Minggu, 10 Agustus 2008

Bercermin dari Pemberdayaan Masyarakat Banjarsari:Merintis Pendidikan Lingkungan Hidup dan Ekonomi Alternatif[

Bercermin dari Pemberdayaan Masyarakat Banjarsari:Merintis Pendidikan Lingkungan Hidup dan Ekonomi Alternatif[1]

Pengantar

Banjarsari sudah lama menjadi proyek percontohan UNESCO dalam pembangunan lingkungan perkotaan yang asri dan sejuk. UNESCO sendiri sudah mengakhiri kerjasamanya sejak 2003. Pasca berakhirnya kerjasama dengan UNESCO memang banyak terjadi perubahan di internal dan eksternal Banjarsari. Tulisan ini ingin mendiskusikan dua hal penting pemberdayaan masyarakat yang dilakukan di Banjarsari yaitu: 1) pendidikan lingkungan hidup, 2) usaha-usaha rumah tangga berbasiskan lingkungan yang bermuara pada terciptanya ekonomi alternatif bagi warga sekitar Banjarsari.

Secara administratif Kampung Banjarsari berada di RW 08, Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Lokasi penelitian ini terletak pada ketinggian 40 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata berkisar antara 28-32◦C. Pada awalnya Kampung Banjarsari bernama Kampung Swadaya. Tetapi karena terlalu banyak nama yang sama di daerah lain, maka diganti menjadi Kampung Banjarsari yang mengambil nama daerah Ketua RW 08 pertama, Prapto berasal yaitu Banjarsari, Solo-Jawa Tengah. RW 08 berdiri pada tahun 1970 sebagai pemekaran dari wilayah RW 05 Cilandak. Pemisahan tersebut dilakukan atas dasar musyawarah warga untuk memisahkan diri dari RW 05 dengan latar belakang jumlah penduduk dan perkembangan lingkungan.

Tak ada kesan kumuh, sampah-sampah yang bertebaran dimana-mana, bau got yang terasa. Tetapi, yang membedakan Kampung Banjarsari dengan kampung-kampung lainnya yang berada di Jakarta kesan dan suasana lingkungan yang asri, hijau dan sangat menyejukkan. Tidak ada parit menganga yang menebar bau busuk. Semua parit sudah ditutup dengan beton oleh warga. Kiri-kanan jalan kampung yang dibuat dari susunan batu cetak (paving block) itu tampak hijau, sejuk dan nyaman. Tanaman tumbuh subur di halaman maupun di dalam pot-pot graba, wadah plastik bekas, drum dan kaleng-kaleng bekas. Kecintaan warga terhadap tanaman sangat besar. Setiap jengkal halaman rumah yang kebanyakan sempit dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menanam berbagai pohon seperti mangga dan jambu, serta berbagai bunga dan tanaman obat-obatan.

Kampung Banjarsari berada di RW 08 dengan delapan rukun tetangga (RT) dan berada di lokasi dengan luas 33.650 m2 yang dihuni 231 kepala keluarga dan 938 warga tetap. Berdasarkan data yang didapatkan dari pengurus RW 08, warga Banjarsari tingkat pendidikannya sebagian besar adalah SMA sebanyak 29, 74 %, sementara mereka yang mengenyam pendidikan universitas adalah 27, 40 %.[2] Berdasarkan mata pencaharian, sebanyak 35,30 % adalah pegawai swasta, 11,41 % adalah wiraswasta, dan pegawai negeri sebanyak 10,66 %.

Secara geografis, lokasi Banjarsari memang sangat strategis dengan pusat perkantoran di kawasan TB Simatupang maupun kawasan Fatmawati. Apalagi, kurang dari 5 km terdapat Cilandak Town Square (Citos), pusat perbelanjaan dan hiburan terbesar di Jakarta Selatan. Selain itu, RS Fatwamati juga tak terlalu jauh jaraknya dengan Kampung Banjarsari. Hal ini menyebabkan banyak karyawan/karyawati yang kost di kawasan Banjarsari. Implikasinya, semakin meningkat penghasilan warga masyarakat. Lokasi Banjarsari dapat dijumpai dari arah Blok M, Kebayoran Baru menuju kawasan Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan. Sebelum mencapai Jalan Letjen TB Simatupang, disebelah kanannya akan dijumpai Jalan Banjarsari II hingga Banjarsari XV. Sedangkan Banjarsari I sudah menyatu dengan jalan arteri yang terletak di bagian ujung jalan Letjen TB Simatupang. Nama-nama jalan yang berada di Kampung Banjarsari RW 08 diberi nama Jalan Banjarsari I hingga Banjarsari XV. Sebagaimana layaknya kampung lainnya, di Banjarsari juga beberapa sarana prasarana seperti masjid, musholla, lapangan olah raga, pos kamling. Ciri khas yang sangat membedakan dengan kampung lainnya adalah keberadaan tanaman obat keluarga (Toga) yang dikembangkan oleh warga masyarakat. Toga ini adalah hasil kesadaran dan kreativititas masyarakat. Diantara berbagai program yang dikembangkan Banjarsari dan UNESCO adalah pendidikan lingkungan hidup (selanjutnya PLH)

Prestasi dan Penghargaan:Bukti Komitmen dan Kesungguhan

Perjuangan dan jerih payah Harini Bambang dan warga Banjarsari yang difasilitasi UNESCO membuahkan hasil. Berbagai penghargaan berhasil diraihnya sebagai bukti bahwa seluruh komunitas Banjarsari memiliki kesungguhan dan komitmen dalam menyelamatkan lingkungan tempat tinggalnya. Harini Bambang, misalnya, mendapatkan sertifikat trainer dari UNESCO dan sering mendapat tugas mengisi berbagai pelatihan, seminar, workshop tentang pengelolaan sampah, daur ulang kertas dari berbagai kelompok baik di Jakarta maupun luar Jakarta. Di Jakarta, misalnya, Harini beberapa kali diundang mahasiswa Universitas Trisakti, Universitas Indonesia, Universitas Atmajaya, Institut Teknologi Indonesia (ITI) Serpong. Tak hanya disitu, Harini juga memiliki beberapa kelompok binaan. Sekitar 50 orang anak yang dipimpin Rini Sutiyoso, isteri gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, dilatih di Gelanggang Remaja Bulungan. Paling tidak menurut pengakuan Harini sudah ada 15 kelompok yang telah dibinanya, selain di Banjarsari juga tersebar di Depok, Pamulang, Kapuk Muara.

Harini Bambang pernah mewakili Proyek Teluk Jakarta-UNESCO Jakarta Bay Pilot Project dalam Donors Meeting yang diadakan UNESCO dan Kementrian Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999. Pada tahun 2000, Harini Bambang dipercaya mewakili DKI Jakarta dalam pertemuan nasional di bidang penghijauan dan konservasi alam di Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang dihadiri Presiden RI. Puncaknya, pada 2001, Harini Bambang menerima penghargaan Kalpataru tingkat DKI Jakarta. Pada 3 Agustus 2002, Nina Sidle, salah satu warga Banjarsari juga mendapatkan juara pertama dari DKI Jakarta dalam lomba penghijauan lingkungan pemukiman dalam kategori taman rumah tinggal dibawah 25 meter. Rumah Nina Sidle berdiri diatas lahan sempit tetapi dibangun bersusun dan dihiasi ragam tumbuh-tumbuhan lebat dan asri.[3]

Pada tahun yang sama, Pemda DKI Jakarta menetapkan Banjarsari sebagai salah satu tujuan ekowisata di Jakarta Selatan. Syarat menjadi daerah tujuan wisata antara lain, setiap rumah harus memiliki WC umum, punya produk unggulan, cenderamata, dan ada halaman untuk arena bermain. Tujuannya agar masyarakat dapat belajar dan mendapat inspirasi untuk menjadikan tempat tinggal masing-masing sebagai kampung ramah lingkungan, seperti yang menjadi target jangka panjang program UNESCO. Banjarsari menawarkan kegiatan rutin seperti acara sehari family weekend yang melibatkan ibu, ayah, anak dan anggota keluarga lainnya, untuk belajar bersama mengenai pembuatan kertas daur ulang pengomposan, dan penanaman tumbuhan obat. Mereka juga diajak berkeliling kampung dan mendapat kesempatan untuk menikmati minuman sehat dan makanan yang dimasak oleh penduduk setempat.

Pada 2003, Banjarsari memenangkan hadiah pertama dari Walikota Jakarta Selatan untuk kepeduliannya pada pelestarian tanaman obat, dan dicanangkan sebagai RW terbaik tingkat DKI Jakarta. Lebih lengkapnya, berbagai penghargaan tersebut disajikan dalam tabel dibawah ini :

Tabel 1

Penghargaan yang diraih Banjarsari

No

Tahun

Prestasi/Penghargaan

Kegiatan

Instansi

1.

1995

Juara Tiga

Lomba Penganekaragaman, dalam Pameran Holtikultura

Dinas Pertanian DKI Jakarta.

2.

1996

Juara Satu

Lomba Pasca Panen PKK

Dinas Pertanian Kotamadya Jakarta Selatan

3.

1996

Pilot Project

Pengolahan Sampah dan daur ulang limbah (solid waste management)

UNESCO Kantor Jakarta

4.

1997

Juara Satu

Taman Lingkungan RW dalam rangka HUT DKI Jakarta ke 470 dan HUT RI ke 50

Kantor Walikota Jakarta Selatan

5.

1997

Juara Dua

Lomba Penghijauan Tanaman Produktif tingkat Kotamadya Jakarta Selatan

Dinas Pertanian DKI Jakarta

6.

1997

Juara Dua

Lomba Penghijauan Tanaman Produktif dalam rangka Pameran Agro Expo 1997

Dinas Pertanian DKI Jakarta

7.

2000

Juara Nasional

Penghijauan Lingkungan dan Konservasi Alam

Departemen Pertanian dan Kehutanan

8.

2000

Pilot Project

Kampung Ramah Lingkungan

UNESCO

9.

2001

Kalpataru (Harini Bambang)

Kategori Penyelamat Lingkungan

Pemprov DKI Jakarta

10.

2002

Obyek Wisata Pilihan

Survey Objek Pariwisata oleh 150 Travel Biro

Dinas Pariwisata Jakarta Selatan

Sumber : Pengurus RW 08

Merintis Pendidikan Lingkungan Hidup Komunitas Lokal

Kampung Banjarsari sejak menjadi proyek percontohan UNESCO menjadi perintis bagi pemberdayaan lingkungan berbasis komunitas di DKI Jakarta khususnya bahkan di tingkat nasional. Implikasinya, Harini Bambang sering menerima undangan menghadiri seminar, diskusi, pelatihan, maupun workshop yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup. Harini Bambang sudah mendatangi hampir seluruh daerah di Indonesia atas undangan berbagai pihak seperti pemerintah, TNI, LSM, maupun pihak swasta yang mengundangnya. Bukan hanya itu, beberapa kali Harini Bambang diundang ke luar negeri seperti menghadiri undangan dari universitas di Jepang guna melakukan sharing tentang pengalamannnya mengelola sampah. Beberapa Negara lain juga pernah dikunjungi Harini, seperti Filipina maupun Malaysia.

Kampung Banjarsari juga didatangi berbagai pihak yang ingin melakukan studi banding tentang partisipasi warganya dalam memelihara lingkungan. Banyak tamu yang ingin belajar bagaimana memisahkan dan mengolah sampah, daur ulang kertas, pembuatan sirop dari berbagai tanaman obat. Banjarsari juga menjadi inspirasi beberapa pihak untuk menjadi bahan kajian berupa penelitian.

Pada aras ini, Kampung Banjarsari menjadi ruang berlangsungnya pendidikan lingkungan hidup (environmental education). Fungsi ini sejalan dengan gerakan yang diusung PBB dalam United Nations Millenium Declaration (Deklarasi Millennium PBB) yang dicanangkan pada 8 September 2000 dalam forum United Nations Millennium Summit (Pertemuan Puncak Millenium PBB). Pada forum tersebut, dihasilkan salah satu keputusan penting berupa respect for nature, yaitu sebagai gerakan untuk menghargai alam, menghargai lingkungan hidup sebagai suatu kesatuan ruang.

Pendidikan lingkungan hidup dalam prakteknya dijalankan melalui dua cara. Pertama, termuat dalam kurikulum resmi yang diajarkan di berbagai lembaga pendidikan. Isinya seperti dijelaskan Braus dan Wood[4] bagaimana membangun kesadaran lingkungan (awareness), pengetahuan tentang lingkungan (knowledge), sikap (attitude), skills (keterampilan), dan participation (partisipasi). Kedua, pendidikan lingkungan hidup tidak tercantum dalam kurikulum resmi tetapi berlangsung secara alamiah yang difasilitasi dalam berbagai media dan objek lingkungan dimana setiap individu maupun kelompok masyarakat dapat belajar langsung tentang lingkungan. Misalnya, kebun raya, taman, ruang terbuka hijau, dan sebagainya. Dalam studi ini, pendidikan lingkungan hidup yang dilakukan Banjarsari lebih pada cara kedua. Dimana setiap warga Banjarsari maupun berbagai komunitas dapat belajar langsung tentang pengelolaan sampah, penanaman tanaman obat keluarga, daur ulang kertas, dan sebagainya.

Pendidikan lingkungan hidup yang dilakukan berlangsung secara internal maupun eksternal. Secara internal, seluruh warga Banjarsari sejak Harini Bambang mulai ‘menghijaukan’ Banjarsari sudah mulai belajar kemudian secara perlahan-lahan menanam tanaman obat keluarga (Toga). Mereka juga kemudian belajar bagaimana memisahkan sampah, mengolah sampah dan melakukan daur ulang kertas. Secara internal seluruh warga terlibat penuh dalam kegiatan pendidikan lingkungan hidup, mulai dari kelompok lansia, bapak-bapak/ibu-ibu pengajian (majelis taklim), PKK, generasi muda hingga anak-anak. Bahkan, sebagai pembelajaran lingkungan sejak dini, komunitas Banjarsari memiliki komunitas ‘anak peduli lingkungan’. Sebuah lagu bertajuk ‘Anak Peduli Lingkungan’ diciptakan Harini Bambang sebagai ‘lagu wajib’ komunitas mereka.

Syair lagu itu yaitu ;

Dalam hati kami bangga

Anak peduli lingkungan

Tiap hari kami suka menjaga kebersihan

Reff :

Hai kawan-kawan jangan biasakan

Membuang sampah sembarangan

Hai kawan-kawan ingat kesehatan

Dengan menjaga kebersihan

Dalam hati kami suka lingkungan bersih tertata rapi

Kita bina bersama agar tercapai cita-cita

Pada peringatan Hari Bumi 2003 di Ragunan, Jakarta, komunitas itu menjadi salah satu paduan suara yang meramaikan acara tersebut. Proses internal ini melahirkan sebuah (1) kesadaran lingkungan (environment awareness) terhadap komunitasnya. Mereka lebih peduli dan merasa memiliki lingkungan tempat tinggalnya, (2) tak dapat dipungkiri, pendidikan lingkungan hidup sejalan melahirkan berbagai peluang terciptanya ekonomi alternatif bagi warga.

Secara eksternal, banyak kelompok masyarakat yang menyambangi Banjarsari dan menggali ilmu serta pengalaman keberhasilan warga Banjarsari. Mereka biasanya datang dalam rombongan. Selama satu hari mereka mengelilingi Kampung Banjarsari didampingi Harini Bambang, pengurus RW dan beberapa pemandu wisata. Mereka diajak melihat daur ulang sampah, pengomposan sampah, mengunjungi taman bergantung, maupun tanaman obat keluarga milik warga. Tak sedikit diantara kelompok masyarakat yang melakukan studi banding ke Banjarsari, sekembalinya dari Banjarsari kemudian menerapkannya di kampung mereka. Keberhasilan Banjarsari menjadi inspirasi mereka, hasilnya kampung mereka juga menjadi asri, hijau, dan mengikuti jejak Banjarsari. Beberapa kelompok masyarakat yang melakukan kunjungan dan studi banding ke Banjarsari antara lain :

Tabel 2

Kegiatan Pendidikan Lingkungan Hidup di Banjarsari

No

Kelompok Masyarakat

Kegiatan

1.

Saka Bakti Husada Pramuka

Ini adalah angkatan pertama yang dilatih di Banjarsari mengenai Pengelolaan Sampah Terpadu (PST) pada tahun 1999. Kelompok ini dipimpin Dr. Haryadi Wibowo yang sejak 1999 telah menjadi pelatih untuk Pramuka maupun masyarakat lainnya dalam bidang PST dan mereka telah menghijaukan Puskesmas Cilandak Barat dengan tanaman obat.

2.

Kelurahan Ancol, Jakarta Utara

PT Pembangunan Jaya Ancol (BUMD), bersama LSM KOMSENI, UNESCO dan Tim Banjarsari memberdayakan di pemukiman padat di Kelurahan Ancol (RW 01, 02 dan 08). Program ini dimulai dengan kunjungan masyarakat dari tiga RW tersebut ke Banjarsari, disusul dengan pelatihan pengomposan, daur ulang kertas, dan penghijauan oleh Tim Banjarsari.

3.

Ibu Nieke Wicaksono (Pulo Mas, Jakarta Timur)

Setelah mengikuti pelatihan di Banjarsari pada tahun 2000 mengenai PST, Ibu Nieke mengembangkan pengalaman Banjarsari di Cianjur, Cicalengka, dan Pengalengan. Ibu Nieke juga mendidik anak-anak yatim piatu dan fakir miskin supaya dapat menghasilkan kompos, kertas daur ulang dan tanaman obat baik untuk dipakai sendiri maupun untuk dijual. Pada peringatan Hari Kartini 2003, Ibu Nieke mendapatkan penghargaan.

4.

Kelurahan Lambuhan, Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Harini Bambang beserta rombongan Banjarsari diundang Tim Bangun Praja Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) ke Banjarmasin untuk berbagi pengalaman mengenai Pengelolaan Sampah Terpadu (PST). Hari terakhir, Harini dan rombongan mengunjungi ke Kelurahan Lambuhan yang tertata rapih, bersih dan sampah dikelola dengan baik. Harini sangat heran dengan kondisi lingkungan yang hijau dan asri tersebut. Kepala Kelurahan Lambuhan mengatakan kepada Harini Bambang bahwa dirinya pernah mengunjungi Banjarsari dan kemudian dia kembali ke Banjarmasin untuk mencontoh apa yang dilakukan Banjarsari.

5.

Kelurahan Kasikasi, Makassar

Pada saat diundang KLH di Makassar, Harini menjadi narasumber dengan tema ‘Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah dan Kebersihan’.Di akhir acara, seorang staf Kantor KLH bernama Ibu Ratu meminta kartu nama Harini Bambang. Berikutnya, seorang bapak berkunjung ke Banjarsari dengan membawa kamera. Ternyata pria itu adalah Kepala Keindahan Kota Makassar. Pejabat inipun oleh Harini diajak berkeliling sambil mengambil berbagai foto tentang kegiatan PST. Beberapa hari setelah itu, Harini mendapat telepom dari Ibu Ratu dari Kantor KLH Makassar yang menyampaikan bahwa 12 kader dari Makassar akan mengikuti pelatihan dan mempelajari PST yang didukung UNESCO. Rombongan dipimpin Kepala Kelurahan Kasi-Kasi, di Makassar yang akan dijadikan pilot project oleh KLH. Seminggu kemudian, Tim Banjarsari diundang kembali ke Makassar. Pada saat mengunjungi Kelurahan Kasi-Kasih, Harini bersama rombongan sudah melihat perubahan lingkungan menjadi hijau, asri dan bersih.

6.

Rawajati, Jakarta Selatan

Pada 2001, Harini Bambang mendapat tugas sebagai pembicara dalam seminar yang diselenggarakan Dinas Kebersihan DKI untuk anggota PKK seluruh DKI. Diakhir acara, seorang ibu yang bernama Ibu Nur yang juga Ketua PKK Rawajati berbicara dengannya. Ibu Nur kemudian membentuk rombongan ibu-ibu dan wakil masyarakat Rawajati RW 03 untuk mengikuti pelatihan PST yang diselenggarakan di Banjarsari. Satu bulan kemudian Harini Bambang diundang oleh masyarakat Rawajati. Perubahan mulai tampak. Puncaknya, pada 2003 bersama UNESCO Harini Bambang kembali berkunjung ke Rawajati. Perubahan sangat terasa dibandingkan dengan kunjungan sebelumnya. Tampak terlihat adanya upaya pendidikan pemilahan sampah, tanaman obat sudah banyak dilakukan warga Rawajati. Ibu-ibu juga sudah banyak yang memproduksi jamu tradisional, menjual tanaman dan obat. Hasilnya, Rawajati mendapatkan berbagai perubahan. Bahkan, Rawajati oleh berbagai pihak dianggap melebihi keberhasilan Banjarsari. Untuk hal ini, Harini merasa sangat bangga jika Rawajati dapat melebihi keberhasilan Banjarsari.

7.

Pamulang, Tangerang

Setelah mengikuti pelatihan di Banjarsari pada 1997, kelompok Pamulang yang dipelopori oleh Ibu Aty, Bapak Iwan, Ali dan Ida mereka menjadi pemasok tetap Banjarsari untuk kertas daur ulang, kartu ucapan selamat dan hasil kerajinan lainnya dari kertas daur ulang serta kompos.

8.

Sunter, Kelapa Gading-Jakarta Utara

Pada tahun 2001, Harini Bambang menjadi narasumber seminar sehari yang diselenggarakan KLH dengan tema ‘Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah’. Beberapa hari setelah seminar berlangsung, Harini mendapat kunjungan tamu dari beberapa kader dari Sunter, Kelapa Gading untuk mengikuti pelatihan PST yang didukung UNESCO. Beberapa bulan kemudian, Harini bersama tim Banjarsari diundang untuk menghadiri panen kompos. Dua tahun setelah pelatihan, bersama UNESCO, Harini kembali mengunjungi Sunter, Kelapa Gading. Harini melihat keadaannya sudah sangat berbeda. Suasana sangat hijau, asri, tanaman produktif dan upaya pengelolaan sampah juga sudah tampak dengan jelas.

9.

SMAN 34, Pondok Labu, Jakarta Selatan

Beberapa guru dan petugas kebersihan SMAN 34, Pondok Labu, Jakarta Selatan mengikuti pelatihan PST di Banjarsari. Sedangkan para siswa dilatih secara berjenjang. Para siswa yang sudah pernah mendapat pelatihan, menularkan ilmunya kepada rekan-rekan dan adik kelas mereka. Dengan bimbingan teknis dari UNESCO, Pembina Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) SMAN 34, Ibu Endang Wardiningsih membimbing para murid untuk mengenal cara-cara pengelolaan sampah secara terpadu melalui 4 R, reduce, recycle, replant dan reuse. SMAN 34 telah memiliki ruang khusus untuk mendaur ulang kertas yang dilengkapi dengan peralatannya. Ruang khusus ini diberi nama ‘Griya Daur Ulang’ yang dananya sebagian diperoleh dari sekolah dan sebagian dari proyek Sekolah Model Berwawasan Lingkungan Diknas. Ini adalah penghargaan dari Depdiknas yang menjadikan SMAN 34 sebagai Sekolah Berwawasan Lingkungan di DKI Jakarta untuk tingkat SMA. Penghargaan ini diberikan pada 2001.

Sumber: UNESCO Kantor Jakarta, 2004

Menciptakan Ekonomi Alternatif

Manfaat lain yang dirasakan warga Banjarsari adalah terbukanya berbagai peluang ekonomi yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Awalnya, ini sama sekali tidak terpikirkan oleh Harini Bambang. Jangankan memberikan penghasilan tambahan bagi warga, menganjurkan warga untuk menanam Toga dan memisahkan sampah saja sudah menjadi pekerjaan berat diawal perintisan Kampung Banjarsari. Begitu yang dirasakan Harini Bambang waktu itu. Tetapi, realitas berkata lain, seiring massifnya kesadaran warga, akhirnya keuntungan ekonomi juga dapat dirasakan.

Kegiatan yang langsung dapat memberikan nilai tambah (added value) berupa uang adalah penjualan kompos, hasil kerajinan dari bahan yang sudah dianggap sampah (daur ulang), penjualan tanaman obat. Sisi lain, nilai tambah yang diperoleh namun tak langsung berupa uang antara lain berkurangnya biaya pengeluaran keluarga untuk pergi ke dokter karena pemeliharaan kesehatan dapat dibantu dengan memanfaatkan tanaman obat sendiri. Seorang warga Banjarsari, bernama Ibu Ar mengatakan :

“Saya membuat minuman mengkudu sejak tahun 1998, tetapi sebelumnya saya juga sudah membuat sirup kunyit asem untuk lingkungan yang terbatas. Hasil tersebut saya jual langsung kepada langganan tetap saya dan melalui toko[5] bersama di Banjarsari. Saya juga ikut bazaar dan menerima pesanan langsung dari orang-orang yang mengetahui produk saya ini dari mulut ke mulut. Setiap bulan saya mendapatkan tambahan uang saku kurang lebih Rp 400.000 ditambah dengan keuntungan yang berwujud jamu dan selei untuk konsumsi sendiri dan sebagian diberikan kepada keluarga atau teman yang membutuhkan”

Hal yang sama dirasakan Bapak Wd dengan ‘Kebun Pojok’nya. Kakek yang satu ini memiliki kebun dan menjadi salah satu kunjungan wajib bagi rombongan yang menyambangi Banjarsari. Di kebunnya itu terdapat tanaman obat dan tanaman dapur yang sering kita jumpai. Selain itu terdapat juga anggur, bestru, bunga-bungaan. Penghasilan tambahan selain dengan menjual berbagai tanaman obat itu, juga dengan menjual kompos dengan harga Rp 40.000/karung, tanaman obat seperti Mahkota Dewa, jinten, sambung nyawa dengan harga berkisar Rp 3000 hingga Rp. 10.000. Harga yang sama dia jual untuk berbagai jenis tanaman hias dan tanaman dapur. Kegiatan sampingan ini mendatangkan penghasilan Rp 100.000 tiap bulannya.[6]

Berkah Banjarsari sebagai Kampung Ramah Lingkungan juga dirasakan ibu Yl.[7] Ibu Yl memanfaatkan waktu luangnya untuk mengotak-atik dan membuat desain baru berbagai pernak-pernik dan kerajinan tangan yang memakai bahan dasar kertas daur ulang. Ibu Yl membuat parsel/gift dengan berbagai isi seperti tanaman obat maupun karya seni dari kertas daur ulang. Ibu Yl menjual satu paket parsel/gift dengan harga Rp 100.000 yang biasa digunakan oleh pemesan sebagai ‘souvenir ramah lingkungan’ yang isinya tempat tissue, figura, kipas, kartu ucapan selamat, tempat pensil, kertas daur ulang polos maupun kotak bingkisan. Nilai tambah tidak langsung juga diperoleh melalui udara yang segar dan sehat dari oksigen yang berlimpah karena program penghijauan berhasil sehingga membantu sirkulasi dan metabolisme udara di Banjarsari.



[1] Tulisan ini diambil dari penelitian yang dibiayai Forum HEDS Bidang Sosiologi. Terima kasih kepada Profesor Dr. Margono Slamet selaku Koordinator Forum HEDS yang memungkinkan saya melakukan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Sani selaku staf Forum HEDS yang telah membantu teknis operasional dan administrasi selama penelitian ini. Tanggung jawab sepenuhnya tulisan berada pada penulis

[2] Data Tahun 2002. Berdasarkan wawancara dengan Ketua RW 08, data yang berhasil didapatkan adalah data tahun 2002. Data ini adalah data terakhir yang berhasil direkapitulasi pengurus RW 08 guna bahan presentasi Lomba Rukun Warga Tingkat Kotamadya Jakarta Selatan.

[3]Sebagian warga Banjarsari menyebutnya dengan ‘Taman Bergantung’, yaitu sebuah rumah yang tak begitu besar, berdiri diatas tanah seluas sekitar 100 meter persegi. Dari bagian bawah sampai ke tingkat paling atas, setiap jengkal ruangan dipenuhi oleh berbagai tanaman hias yang subur seperti bougenville yang menjadi tanaman hias untuk menyambut kedatangan para tamu. Nina Sidle, sang tuan rumah setiap menerima kedatangan tamu yang menyambanginya harus menerangkan dan mengajarkan kepada tamunya bagaimana menanam tanaman hias yang dipupuk dengan kompos organik produk dari dapur dan kebun.

[4] Braus, Judy A dan Wood, David.1993, Environmental Education in the Schools;Creating a Program that Works,Peace Corps, hal. 6

[5]Wirjoatmodjo dan Assegaf, 2004, hal. 19.

[6] ibid, hal. 20

[7] Ibid, hal. 21

Tidak ada komentar: