Minggu, 10 Agustus 2008

Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi

Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi

(Dari Condet ke Srengseng Sawah)

ABSTRACT

This research will discuss social change at Condet as Betawi Culture Community. Condet has transformed rapidly. Using social change perspective, it shows that Condet has transformed rapidly. Transformed at economic, social and culture. It began when Arab community from Pekojan, West Jakarta has moved to Condet. Therefore, Condet was failed function as Betawi Community. So, The Jakarta Government find a location that can continue Condet as Betawi Center Community. Actually, Srengseng Sawah has choosen as Betawi Culture Community.

I. Pendahuluan

Penelitian ini hendak mengkaji kegagalan proyek Pemerintah DKI Jakarta dalam mengembangkan Perkampungan Budaya Betawi yang mulanya dipusatkan di Condet tetapi kemudian dipindahkan ke Srengseng Sawah. Perpindahan ini tentu saja terkandung berbagai aspek yang tak dapat dipisahkan dari perubahan sosial yang terjadi di Condet. Sebagai bagian yang terintegrasi dari struktur sosial, politik dan ekonomi Jakarta, Condet menjadi keniscayaan ketika harus terkorporasi dalam pembangunan Jakarta. Pertumbuhan ekonomi berlangsung secara cepat di Jakarta. Sebagai kota yang mewakili kota-kota besar di belahan dunia, pertumbuhan ekonomi dilihat dengan beberapa indikator seperti industrialisasi dan komersialisasi di kota-kota besar. Implikasinya, adalah terjadi urbanisasi (Evers, 1986).


Sejatinya, memang pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan oleh seluruh warga kota-kota besar, dalam hal ini termasuk warga Jakarta. Realitas yang terjadi memang menunjukkan dualisme. Studi McGee (1971) tampaknya mendukung tesis tersebut. Analisa Mc Gee menjelaskan adanya dua kecenderungan yang menjadi ciri khas di negara-negara berkembang. Pertama, kota-kota negara berkembang telah membesar secara sangat mengesankan. Kedua, pertumbuhan-pertumbuhan kota-kota di negara-negara berkembang tidak disertai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai guna memberikan kesempatan kerja bagi penduduknya yang tumbuh dengan cepat yang disertai dengan migrasi.


Alhasil, Jakarta diserbu oleh para pendatang pribumi dan mancanegara yang bermigrasi ke Jakarta. Fenomena ini oleh Evers (1986:56) disebut dengan ‘transplosi’, yaitu suatu perluasan mendadak dari masyarakat kota yang memiliki andil merombak citra kota dan masyarakat secara besar-besaran. Namun demikian, membludaknya kaum pendatang yang membanjiri Jakarta harus dibayar mahal. Pasalnya, komunitas Betawi sebagai kelompok masyarakat asli Jakarta eksistensinya kian terancam. Perlahan-lahan, komunitas Betawi terus mengalami marjinalisasi di bidang ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. Mereka juga harus menghadapi struktur kekuasaan negara yang terus mengancam keberadaan mereka. Tuntutan pembangunan kota Jakarta menyebabkan semakin tergusurnya kawasan-kawasan yang selama ini dikenal dengan kawasan Betawi asli.


Untuk mempertahankan komunitas Betawi asli ditetapkanlah Condet sebagai kawasan perkampungan Betawi pada masa kepemimpinan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta. Keputusan tersebut dituangkan melalui SK No DI-7903/a/30/75. Hal ini beralasan mengingat Condet dikenal sebagai penghasil buah-buahan seperti duku dan salak. Bahkan, sebelum duku Palembang ada, duku Condet dikirim ke seluruh pelosok tanah air termasuk Palembang.


Dalam perjalanannya, Condet terus bergerak. Berbagai macam perubahan terjadi di daerah ini. Sejalan dengan itu, pergantian gubernur setelah Ali Sadikin cukup signifikan dalam menyebabkan Condet terbengkalai dengan gagasan perkampungan Betawi. Paling tidak, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan gubernur cukup berpengaruh dalam pengembangan Condet sebagai pusat pengembangan budaya Betawi. Hasilnya, di bawah kepemimpinan Sutiyoso, kawasan perkampungan Betawi dipindahkan ke Setu Babakan, Kawasan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

II. Metode Penelitian

Seperti telah dikemukakan diatas bahwa penelitian ini berusaha memperoleh kejelasan mengenai perubahan sosial yang terjadi di Condet yang menyebabkan terjadi perpindahan pengembangan perkampungan Betawi ke Srengseng Sawah. Pilihan metode yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Vredenbergt seperti dikutip Triyono dan Nasikun (1992:16), pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh pemahaman (insight) yang menyeluruh (whole) dan tuntas (exhaustive) mengenai struktur-struktur yang ada.

Tahap berikutnya yang dilakukan adalah melakukan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data. Kegiatan yang dilakukan untuk ini adalah kepustakaan/dokumentasi, observasi, dan wawancara (Arikunto, 1998:245). Pertama, studi kepustakaan dilakukan dengan cara mencari data-data sekunder berupa referensi, hasil penelitian yang berhubungan dengan Condet dan komunitas Betawi. Selain itu, data sekunder juga meliputi gambaran umum mengenai Condet dan Srengseng Sawah seperti keadaan geografi dan demografi, struktur okupasi, dan sebagainya. Kedua, observasi dilakukan dengan cara pengamatan secara terbuka yaitu mengamati berbagai gejala, perilaku, perubahan fisik yang terjadi di (masyarakat) Condet dan Srengseng Sawah. Ketiga, wawancara dilakukan dengan beberapa masyarakat dan tokoh masyarakat di Condet maupun Srengseng Sawah.

III. Potret Perubahan Sosial di Condet

Wajah Condet hari ini adalah potret kehidupan yang terus mengalami percepatan dalam hal ekonomi, sosial dan budaya. Kebanggaan Condet sebagaimana yang kita saksikan dan dengar di era 1970-an, nyaris tak tersisa. Kalaupun ada, hanyalah sisa-sisa ‘masa kejayaan’ berupa onggokan sejarah, bahwa beberapa tokoh masyarakat Condet yang masih hidup yang sempat menjadi saksi bagaimana Condet dijadikan sebagai cagar budaya dan cagar buah-buahan.

Condet yang ditetapkan Gubernur Ali Sadikin sebagai cagar budaya dan cagar buah-buahan sejak 1978 bolah dikata gagal total. Warga Betawi yang dulu mayoritas di Kawasan Kramat jati, Jakarta Timur, sudah banyak yang hengkang atau makin terdesak ke pedalaman. Sementara kebun dan pepohonan rindang yang dulunya boleh dikata tidak tertembus sinar matahari saking rimbunnya, kini berganti menjadi rumah-rumah, kontrakan dan tempat-tempat perkantoran PJTKI.

Pada saat Condet dijadikan cagar buah-buahan, setiap kepala keluarga pasti memiliki lahan untuk menanam buah duku atau buah salak. Menurut Haji Mat Zakap (72 tahun) yang peneliti wawancarai mengatakan bahwa setiap warga yang memiliki rumah 500 meter persegi, tanah tersebut dialokasikan 100 meter persegi untuk bangunan rumah sisanya untuk penghijauan diantaranya ditanami pohon buah-buahan seperti salak, duku, melinjo, duren, manggis atau mangga. Tak salah, jika mengapa Condet dulu dikenal sebagai pemasok buah-buahan terkenal di tanah air khususnya buah duku dan salak karena hampir setiap rumah terdapat pohon buah-buahan. Bahkan, menurut sebuah sumber duren Condet pernah diekspor ke Thailand.

Ketika Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI, perhatian terhadap Condet boleh dikata sangat besar. Hal itu dibuktikan tersedianya anggaran untuk melestarikan budaya Betawi di Condet. Setiap rumah Betawi diberi dana rehabilitasi dan pemeliharaan terutama lantai dasarnya sebesar Rp 30.000 per bulan. Sayang, itu hanya berjalan singkat seiring dengan pergantian gubernur. Perhatian Ali Sadikin untuk mempertahankan keaslian (genuine) komunitas Betawi melalui Condet boleh dikata sebagai kebijakan populis. Padahal, bersamaan Condet ditetapkan sebagai cagar budaya, Jakarta sedang mengalami puncak pembangunan yang berlangsung sejak akhir 1960-an dan awal 1970-an (Jellinek, 1984:1-2). Studi Jellinek menggambarkan terjadinya simbiotis antara kampung dan kota. Menurutnya, berbagai kekuatan perubahan di Jakarta terus bergerak dengan cepat seiring dengan modernisasi yang justru mengancam keberadaan kampung-kampung. Apalagi, kebijakan tersebut dilakukan dengan penggusuran besar-besaran terhadap kampung-kampung kumuh yang dianggap merusak dan mengganggu pembangunan kota. Ali Sadikin tampaknya berupaya mengakomodasi kepentingan lokal dibanding nasional. Sejarawan Asvi Warman Adam menyebut orientasi politik yang dilakukan Ali Sadikin dengan istilah ‘politik (mikro) kota’ (Herlambang dalam Verdiansyah, 2006:x;xii). Bahkan, Asvi membandingkan Ali Sadikin dengan MH Thamrin yang mengembangkan program perbaikan kampung (kampung verbetering)

Condet pasca kepemimpinan Ali Sadikin terus berubah. Pada saat kepemimpinan Gubernur Soeprapto mengeluarkan Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 323 Tahun 1985 tentang penyusunan konsep pelaksanaan daerah Condet sebagai daerah buah-buahan. Pada tahun 1986, terbit Instruksi Gubernur No 19/1986 tentang status quo pengembangan kawasan Condet. Pada tahun yang sama, dikeluarkan Instruksi Gubernur No 227/1986 tentang pencabutan status quo. Isinya agar setiap kegiatan pembangunan disesuaikan dengan konsep pengembangan Condet. Belum berhenti disitu. Gagal menjadikan Condet sebagai cagar budaya, Sutiyoso menetapkan Srengseng Sawah sebagai Perkampungan Budaya Betawi melalui Perda No 3 Tahun 2005 tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Timur. Perda tersebut ditetapkan pada 10 Maret 2005.

Perubahan yang terjadi di Condet jika meminjam perspektif Wallerstein, mengalami apa yang disebut pheriperalization yaitu transformasi lebih lanjut kehidupan sehari-hari penduduk setempat yang bersifat baru seperti pola pikir, cara berperilaku, perubahan institusi, maupun perubahan pemukiman. Proses peminggiran dan perubahan tersebut sebenarnya tak dapat dilepaskan dari pengaruh ekonomi global yang terjadi di berbagai kota besar seperti halnya Jakarta. Dalam derap globalisasi, kota diposisikan menjadi “mesin pertumbuhan” yang dapat memaksimalkan nilai ekonomi ruang kota. Analisa ini kemudian dikenal urban growth machines theory yang diintrodusir oleh Logan dan Molotch (Herlambang dalam Verdiansyah, 2006:xvi). Akibatnya, pembangunan pusat-pusat komersial seperti shopping mall, plasa, ITC, WTC, hypermart tumbuh subur di setiap lokasi strategis. Data Pusat Studi Metropolis Universitas Tarumanegara Jakarta pada tahun 2004 mencatat penggunaan sekitar 2 juta meter persegi yang digunakan untuk pembangunan pusat komersial di Jakarta.

Analisa Wallerstein mengenai pheriperalization di Condet, dapat dilacak dengan kehadiran para pendatang yang tinggal di Condet diantaranya warga keturunan Arab yang hijrah besar-besaran dari daerah Pekojan, Tambora, Jakarta Barat. (Kompas, 23/2/05). Menurut Alwi Shahab, penulis dan pemerhati sejarah yang juga keturunan Arab menganalisa pada tahun 1950-an penduduk Pekojan hampir 95 persen masih keturunan Arab. Perlahan-lahan mereka mulai terdesak dengan kehadiran warga pendatang di daerah mereka. Beberapa penduduk Pekojan mulai mencari tempat-tempat yang dianggap lebih nyaman. Daerah-daerah baru tersebut diantaranya Condet, Jatinegara, dan Tanah Abang. Tujuan mereka mencari daerah-daerah tersebut sebenarnya tak lain untuk mengembangkan usaha bisnisnya yaitu Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang dikelola oleh warga keturunan Arab.

Tak heran, setelah itu di Condet menjamur kantor-kantor PJTKI yang dilengkapi juga dengan asrama penampungan TKI dan TKW. Kebanyakan TKI dan TKW tersebut berasal dari daerah-daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa seperti Subang, Indramayu, Karawang, Brebes, Tegal, Pekalongan, Pemalang, Cirebon. Mereka banyak diberangkatkan ke negara-negara Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Yordania, Mesir, Yaman. Negara-negara jiran seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura juga menjadi incaran para TKW dan TKI. Sebelum berangkat ke negara tujuannya, mereka diharuskan tinggal di tempat penampungan/asrama yang sudah disediakan oleh penyalurnya selama beberapa bulan atau beberapa minggu untuk dibekali keterampilan maupun bahasa. Meskipun tak sedikit PJTKI yang mengambil jalan pintas, tanpa memberikan bekal yang cukup kepada TKW dan TKI. Namun demikian dalam sejarah masyarakat Condet, menurut salah seorang warga Bale Kambang yang bernama Dudung, pernah ada satu orang warga Condet yang menjadi TKW ke Arab Saudi menjadi tukang jahit. Dudung yang sehari-hari menjadi tukang ojek dan tinggal di Jalan Munggang, warga Condet yang menjadi TKW tersebut karena terpaksa.

Perubahan Condet juga ditunjukkan dengan tercemarnya kali Ciliwung yang mengaliri kawasan Condet. Hal itu disebabkan karena bermunculan pabrik plastik di sekitar kali Ciliwung. Alhasil, sampah-sampah plastik mencemari kali Ciliwung. Menurut Haji Mat Zakap (72 tahun) pabrik-pabrik plastik itu memproduksi ;imbah industri yang sulit hancur. Haji Mat Zakap mengatakan :

“Sebelum marak berdiri pabrik-pabrik plastik, warga yang tinggal di bantaran kali Ciliwung sangat nyaman dan diuntungkan dengan keberadaan kali Ciliwung. Dulu, masyarakat sehari-hari menggunakan air kali Ciliwung untuk mandi, minum, dan mencuci pakaian. Sekarang air itu digunakan untuk mandi, dan mencuci pakaian akan gatal-gatal”

Perubahan di Condet juga diperlihatkan dengan semakin menghilangnya rumah-rumah-rumah Betawi. Menurut Ran Ramelan (1977:38) yang dimaksud rumah Betawi yang dulu dikembangkan di Condet adalah rumah yang berlantaikan tanah, berdinding bambu, beratapkan genting, serambi mukanya terbuka, hanya diberi langkah setinggi pinggang. Pada saat Condet ditetapkan sebagai cagar budaya, Pemerintah DKI Jakarta memberi perhatian khusus kepada rumah Betawi dengan memberikan suntikan dana sebesar Rp 2.000.000 untuk sepuluh rumah yang tua agar direnovasi dan biaya pemeliharaan dengan tidak merubah arsitektur rumah yang lama.

Pergeseran Okupasi Masyarakat Condet

Selain sebagai cagar budaya, Condet juga dikenal sebagai cagar buah-buahan. Penduduk Condet saat itu hampir 80 persen bermata pencaharian sebagai petani buah-buahan. Di Kelurahan Bale Kambang dimana penelitian utama dilangsungkan, pada tahun 1970-an mata pencaharian masyarakatnya hampir 60 persen petani salak, 20 persen petani buah-buahan, 10 persen karyawan/buruh, 10 persen lain-lain (Ramelan, 1977:38)

Ciri khas buah-buahan yang ada di Condet berlangsung sejak lama, bahkan sudah ada sejak leluhur mereka masih ada. Selain pohon duku dan salak, Condet juga dikenal dengan pohon melinjo, yaitu bahan untuk membuat emping. Hampir di setiap halaman rumah selalu ada pohon melinjo. Saat itu terkenal dengan tradisi ‘ngemping’. Suatu saat pernah karena permintaan sangat banyak, untuk mencukupi kebutuhan permintaan tersebut melinjonya harus didatangkan dari Banten. Karena sebagian besar warganya bermata pencaharian petani buah, maka kaum bapak-bapak yang menjadi kepala rumah tangga oleh pemerintah dijuluki “tani pensiunan”, maksudnya mereka “tidak berkerja”, akan tetapi mereka mendapatkan penghasilan.

Kehadiran warga keturunan Arab dari Pekojan ke Condet mengakibatkan berkembangnya sumber ekonomi baru di luar pertanian. Umumnya pergeseran itu dilakukan dengan cara memperluas atau memperbanyak aktivitas ekonomi mereka ke luar usaha tani (off-farm). Warga keturunan Arab yang datang ke Condet tentu saja membutuhkan rumah-rumah yang banyak dialihfungsikan menjadi kantor, asrama/tempat penampungan TKW dan TKI atau juga digunakan sendiri untuk tempat tinggal mereka. Pilihan itu tentu saja jatuh kepada kebun-kebun pertanian yang dimiliki oleh warga Condet. Masyarakat Condet pun banyak yang tergiur menjual tanah dan kebunnya kepada warga keturunan Arab. Salah satu faktor yang menyebabkan itu terjadi karena warga penghasilan yang mereka andalkan dari usaha tani buah-buahan tak lagi menjanjikan. Akibatnya, perlahan-lahan kebun buah-buahan yang hampir tersedia di setiap rumah mulai berkurang.

Sisi sebaliknya mulai muncul kantor-kantor PJTKI, tempat penampungan TKI dan TKW. Fenomena baru muncul di Condet, mulai berkembang kontrakan dengan model kos-kosan (hanya 1 kamar, kamar mandi terpisah dan digunakan secara kolektif), atau ada juga ‘model paviliun’, yaitu rumah kecil yang terdiri atas rumah tamu, 1 kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Sebagian orang lazim menyebutnya dengan ‘rumah petak’. Rumah kontrakan tersebut banyak dimiliki oleh warga Condet yang memanfaatkan kebun buah-buahan yang dimilikinya. Maka tak heran, saat ini di sepanjang Condet bertebaran kontrakan-kontrakan yang banyak dihuni oleh warga pendatang, sebagian juga oleh karyawan-karyawan PJTKI. Satu hal yang tak dapat dipisahkan adalah keberadaan Pusat Grosir Cililitan (PGC) yang baru dibangun beberapa tahun terakhir memberikan pengaruh bagi masyarakat Condet, banyak karyawan-karyawan PGC yang mengontrak di kawasan Condet karena jarak yang tak terlalu jauh dengan tempat kerja mereka.


Menjamurnya bisnis kontrakan dan kantor PJTKI tentu saja menyebabkan semakin berkurangnya secara drastis kebun buah-buahan yang selama ini menjadi trade mark Condet. Berdasarkan pengamatan peneliti, salah satu kebun buah-buahan yang dianggap masih luas di Bale Kambang adalah milik seorang jenderal purnawirawan yang juga Mantan Ketua Umum PSSI di Jalan Munggang, Bale Kambang. Kebun ini sehari-hari dirawat oleh Rojali (51 tahun), warga Bale Kambang. Menurut pria yang akrab disapa Bang Jali itu, awalnya tanah tersebut milik orang tuanya. Namun karena desakan ekonomi akhirnya kebun dengan luas 3000-4000 meter persegi itu dijual ke petinggi militer tersebut pada tahun 1975 dengan harga Rp 3500 per meter persegi. Bayangkan perbandingan harganya dengan harga satu tahun terakhir, Rp 800 ribu tiap meter persegi. Tentu saja, jumlah yang sangat menggiurkan bagi warga Condet. Selain kebun milik pensiunan TNI AD, ada juga kebun buah-buahan yang dimiliki oleh Mat Sani di RT 05 RW 05 dengan luas mencapai 2 hektar. Luas yang hampir sama dimili oleh Haji Mat Zakap yang berada di pinggiran kali Ciliwung, tepatnya di Gang Pucung RT 011 RW 02. Perbedaannya adalah buah duku dan salak yang dihasilkan dari kebun-kebun tersebut tak lagi sehebat masa kejayaan duku dan salak Condet pada tahun 1970-an.

Faktor lain mengapa warga Condet menjual tanahnya kepada warga pendatang adalah karena kemajuan pemikiran masyarakat saat itu. Pada tahun 1980-an, pemikiran warga Condet mulai maju sehingga banyak warga Condet yang ingin menyekolahkan anaknya minimal SMA. Karena membutuhkan biaya besar, sedangkan hasil pertanian tak mencukupi lagi. Maka, pilihannya adalah menjual tanah ke warga pendatang. Kemajuan pemikiran tidak dapat dipisahkan dari kemampuan pendidikan seseorang. Roda perubahan sosial di Condet tampaknya terus berputar. Macionis seperti dikutip Sztompka (2005:5) mengatakan bahwa perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam pola perilaku pada waktu tertentu.

Setelah warga Bale Kambang dan kelurahan lainnya di Condet tak lagi mengandalkan kebun buah-buahan yang dimilikinya, mereka kemudian beralih profesi ke sektor jasa. Banyak diantara mereka yang mengandalkan perekonomian keluarga dari bisnis kontrakan rumah, tak sedikit yang membuka warung makan, maupun warung kelontong yang menjual kebutuhan hidup sehari-hari. Di antara mereka juga tak sedikit yang menjadi tukang ojek. Tak heran, di sepanjang kawasan Condet khususnya Bale Kambang selalu ditemukan pangkalan ojek. Menariknya, pangkalan ojek itu tak melulu ditemukan di setiap perempatan jalan raya, tetapi di setiap gang-gang kecil kerap dijumpai pangkalan ojek. Meskipun jumlah tukang ojek yang ada di gang-gang kecil tersebut tak sebanyak dengan pangkalan ojek yang mangkal di pertigaan atau perempatan jalan raya. Saat ini menjadi tukang ojek menjadi pilihan profesi yang relatif tidak sulit, apalagi dengan fasilitas kredit motor yang mudah setiap orang dapat memiliki motor dengan mudah. Keberadaan tukang ojek di kawasan Bale Kambang khususnya maupun Condet umumnya diuntungkan dengan aktivitas karyawan PJTKI yang notabene adalah salah satu konsumen utama tukang ojek.

Keterkaitan masyarakat Condet dengan sistem ekonomi luar pertanian dapat menciptakan sumber-sumber ekonomi baru dan menumbuhkan kesempatan-kesempatan ekonomi baru di daerah yang awalnya berbasiskan pertanian. Perubahan ini kontinu dengan perubahan sosial dan budaya yang terjadi pada masyarakat Condet. Banyak diantara warga Condet yang konsumtif, dapat dilihat dari kepemilikan peralatan/perabotan rumah tangga, cara berpakaian.

Pergeseran okupasi ini tentu saja membawa konsekuensi terjadinya pergeseran struktur sosial ke sistem yang lebih luas di pertanian. Perubahan tersebut terjadi melalui jalinan hubungan sosial melalui sistem kelembagaan sosial yaitu kelembagaan hubungan kerja agraris berdasarkan kekuasaan tanah tidak lagi menjadi faktor yag determinan.

Srengseng Sawah;Meneruskan Proyek yang Terbengkalai

Ganti pemimpin ganti kebijakan. Pemeo itu tepat untuk menggambarkan eksistensi Condet pasca kepemimpinan Ali Sadikin. Pada saat Soeprapto menjadi Gubernur DKI perhatian terhadap Condet tak sebesar pendahulunya. Bahkan, boleh dibilang Condet nyaris terabaikan. Paling tidak, ini diungkapkan oleh Haji Mat Zakap, salah satu tokoh masyarakat Condet yang cukup disegani dan dihormati oleh warga Condet. Pria yang pernah diundang ke Thailand karena dianggap berhasil menggerakkan petani buah-buahan di Condet itu merasa kecewa dengan kepemimpinan Gubernur Soeprapto yang kurang greget perhatianya terhadap masyarakat Condet. Kekecewaan ini sangat beralasan mengingat pada saat Condet ditetapkan sebagai cagar budaya, Haji Mat Zakap boleh dikata sebagai penggerak dalam pengembangan budaya Betawi dan pertanian buah-buahan di Condet. Paling tidak apa yang dikeluhkan oleh Haji Mat Zakap merupakan representasi masyarakat Condet yang sudah dengan susah payah berpartisipasi dalam membangun Condet sebagai cagar budaya. Hal ini pula yang dapat menjelaskan bahwa partisipasi sosial masyarakat di Condet berlangsung secara bottom up untuk mengembangkan lingkungannya.

Gagal menjadikan Condet sebagai cagar budaya Betawi, Pemerintah DKI Jakarta merasa berkepentingan untuk memiliki kawasan pelestarian budaya Betawi. Ide ini awalnya berasal dari arahan Pemprov DKI Jakarta pada tahun 1996 agar ada asset wisata di Jakarta Selatan yang dapat dimaksimalkan. Gayung bersambut, pada 13 September 1997 diselenggarakan Festival Setu Babakan sebagai cikal bakal penentuan Setu Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi (selanjutnya PBB). Dari lima lokasi yang telah disurvei yaitu Marunda (Jakarta Utara), Kemayoran (Jakarta Pusat), Condet (Jakarta Timur), Srengseng (Jakarta Barat), dan Srengseng Sawah (Jakarta Selatan), akhirnya pilihan jatuh ke Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.

Alasan dipilihnya Srengseng Sawah sebagai PBB antara lain karena dianggap lingkungannya masih sesuai dan masih kental dengan karakter kehidupan masyarakat Betawi, keasrian adat maupun tradisi Betawi. Keberadaan Srengseng Sawah dipilih sebagai PBB tidak dalam waktu singkat, puncaknya dilakukan ketika Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mengenai PBB untuk Kawasan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Draf Raperda tersebut diajukan pada awal Februari 2005, setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya Raperda tersebut ditetapkan sebagai Perda pada 10 Maret 2005. Perda tersebut sekaligus mencabut status Condet sebagai cagar budaya dan cagar buah-buahan.

Di atas tanah seluas 289 hektar, semua bangunan baik rumah, toko, maupun perkantoran yang ada di Kawasan Srengseng Sawah harus bercorak Betawi. Kawasan Srengseng Sawah sendiri sejak awal tahun 1980-an banyak mengalami perkembangan khususnya sejak beberapa kampus berdiri, seperti ISTN, Universitas Pancasila, IISIP, Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) maupun Universitas Indonesia (UI). Di lokasi PBB, Srengseng Sawah terdapat sebuah danau yang disebut ‘Setu Babakan’.

Menurut Indra Sutisna, Sekretaris Pengelola PBB saat diwawancarai Peneliti mengatakan bahwa dipilihnya Srengseng Sawah sebagai cagar budaya bertujuan ingin melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi secara keseluruhan. Selain itu, di luar unsur pariwisata dan budaya Srengseng Sawah juga berfungsi pelestarian resapan air, dan mengembangkan nilai pendidikan. Salah satu perbedaan mendasar PBB di Condet dengan Srengseng Sawah adalah pengelolaan PBB Srengseng Sawah dilakukan secara terpadu, sementara Condet tidak. Saat ini PBB di Srengseng Sawah dikelola oleh sebuah tim yang bernama Tim Pengelola Perkampungan Budaya Betawi yang terdiri atas 30 orang. Tim ini terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang dibentuk sejak tahun 2002.

PBB Srengseng Sawah terdiri atas empat komponen utama yaitu panggung, pintu gerbang, rumah adat dan wisma. Pada tahun 2002, sebanyak 67 rumah warga Srengseng Sawah mendapat subsidi pembangunan dari pemerintah untuk memugar rumahnya dengan menggunakan arsitektur Betawi. Setiap sabtu dan minggu, di panggung berarsitektur Betawi yang dibikin oleh Tim PPBB sudah rutin berlangsung atraksi wisata seperti tari ondel-ondel, upacara adat perkawinan, khitanan. Turis mancanegara banyak yang menyambangi lokasi ini.

Satu hal yang membedakan secara mendasar Srengseng Sawah dengan Condet adalah Srengseng Sawah tak memiliki keaslian kultur Betawi seperti yang dimiliki Condet, artinya intervensi pemerintah sangat besar untuk mengembangkan Srengseng Sawah sebagai PBB. Memang partisipasi masyarakat juga berkembang. Hal sebaliknya terjadi di Condet, meski perhatian pemerintah sangat besar terhadap pengembangan Condet sebagai PBB, tetapi dibawah kepemimpinan Ali Sadikin lebih memberikan ruang gerak yang leluasa kepada masyarakat setempat untuk berkreasi.

IV Kesimpulan dan Saran

1. Terabaikannya Condet sebagai PBB dapat dilacak sejak kehadiran warga keturunan Arab dari Pekojan. Pada saat warga keturunan Arab dari Pekojan, Jambora, Jakarta Barat hijrah ke kawasan Condet untuk mengembangkan bisnis PJTKI banyak menimbulkan berbagai perubahan yang ada di Condet. Perubahan tersebut dalam bidang ekonomi, sosial, budaya. Perubahan yang sangat signifikan adalah terjadinya pergeseran okupasi di luar sektor pertanian (off farm), yaitu sektor jasa seperti bisnis kontrakan, membuka warung makan, warung kelontong, karyawan, tukang ojek.

2. Perubahan juga terjadi secara ekologis, yaitu tercemarnya kali Ciliwung akibat menumpuknya sampah-sampah terutama sampah plastik. Hal ini dikarenakan berdirinya pabrik plastik di kawasan Condet. Selain itu, karena semakin padatnya pemukiman di daerah Condet baik rumah penduduk maupun gedung-gedung perkantoran yang akibatnya menjadikan iklim dan hawa Condet tak lagi sejuk seperti tahun 1980-an. Saat ini Condet terkenal dengan panas, apalagi kemacetan lalu lintas kerap ditemui di sepanjang kawasan Condet.

3. Kegagalan Condet juga tak dapat dipisahkan dari struktur politik Jakarta dibawah Penetapan kepemimpinan Gubernur. Perhatian gubernur setelah era Ali Sadikin tak lagi konsen dan getol mengurus Condet

4. Srengseng Sawah sebagai PBB harus berkaca dari kegagalan Condet. Oleh karena itu mengembangkan berbagai macam pendekatan partisipatoris dari masyarakat untuk terlibat aktif dalam melestarikan dan mengembangkan Srengseng Sawah sebagai PBB. Sebisa mungkin, orientasi pembangunan yang top down dalam pengembangan Condet dikurangi. Mengapa perlu mengembangkan pendekatan bottom up karena dengan pendekatan ini akan dapat meningkatkan rasa memiliki dan lebih aware tentang Setu Babakan.

Daftar Pustaka

Chris Verdiansyah. 2006. Politik Kota dan Hak Warga Kota;Masalah Keseharian Kota Kita (Jakarta, Penerbit Buku Kompas), hal.x, xvi

Evers, Hans Dieter. 1986. Sosiologi Perkotaan;Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia (Jakarta, LP3ES), hal. 57

Kompas, 2005. Condet yang Sudah Telanjur Terabaikan. Edisi 23 Februari 2005, hal.19

-----------------, Gagal di Condet, Setu Babakan Diincar. Edisi 23 Februari 2005. hal. 19

Lambang Triyono dan Nasikun, Proses Perubahan Sosial di Desa Jawa;Teknologi, Surplus Produksi, dan Pergeseran Okupasi, (Jakarta, FISIPOL UGM-Rajawali Pers), hal. 38

Lea Jellinek, 1984. Seperti Roda Berputar;Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta (Jakarta, Penerbit LP3ES), hal 1-2.

McGee, T.G. 1971. The Urbanization Process in The Third World (London:G Belll and Sons, Ltd).

Ran Ramelan, 1977. Condet Cagar Budaya Betawi, (Jakarta, Penerbit Lembaga Kebudayaan Betawi), hal. 38.

Sztompka, Piotr.2005. Sosiologi Perubahan Sosial (Terjemahan Alimandan), (Jakarta, Penerbit Prenada), hal.5

Rakhmat Hidayat adalah Pengajar Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Tidak ada komentar: