersifat politik. Wujudnya berbentuk birokrasi, lembaga pengadilan dan militer. Lihat Cahyadi, Hari, Louis Althusser Telaah Negara dan Ideologi, dalam Tim Redaksi Driyarkara (Tim Penyunting), (1993), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Penerbit Gramedia, Jakarta, hal. 55.

[17] Nugroho, Heru, Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi:Universitas sebagai Arena Perebutan Kekuasaan dalam Hadiz, Veri R dan Dhakidae Daniel (ed), (2006), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing, Jakarta, hal. 185.

[18] Istilah neoliberal pada mulanya adalah nama yang dipakai para pejuang demokrasi di Amerika Latin untuk menggambarkan watak ideologis kolusi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang ekstrim. Tepatnya pada saat rezim ekonomi-politik Pinochet di Chili (1973-1990). Kemudian, istilah neoliberalisme mulai menyebar. Lihat Priyono, Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan dalam Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), 10 November 2006, hal.6-7

[19] Steger, Manfred (2005), Globalisme:Bangkitnya Ideologi Pasar (Judul Asli:Globalism, The New Market Ideology), Penerbit Lafadl, Yogyakarta, hal. 80-85

[20] Nugroho, op.cit, hal.156.

[21] Istilah ini diintroduksi Ritzer dalam bukunya McDonaldization of Society (1996) yang menjelaskan proses-proses rasionalisasi yang tidak rasional dalam masyarakat modern. Nugroho, ibid.

[22] Nugroho, ibid, hal. 159.


Rakhmat Hidayat adalah Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta.

Tidak ada komentar: