Minggu, 10 Agustus 2008

November 4, 2007

Mengapa Saya Jadi Penulis?

Indra Jaya Piliang (Mantan Analisis Politik dan Perubahan Sosial CSIS & Sekarang menjadi Caleg DPR RI dari Partai Golkar)

Tulisan ini saya persembahkan kepada siapapun yang ingin jadi penulis…

Teknis Penulisan Ilmiah Populer: Catatan Pengalaman

Pendahuluan:

Banyak pertanyaan yang diberikan kepada saya tentang proses kreatif sebagai seorang penulis. Rata-rata saya menulis 60-70 artikel dalam setahun, terutama sejak tahun 2001. Artinya sudah terdapat sekitar 300-350 artikel yang sudah saya tulis. Kalau dijadikan buku kumpulan artikel, sudah bisa menjadi 7 sampai 10 buku, sesuatu yang belum saya lakukan. Salah satu “penilaian” saya masuk ke CSIS adalah juga karena produktifitas penulisan ini.

Lalu, dari mana saya memulai menulis. Yang saya ingat, kebiasaan saya menulis dimulai lewat catatan harian (1991-1996). Saya sudah menulis sejak pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta pada tahun 1991, beberapa bulan sebelum hasil Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri diumumkan. Saya mengikuti UMPTN di Padang, tepatnya kampus Universitas Bung Hatta. Tiga pilihan studi saya waktu itu adalah Jurusan Meteorologi dan Geofisika Institut Teknologi Bandung, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Saya diterima di Jurusan Sejarah FSUI.

Karena pernah memenangkan juara tiga lomba bahasa Inggris di Sekolah Menengah Umum 2 Pariaman, saya menulis catatan harian saya dalam bahasa Inggris. Namun, lama-kelamaan, kebiasaan itu saya hilangkan. Ketika menjadi aktivis kampus, saya terombang-ambing dengan kebencian terhadap Barat, termasuk hegemoni budayanya. Akibatnya, saya juga membenci bahasa Inggris. Sesuatu yang dampaknya luas sampai sekarang.

Catatan harian itu mengantarkan saya kepada banyak imajinasi tentang dunia. Buku-buku yang saya baca, tempat-tempat yang saya kunjungi, orang-orang yang saya temui, sampai hubungan percintaan yang timbul-tenggelam, menghiasi catatan harian saya. Semuanya masih tersimpan sampai sekarang. Karena sering mencatat orang-orang yang ada di sekitar saya, saya menjadi lebih paham tentang bagaimana cara berpikir mereka. Sebagian dari orang-orang itu sekarang menjadi terkenal, bahkan jauh sebelum reformasi. Rata-rata para aktivis dari berbagai kampus, terutama dari UI. Sebut saja Fadli Zon, Zulkiefliemansyah (sekarang anggota DPR dari PKS), Rama Pratama (sekarang anggota DPR dari PKS), Nusron Wahid (sekarang jadi anggota DPR dari Partai Golkar), Mustafa Kamal (sekarang anggota DPR dari PKS), Eep Saefullah Fatah, Fahri Hamzah (sekarang anggota DPR dari PKS), Wilson (pernah dipenjara karena dituduh menjadi pelaku Gerakan 27 Juli 1996), dan lain-lain.

UI ketika saya masuk adalah ladang pergulatan intelektual yang sangat intens. Jurusan saya, misalnya, terbagi kedalam dua garis ideologi: merah dan hijau. Pertarungan kedua kelompok ideologi ini bukan hanya terbatas pada wacana, tetapi juga dalam aktivitas kemahasiswaan, termasuk perebutan posisi dalam lembaga mahasiswa intra kampus. Kalaupun kemudian sejumlah nama itu akhirnya terus berseberangan ketika di luar kampus, hal itu tidak bisa dilepaskan dari pengalaman intelektual mereka. Satu kelompok melahirkan Partai Rakyat Demokratik, kelompok yang lain menjadi anak-anak emas dalam Partai Keadilan Sejahtera. Namun ada juga yang ikut ke Partai Golkar atau menjadi sahabat dari para jenderal.

Orang yang saya kagumi kala itu ada empat.

Pertama, Arfandi Lubis (almarhum). Dia senior saya di jurusan sejarah. Dia pengagum Tan Malaka tulen. Kanker usus yang akut menjadi penyebab kematiannya. Dari dialah saya banyak berkenalan dengan wacana kiri, lalu mengoleksi buku-buku kiri yang berwarna merah. Dia juga yang meminjamkan saya buku Dari Penjara ke Penjara-nya Tan Malaka.

Kedua, Fadli Zon, teman saya satu angkatan dari Jurusan Sastra Rusia. Talentanya luar biasa, juga jaringan pergaulannya di luar kampus. Dialah sebetulnya yang “memaksa” saya untuk menulis, ketika dia sudah muncul sebagai penulis terkenal di zamannya. Sebelum kemudian dikenal sebagai sahabat Prabowo Subianto, Fadli adalah penulis esai yang bagus, kolom yang menggelitik, dan makalah yang kaya dengan buku.

Ketiga, Mustafa Kamal. Dialah sosok yang waktu itu mengingatkan saya kepada Natsir muda. Dalam organisasi, dia banyak memberikan ketauladanan, begitu juga dalam hal pengayaan keislaman.

Keempat, Eep Saefullah Fatah. Sekalipun berbeda kampus, saya sering ketemu dalam panggung seminar, baik ketika saya menjadi notulis, moderator, lalu lambat laun mendampinginya sebagai pembicara. Eep punya kemampuan berbahasa Indonesia yang sangat baik, juga menjelaskan sesuatu yang rumit dengan logika yang runtut.

Sebetulnya, jauh lebih banyak lagi kawan, dosen, senior, dan junior yang mempengaruhi saya. Kampus adalah tempat yang hangat. Selalu saja tersedia banyak orang-orang baik, jauh lebih banyak dari yang potensial menjadi jahat. Beragam kisah, ucapan, sampai pertengkaran dan perdebatan dengan orang-orang itu masuk ke dalam catatan harian saya. Saya menulis sampai dini hari di dalam kamar kos yang lembab dan kumal. Saya waktu itu adalah anak muda yang kurus kering, berpenyakitan, miskin, dan sering mengenakan pakaian yang tidak layak. Kerah baju saya – yang diingat oleh pacar yang kemudian menjadi istri saya – selalu saja berlubang saking lamanya kena keringat dan tidak diganti.

Kenapa saya menulis catatan harian? Terus terang saya juga terpengaruh oleh tiga buku harian. Pertama, Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. Buku ini betul-betul menjadi kumal, penuh catatan pinggir dari saya, lalu hilang dan saya beli lagi. Kedua, Dari Penjara ke Penjara Tan Malaka. Pengalaman membaca buku ini kadang bercampur dengan kecemasan. Bagaimana tidak? Buku ini adalah buku terlarang waktu itu, sehingga kalau membacanya sedapat mungkin tidak ada yang tahu. Ketiga, Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahid, salah satu peletak dasar dari liberalisme Islam di kalangan anak-anak muda Himpunan Mahasiswa Islam. Dari buku-buku yang saya baca dan koleksi, ada sejumlah teman dekat yang menyebut saya “Hijau Semangka”: di luarnya hijau, tetapi di dalamnya merah. Yang jelas, saya tidak dalam posisi “ideologis” tertentu. Saya hanyalah anak rantau, baik dalam artian fisik, atau pemikiran.

Dengan modal mesin tik bekas yang saya beli di Manggarai, Jakarta Selatan, tiap malam selalu diisi dengan tak-tik-tok di kamar kos saya di kawasan Lenteng Agung. Semula, saya menulis apapun dengan tangan, lalu saya pindahkan ke kertas putih dengan mesin tik kalau ada uang untuk membeli kertas dan tinta. Sering sekali ketikan itu tidak bisa dibaca, saking tipisnya tinta yang digunakan. Dari sana lahir puisi, cerita pendek, sampai satu dua novel yang tidak rampung-rampung. Saya tidak tahu kemana semua yang saya pernah tulis itu sekarang, karena seringnya pindah kos. Harta berharga yang pernah saya miliki, lalu kalau teringat selalu menimbulkan penyesalan.

Menjajakan TulisanSemula, hanya teman yang paling dekat yang tahu saya punya catatan harian, kumpulan puisi, sampai cerita-cerita pendek. Aktivitas yang semakin banyak di luar kuliah, pada akhirnya memaksa saya untuk menulis lebih “ilmiah”. “Kampus” pertama saya dapatkan dalam Kelompok Studi Mahasiswa UI Eka Prasetya. Di sinilah saya belajar penelitian di luar penelitian sejarah. Di KSM UI ini juga saya tampil sebagai notulis, moderator, akhirnya pembicara. Ketakutan saya untuk berbicara di depan orang banyak mulai pelan-pelan pudar. Sejak kecil sampai sekolah menengah saya memang punya hambatan mental, selalu berkeringat dingin dan berdebar-debar ketika hendak berbicara. Saya gagap. Tapi ayah saya membalikkan dengan kalimat: “Kamu gagap karena otak kamu lebih cepat berpikir, ketimbang mulut kamu mengucapkannya!”

“Kampus” kedua saya adalah pers mahasiswa, yakni Suara Mahasiswa UI dan tabloid Ekspresi FSUI. Saya ingat, laporan saya sebagai reporter tentang HIV-AIDS ditolak oleh pemimpin redaksi Suara Mahasiswa kala itu, Ihsan Abdussalam – yang kini juga jadi penulis. Saya harus memulai lagi belajar tentang 5W-1H. Untunglah, ketiga gagal menjadi Ketua Senat Mahasiswa UI, saya banyak menyediakan waktu untuk KSM UI dan Suara Mahasiswa UI. Karena sudah senior, saya punya lebih banyak kebebasan untuk “memasukkan” tulisan atau pemikiran saya ke media kampus itu, kalau perlu mengeditnya langsung di Macintosh yang dimiliki oleh Suara Mahasiswa UI, agar pasti masuk.

Bantuan paling signifikan datang dari mata kuliah Penulisan Populer yang diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Inggris FSUI. Pengajarnya adalah sastrawan Ismail Marahimin. Metode pengajarannya unik, yakni para mahasiswa harus menulis satu per minggu yang akan dipresentasikan dan “dibantai” dalam jam-jam pelajaran yang membuat bulu kuduk merinding. Banyak mahasiswa yang hilang di tengah jalan waktu itu, karena takut “dikerjai” oleh sang dosen. Tetapi, satu hal yang disampaikan oleh Pak Ismail kala itu masih saya ingat. “Kalau anda lulus mata kuliah ini, itulah modal hidup anda!” Fadli Zon, Helvy Tiana Rosa, lalu sejumlah redaktur pers sekarang setahu saya lulus dalam mata kuliah ini. Dua semester saya ikut mata kuliah ini dan keduanya mendapatkan nilai A. Saya masih tidak tahu, bagaimana mendapatkan kembali seluruh tulisan yang saya pernah tulis, masing-masing 1 per minggu dalam satu tahun kuliah bersama Pak Ismail itu. Saya kehilangan copy-nya. Tulisan-tulisan itu mulai dari fiksi sampai non fiksi. Saya ingat, ada satu-dua cerpen yang dipuji oleh Pak Ismail karena menyediakan banyak kejutan.

Pelan-pelan saya juga tampil sebagai pembicara skala kampus. Makalah-makalah lahir, sebagian besar tentang gerakan mahasiswa. Dari sana juga saya menulis skripsi dengan tema “Koreksi Demi Koreksi: Aktivitas Pergerakan Mahasiswa Pasca Malari sampai Penolakan NKK-BKK (1974-1980)”. Pengalaman saya sebagai aktivis membawa saya kepada pergaulan di luar UI. Paling tidak, selain Fadli Zon, saya paling banyak mewakili mahasiswa UI kala itu, baik untuk tingkat jurusan, fakultas atau universitas. Samarinda, Surabaya, Pekanbaru, Yogyakarta, Malang, Bandung, dan kota-kota lainnya mulai saya singgahi.

Karena jauh dari kampung, saya juga sering menulis surat. Ayah saya adalah seorang penulis yang baik, dengan tulisan tangan yang indah, turunan dari ayahnya (kakek saya) yang pernah jadi juru tulis pada masa Belanda. Banyak hal yang saya perdebatkan dengan ayah saya waktu itu. Selain itu, saya juga menulis surat kepada pacar saya di kampung, Bengkulu dan Lampung. Saya juga berkomunikasi lewat surat dengan teman-teman aktivis di sejumlah kota, termasuk juga dengan seorang mahasiswi Jepang di Jepang dalam bahasa Inggris yang minim. (Keberadaan sms dan internet sekarang saya kira menjadi unsur degradasi kemampuan penulisan para mahasiswa dan anak-anak sekolah).

Saya mulai merambah koran dan tabloid umum ketika ditawarin menulis di Tabloid Swadesi yang dikelola oleh teman saya yang jadi reporter di sana, Bayu. Boleh dikatakan dari sanalah saya menjadi penulis umum, terutama tentang gerakan mahasiswa. Tabloid itu pada akhirnya bubar akibat perpecahan dalam tubuh PDI, karena memang afiliasinya dengan PDI. Honor menulis disana Rp. 35.000-Rp. 45.000. Tulisan saya juga nongol di Harian Merdeka dan Tabloid Mutiara milik Suara Pembaruan. Saya masih ingat mendatangi kantor Suara Pembaruan untuk mengambil honor sebesar Rp. 66.000, lalu Rp. 6.000,-nya dipotong pajak.

Saya juga tetap menulis puisi. Puisi bagi saya adalah kolom tersingkat yang bisa ditulis. Dalam banyak hal yang tidak bisa dicerna secara singkat, puisi mewakilinya. Puisi juga bisa “menyimpan” ingatan secara tidak terduga, karena bahasanya yang tidak tersurat. Dalam sejumlah kesempatan demonstrasi dan aksi mahasiswa, puisi-puisi saya bawakan. Bahkan, ketika maju sebagai calon Ketua Senat Mahasiswa UI, saya lebih banyak membaca puisi ketimbang berorasi menarik mahasiswa untuk memilih saya.

Usai kuliah, tahun 1997, krisis multidimensional menimpa Indonesia. Saya adalah generasi terakhir para sarjana Orde Baru yang langsung kehilangan harapan. Banyak lowongan kerja yang membatalkan penambahan karyawan, terutama di dunia pers dan penerbitan. Cita-cita saya menjadi wartawan tidak kesampaian. Beban sosial juga melekat, yakni bagaimana mempertahankan hidup setelah kuliah yang menghabiskan umur dan dana. Apalagi saya banyak dibantu oleh kakak-kakak dan adik-adik saya ketika kuliah, selain mendapatkan beasiswa mahasiswa berprestasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp. 50.000 per bulan.

Semula, saya bekerja di Surat Kabar Kampus Warta UI, lantai 7 Rektorat UI. Bersama Pak Rahmat, saya menerbitkan edisi-edisi khusus berdasarkan kebutuhan fakultas. Uang yang saya dapatkan tidak menentu, karena memang tidak ada gaji tetap. Rata-rata penghasilannya Rp. 150.000 sampai Rp. 300.000,- per bulan. Tetapi pekerjaan itupun tidak bertahan lama, karena ada kebijakan untuk tidak lagi menerbitkan SKK Warta UI. Nasib membawa saya ke jalanan, yakni bergabung dengan PT Deka Megahrani Citra, sebagai interviewer produk-produk konsumsi, seperti makanan dan minuman. Penghasilan didapat berdasarkan berapa banyak responden yang kita dapat. Jumlahnya dikumpulkan per bulan, kadang kurang dari Rp. 100.000,- per bulan, kadang lebih.

Dalam era reformasi yang bergejolak itu, saya dan teman-teman UI yang membantu Keluarga Besar UI menerbitkan juga tabloid dan jurnal, bersama teman saya Rahmat Yananda (sekarang jadi konsultan bisnis), Andi Rahman (sekarang dosen sosiologi FISIP UI), Dandi Ramdani (sekarang sedang menempuh pendidikan S-3 di Belanda), Padang Wicaksono (sekarang sedang menyelesaikan studi S-3 di Jepang), Tirta Adhitama (sekarang sedang menyelesaikan studi S-3 di Jepang) dan Muhammad Fahri (sekarang jadi pebisnis). Arus reformasi yang bergulir itu menyediakan waktu bagi kami untuk mengeluarkan apapun guna mengkritisi rezim yang mulai keropos. Sikut-menyikut antar kelompok begitu kentara, kadangkala disertai ketakutan akan dikeroyok atau diculik.

Saya terlibat dalam aksi-aksi itu sebagai alumni, termasuk berada di Gedung DPR MPR ketika diduduki oleh mahasiswa tanggal 20 Mei 1998. Buku harian saya dipenuhi berlembar-lembar cerita, termasuk ketika pecah kerusuhan tanggal 12-13 Mei 1998. Saat kerusuhan meledak, saya berada di Universitas Trisakti untuk memberikan penghormatan kepada para mahasiswa yang ditembak sehari sebelumnya. Dari sana saya saksikan betapa kelompok yang paling berani menghadapi polisi dan tentara ternyata bukan mahasiswa, melainkan para pelajar. Sebelum siang, kerusuhan tidak terlalu parah. Tetapi setelah para pelajar pulang sekolah, mereka berada di barisan depan tanpa rasa takut berhadapan dengan polisi dan tentara. Kami yang berlindung di dalam kampus hanya bisa mengusap air mata terkena gas air mata.

Saya kembali mendapatkan kesempatan menulis ketika bekerja di lingkungan STIE Pramita, Tangerang. Kebetulan majalah kampus itu membutuhkan tenaga kerja. Bersama dua sahabat saya, Sugeng P Syahrie dan Luthfi Ihsana Nur, saya mengelola majalah kampus itu. Lama kelamaan, karena perubahan politik, Pak Hadi Soebadio yang menjadi pimpinan kampus itu terpilih menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah Partai Amanat Nasional Kabupaten Tangerang. Dari sanalah saya terjun ke politik, yakni dengan menerbitkan tabloid Mentari. Lagi-lagi menulis menjadi pekerjaan utama.

Lalu saya berkenalan dengan Faisal H Basri, Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional. Sejak mahasiswa saya sudah mengaguminya. Dalam waktu cepat, sayapun bergabung dengan kelompok Faisal H Basri. Sayapun pindah dari Tangerang, lantas tinggal di Apartemen Rasuna, Kuningan, sebagai markas kelompok Faisal H Basri. Di apartemen itulah saya belajar politik dalam artian paling riil, karena berdiskusi dengan genk Faisal yang lain, seperti Bara Hasibuan, Arif Arryman, Nawir Messy, Sjahrial Djalil, Rizal Sukma, Rahmat Yananda, Santoso, Rachman Sjarief, Aan Effendi, Tristanti Mitayani, Abdillah Thoha, Sandra Hamid, Miranti Abidin, dan lain-lainnya. Mereka rata-rata berpendidikan master dan doktoral, serta berasal dari sejumlah lembaga think tank berpengaruh seperti CSIS, Econit, dan INDEF. Tugas saya adalah membikin minum, menyapu lantai, membelikan makanan, dan mencatat hasil rapat, lalu mendistribusikannya kepada peserta rapat.

Dunia internetpun saya kenali di apartemen Rasuna ini. Saya memasuki berbagai mailing list, lantas menggunakan nick name, juga berdebat dengan banyak kalangan. Informasi terbanyak memang akhirnya saya dapatkan lewat dunia maya ini. Boleh dibilang saya selalu tidur terlambat, karena menggunakan internet sampai dini hari. Koran-koran sudah saya baca dini hari itu di internet, sehingga informasi terbaru selalu saya ikuti.

Karena memang hidup di lingkungan politikus dan intelektual, sayapun memberanikan menulis. Tulisan pertama dan kedua saya kirimkan ke Kompas. Tulisan ketiga diterima. Semangat barupun muncul, karena Kompas adalah koran terbesar dan berpengaruh di Indonesia. Tulisan-tulisan lainpun juga masuk ke Kompas, dan media lainnya. Jadilah saya dikenal sebagai penulis Kompas, sesuatu yang menjadi magnet bagi siapapun untuk menyampaikan pikiran mereka kepada saya. Selain menulis, saya juga menjadi semacam asisten politik Faisal H Basri. Kesibukannya yang luar biasa membutuhkan manajemen. Saya ditugaskan untuk membantunya, sekalipun untuk mengatur jadwal Faisal sangatlah rumit.

Kolom Demi KolomAkhirnya, saya menjadi penulis. Produktifitas saya begitu meluap. Saya juga menjadi generasi pertama penulis kolom di sejumlah website dengan honor lumayan. Booming internet waktu itu menyebabkan banyak permintaan atas kolom, terutama kolom-kolom politik. Detik.com, Berpolitik.com, Lippostar.com, Satunet.com, Indonesiamu.com, dan lain-lainnya menjadi tempat saya menyalurkan bakat dan kemampuan penulisan saya. Namun saya juga tetap terus mengirimkan tulisan demi tulisan ke koran dan majalah.

Karena memang “kontrak” saya dengan kelompok Faisal mau habis, saya akhirnya melamar pekerjaan ke dua institusi, yakni CSIS dan radio 68h. Kebetulan Rizal Sukma yang menjadi kelompok Faisal di PAN adalah Direktur Studi CSIS, begitu juga anggota gank Rasuna lainnya yakni Santoso yang menjadi Direktur Radio 68h. Ketika saya mulai kehilangan harapan, karena beban kebutuhan hidup yang mulai Senin-Kamis, nyatanya saya diterima di kedua tempat itu. Tetapi, atas saran Santoso dan teman-teman lain, termasuk dukungan dari Faisal, Arryman, dan Bara, saya akhirnya memutuskan untuk bekerja di CSIS. Saya mulai masuk tanggal 1 Desember 2000.

Dengan status baru sebagai peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, kesempatan buat saya makin terbuka lebar. Apalagi kelompok Faisal makin patah arang dengan PAN. Tanggal 21 Januari 2001, sebanyak 16 orang fungsionaris dan pendiri PAN mengundurkan diri, termasuk saya yang sebetulnya baru bergabung resmi dalam Departemen Seni dan Budaya DPP PAN pascakongres PAN di Yogyakarta tahun 2000. Sebagai orang dekat Faisal, saya punya banyak kesempatan mengikutinya, termasuk dalam rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan penting di luar jabatan saya di Departemen Seni dan Budaya. Saya juga mulai mengambil tempat sebagai salah satu orang yang diberi kesempatan mengambil sikap atau keputusan atas apa yang akan dilakukan oleh kelompok.

Setelah mundur dari dunia politik, sekalipun tetap dikenal sebagai orang PAN, saya mempunyai ketertarikan mendalam kepada kelompok-kelompok masyarakat sipil. Karena kelompok Faisal sudah jarang bertemu, saya akhirnya bergabung dengan sejumlah kelompok masyarakat sipil, antara lain Forum Indonesia Damai. Ketika banjir melanda Jakarta, saya bergabung dengan kelompok Satu Merah Panggung Ratna Sarumpaet. Dalam kapasitas sebagai anggota DPP PAN, saya juga pernah menjadi tim perumus dan penulis akhir buku Skenario Masyarakat Sipil Indonesia tahun 2010, dimana saya berkenalan dengan banyak aktifis muda kala itu, seperti Munarman YLBHI. Saya juga menjadi salah satu deklarator Perhimpunan Rakyat Jakarta untuk Pemberantasan Korupsi (berantaS). Sebetulnya, simbol “S” dengan huruf besar dalam KontraS dan BerantaS itu bukan timbul tanpa sengaja, melainkan diidentikkan dengan Soeharto, sesuatu yang jarang diketahui oleh kalangan luar.

Dan sayapun menikahi kekasih yang mendampingi saya selama 6 (enam) tahun sejak di bangku kuliah: Faridah Thulhotimah, anak jurusan Ilmu Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UI. Ia menjadi sumber inspirasi saya, sekaligus kekuatan saya ketika berhadapan dengan begitu banyak persoalan hidup. Pernikahan saya dihadiri oleh sejumlah aktifis, peneliti, politikus, dan teman dekat. Mustafa Kamal membacakan doa, sementara Erry Riyana Hardjapamengkas bertindak sebagai tuan rumah alias bapak angkat saya. Faisal H Basri menjadi saksi. Biaya pernikahan saya datang dari kantong-kantong pribadi orang-orang baik itu.

Sebagai aktivis dan peneliti, saya juga menjadi penyiar radio, yakni di Radio Delta FM dan Jakarta News FM. Karena bergabung dengan Koalisi untuk Konstitusi Baru yang dikomandani oleh Todung Mulya Lubis dan Bambang Widjajanto, saya akhirnya berkenalan dengan banyak ahli hukum dan politik dari berbagai kampus. Saya juga pernah menjadi host acara di Trijaya FM. Undangan sebagai pembicarapun berdatangan, termasuk di luar daerah. Inilah dunia yang “menenggelamkan” saya ke dalam pergaulan kalangan civil society di Indonesia. Sejumlah nama yang hadir di media massa-pun akhirnya saya kenali satu demi satu. Sayapun juga mengenali Teten Masduki, justru setelah saya aktif di BerantaS yang merupakan “pecahan” dari Indonesia Coruption Watch. Dari FID saya kenal Erry Riyana Hardjapamengkas.

Sayapun terus menjadi kolomnis. Sepanjang tahun 2001 saya menulis 67 artikel atau kolom; tahun 2002 sebanyak 68; tahun 2003 sebanyak 60, dan tahun 2004 naik lagi menjadi 65. Itu yang berhasil saya dokumentasikan, karena memang ada sejumlah yang lain yang kurang terlacak. Saya juga menulis dalam jurnal ilmiah, menyumbang tulisan untuk sejumlah buku, dan menulis makalah untuk seminar dan diskusi. Boleh dibilang kegiatan menulis adalah kegiatan utama saya. Saya ingat ucapan dosen saya, pak Ismail Marahimin: “Kalau anda lulus dan mendapatkan nilai A, itulah modal hidup anda.”

Ide TulisanLalu darimana ide-ide tulisan saya. Pertama, tentunya berangkat dari kegelisahan pribadi. Saya merupakan pribadi yang gelisah. Kalau saya merasakan sesuatu, biasanya saya mengambil buku kecil mencatat ide-ide saya. Atau langsung menulisnya saat itu juga. Karena dilahirkan dari keluarga miskin dan hidup dalam penderitaan di Jakarta, selalu saja saya curiga kepada penguasa dan kekuasaan. Boleh dikatakan saya mempunyai banyak musuh: tentara, laskar, partai politik (terutama Partai Golkar), dan lain-lainnya. Hal inilah yang membuat saya terus memproduksi tulisan-tulisan kritis dan emosional, terutama kalau arogansi kekuasaan muncul. Ide-ide itu juga lahir dari semangat penolakan kepada argumen-argumen orang lain. Selama tinggal di Tangerang, saya terbiasa mengkliping artikel-artikel koran dari penulis ternama, lantas mencorat-coret pikiran-pikiran mereka.

Kedua, ide tulisan yang bersifat perubahan dan pembaharuan muncul dari keterlibatan saya di banyak organisasi masyarakat sipil, misalnya: Forum Indonesia Damai, Koalisi untuk Konstitusi Baru, Gerakan Tidak Pilih Politisi Busuk, Perhimpunan Rakyat Jakarta untuk Pemberantasan Korupsi, Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua, Koalisi Media untuk Pemilu Bebas dan Adil, Komisi Darurat Kemanusiaan, Kelas Indonesia Alternatif dan lain-lain. Berbagai pemikiran yang berkembang dalam forum-forum itu saya teruskan ke media. Apalagi, sebagai orang yang mulai dikenal sebagai pengamat politik, saya terkadang merasa jengah dengan apa yang dikutip dari wawancara dengan saya. Biasanya, dari sejumlah wawancara panjang, tampilan di media tidaklah utuh. Makanya, untuk “meluruskan”-nya dan menampilkannya secara utuh, saya memutuskan menulis tema dari wawancara yang berangkat dari peristiwa politik itu.

Ketiga: berasal dari fokus penelitian saya selama di CSIS, yakni menyangkut otonomi daerah, partai politik, demokrasi dan konflik. Lingkungan pergaulan di CSIS begitu menyenangkan, karena terdapat banyak nama yang dikenal oleh publik luas, seperti J Kristiadi, Kusnanto Anggoro, Rizal Sukma, Tommy Legowo, dan lain-lainnya. Beberapa tugas kantor akhirnya saya rasakan bisa disampaikan kepada publik. Dari sinilah muncul tulisan-tulisan yang tidak berdasarkan peristiwa politik, melainkan lebih kepada pengembangan konseptual atau bahkan hanya sekadar pelipur lara. Tulisan-tulisan ini lebih reflektif, karena mencoba melihat sesuatu dari luar praktek politik keseharian.

Keempat, berasal dari fokus pribadi saya, yakni menyangkut tema masyarakat sipil, Papua dan Aceh. Perjalanan saya ke daerah juga menjadi inspirator, makanya muncul tulisan soal Samarinda, Pekanbaru, Maluku, Aceh, Papua, dan lain-lain. Saya selalu ingin mencari tahu ada apa dibalik perlawanan atas Jakarta. Sesuatu yang saya cita-citakan sejak dulu, yakni bertualang ke banyak negeri, akhirnya tercapai. Tidak terasa, saya menjelajahi sebagian besar ibukota provinsi di Indonesia. Hanya Gorontalo, Kendari (Sulawesi Tenggara), Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), Mamuju (Sulawesi Barat) dan Monokwari (Irian Jaya Barat) yang belum saya kunjungi. Indonesia nyatanya tidak seperti yang kita baca lewat informasi buku dan media.

Saya juga mendapatkan ide tulisan dari apa yang saya baca. Kadang-kadang sepotong berita dan kalimat di sesobek koran. Biasanya, kalau saya ingin menulisnya, tema atau ide itu terus-menerus mendesak saya untuk segera dituliskan. Kalau saya sudah mulai menulis, biasanya saya melupakan yang lain. Tetapi saya juga bisa menulis di tengah kebisingan atau pembicaraan. Kadang, dalam seminar, ketika menjadi pembicara, atau ketika berbicara dengan orang lain, saya tiba-tiba berhenti dan menuliskan sesuatu di catatan atau handphone atau XDA saya. Saya takut kalau ide atau potongan kalimat itu tiba-tiba hilang, karena saya pasti menyesalinya.

Anehnya, kalau saya membaca buku serius atau teoritis, saya justru tidak akan bisa menulis beberapa hari. Saya akan tenggelam dalam buku itu. Biasanya kalau ada sesuatu yang terbersit, saya menulis di pinggiran buku itu, misalnya bagian yang hendak saya kutip untuk makalah atau ide yang hendak saya pertentangkan dengan apa yang tertulis di buku itu. Makanya, saya kadang-kadang agak kesulitan untuk “larut” dalam keadaan, karena itu bisa mematikan saya.

Ide juga bisa muncul dari orang lain, dan ini yang dikritik oleh teman saya sebagai tidak genuine. Misalnya, beberapa redaktur opini meminta saya menulis tema tertentu dengan waktu tertentu. Biasanya saya cepat menuliskannya, karena mengejar deadline. Kenapa bisa cepat? Karena saya mengikuti perkembangan berita dengan rutin, lalu membangun opini tersendiri atas berita atau peristiwa itu. Hanya, saya merasa menulisnya tidaklah penting atau tidak punya waktu. Baru ketika diminta oleh redaktur opini media massa itu saya merasa, “O, menulis soal ini penting, toh?” Kadang, karena merasa bosan atau tulisan yang saya kirim lama dimuat atau tidak dimuat sama sekali, saya berhenti menulis dan menganggap semua hal tidak penting, kecuali tulisan saya yang lama baru dimuat itu atau yang tidak dimuat itu.

Struktur PenulisanLalu bagaimana saya menuliskan sesuatu yang “penting” atau “tidak penting” itu sehingga tersaji di depan publik dalam lembaran-lembaran koran? Bagaimana struktur penulisan yang baik? Berdasarkan pengalaman, menurut saya, tulisan yang baik itu harus memuat unsur-unsur berikut. Pertama, kuat dalam data. Kadangkala saya juga ceroboh dalam hal ini, terutama menyangkut nama, peristiwa, singkatan, atau bahkan tanggal. Tetapi, karena peristiwa politik berlangsung cepat, soal data itu juga tidak selalu akurat ditulis oleh media, karena informasi pagi hari bisa berubah sore dan malam hari. Tetapi, apapun itu, penulis yang baik hendaknya jangan sekali-kali memanipulasi data.

Kedua, sedikit teori. Dulu saya sempat menulis dengan cara mengutip buku, bahkan juga sekarang. Ada kelompok pembaca yang menyenangi jenis ini, terutama kalau kita mengutip buku atau artikel terbaru berbahasa Inggris, seperti yang banyak dijumpai di perpustakaan CSIS. Tetapi, lama kelamaan, saya merasa cara seperti ini tidaklah menarik. Alasannya antara lain, analisa atau teori dalam buku itu mencakup spektrum atau konteks tertentu. Teori transisi atau konsolidasi demokrasi, misalnya, tidak sama antara Philipina, Brazil, Thailand atau Malaysia. Kalau hanya mengambil kesimpulan akhir dari sebuah buku atau artikel, berdasarkan uraian panjang lebar atas persoalan tertentu, berarti yang terjadi adalah inplantasi atau pencangkokan. Dalam soal artikel koran, saya sependapat dengan Bara Hasibuan betapa rata-rata kolom di Indonesia terlalu berat, reflektif dan teoritis. Referensi Bara tentunya International Herald Tribune dan koran-koran luar negeri lainnya.

Ketiga, tidak mendalam, tetapi juga tidak dangkal. Kalau ingin menulis mendalam, pakai kerangka teori, sebaiknya tulisan itu dikirimkan ke jurnal atau lebih baik lagi yang ditulis adalah buku, bukan artikel atau kolom. Yang diperlukan adalah bingkai dari keseluruhan tulisan dan bagaimana bingkai itu diberi daging opini dan bahkan selimut pendapat. Kalau terlalu dalam, bisa-bisa tulisan itu malah menyesatkan atau liar kemana-mana. Makanya, bagi sejumlah kawan penulis opini media, biasanya yang dicari adalah judul tulisan terlebih dahulu, ketimbang isinya. Tetapi ada juga yang menjadikan pemberian judul setelah tulisan selesai. Saya menggunakan keduanya, sekalipun saya lebih senang dan cepat menulis kalau sudah menemukan judul yang cocok.

Keempat, ringkas. Ringkas bukan berarti padat atau ringkasan. Saya biasanya kebingungan kalau membaca kolom atau artikel ekonomi yang dipenuhi dengan angka dan prosentase serta istilah-istilah teknis lainnya. Pembaca koran yang baik mungkin memerlukan kamus khusus untuk bisa memahami artikel itu. Tetapi bagaimana bisa anda menyiapkan kamus di terminal bus atau di kursi pesawat yang terbang jauh di atas langit? Tulisan ringkat bisa memuat unsur 5W-1H, tetapi sekaligus juga mengandung tiga hal: pembuka (angle), isi dan penutup (refleksi). Tulisan ringkas juga sedapat mungkin menggunakan pilihan kata populer/sederhana, ketimbang teknis ilmiah.

Kelima, tepat sasaran. Anda ingin menujukan tulisan buat siapa? Kalau saya menulis agak panjang (1200 karakter, misalnya), biasanya saya tujukan tulisan itu ke kalangan mahasiswa atau pembaca yang biasa mengkliping artikel. Tetapi kalau tulisan pendek, dalam pikiran saya langsung tergambar siapa saja orang yang saya “tembak” dengan tulisan itu. Tentu berlainan antara tulisan yang ingin ditujukan ke kalangan pengambil keputusan dengan tulisan kepada khalayak ramai yang ingin “memahami” sebuah peristiwa. Sebagaimana media mencari pangsa pasar, maka dalam diri penulis mestinya juga sudah tersedia sejumlah pangsa pasar bagi pembaca tulisan-tulisannya.

Keenam, karakter media. Media tentu juga memiliki visi dan misi. Karakter masing-masing media berlainan. Saya punya catatan khusus tentang media-media tempat saya mengirimkan tulisan saya, serta saya gunakan untuk mengirimkan tulisan saya. Biasanya, saya tidak berpikir untuk menulis sebuah kolom atau artikel dengan cara sesudah selesai baru dipikirkan mau dikirim kemana. Ketika menulis, saya sudah tahu tulisan ini ditujukan ke media apa, lalu secara “otomatis” kalimat-kalimat yang saya bangun juga akan “sebangun” dengan media itu. Hal ini memang berat, karena karakter penulis bisa-bisa hilang. Tetapi saya selalu mempunyai sejumlah hal yang menurut saya “khas” saya, sehingga orang mengenali itu sebagai tulisan saya. Saya sebetulnya juga berharap bahwa tulisan-tulisan saya dibaca bukan karena saya penulisnya, tetapi karena ada cita-rasa tersendiri dari tulisan itu.

Ketujuh, sebetulnya boleh ada kutipan (awal, tengah atau akhir tulisan). Tetapi ini konsep yang sangat klasik. Terkadang saya tidak mengutip, tetapi memberikan cerita. Kutipan juga seringkali menjadi sempalan dari sebuah tulisan, karena kalau tidak tepat menempatkannya, bisa-bisa ia menjadi semacam benalu atau kangker. Kutipan yang baik adalah yang bisa menyatu dengan keseluruhan tulisan. Dulu saya mengutip lewat wawancara, sekarang yang makin sering adalah lewat sms. Saya pernah kaget ketika Revrisond Baswir menulis di Republika dengan diawali oleh sms dari saya. Saya juga pernah menulis di Koran Tempo dengan kutipan langsung sms dua orang menteri, tetapi saya tidak menyebutkan siapa menteri itu karena kurang etis.

Sebetulnya apa yang saya tuliskan ini sangat pribadi. Mungkin banyak yang tidak memahaminya, karena memang keluar dari kerangka umum. Sebelum menjadi penulis, bertahun-tahun saya membeli buku-buku tentang penulisan, baik ilmiah atau populer. Banyak teori penulisan yang muncul dalam buku-buku yang mudah didapatkan di loakan itu. Tetapi, ketika saya menulis, tentu buku-buku itu tidak ada lagi di meja saya. Sesekali saya memang perlu membacanya untuk sekadar mengambil jarak atas tulisan-tulisan saya sendiri.

Tips KhususBagi penulis baru atau lama, ada beberapa tips khusus yang saya rasa perlu, terutama untuk “menembus” media massa mapan. Anda bahkan bisa menjadi penulis produktif kalau mempraktekkannya. Ketika saya mempraktekkannya, dulu, saya pernah kaget ketika tanggal 9 bulan itu saya sudah menemukan 10 tulisan saya di media cetak. Artinya, tulisan saya itu lebih dari satu dalam sehari. “Kegilaan” itu tidak

Menjelang Kongres IKASMANDA

Kongres IKASMANDA Kuningan jika tak ada aral melintang bakal digelar awal Oktober’08. Forum ini adalah forum tertinggi dalam IKASMANDA. Puncaknya, kongres akan memilih Ketua Umum IKASMANDA untuk Periode 2008-2011. Melihat perjalanan IKASMANDA sejak didirikan, wadah alumni ini boleh dikatakan masih ’tertatih-tatih’ keberadaannya. Pertama, sosialisasi dan keberadaan IKASMANDA masih jauh dari sempurna. Masih banyak alumni SMANDA yang belum mengetahui keberadaan IKASMANDA. Bahkan, yang lebih penting adalah apakah ada manfaatnya IKASMANDA tersebut. Jangan-jangan memang tidak ada manfaatnya! Kedua, tingkat konsolidasi pengurus IKASMANDA saat ini juga masih terpusat pada beberapa figur tertentu, dibawah kepengurusan Fajar Nugraha. Perlu dicatat, kepengurusan IKASMANDA periode ini adalah semacam test case dari tipe kepemimpinan alumni SMANDA. Periode pertama (Periode 2003-2005) dibawah kepemimpinan Kang Ahmad Fauzi (Smanda’83) adalah tipe kepemimpinan alumni senior yang juga didukung oleh kepengurusan alumni senior (meski beberapa pengurus juga adalah alumni yunior). Pasca kepemimpinan Kang Ahmad Fauzi---karena banyak alumni yang tidak bersedia menjadi calon ketua umum---maka Fajar Nugraha seolah menjadi ’korban’ dalam forum tertinggi tersebut yang digelar tahun 2005. Fajar dengan berbagai keterbatasan energi akhirnya melanjutkan roda kepemimpinan IKASMANDA. Fajar didukung oleh (kebanyakan) alumni-alumni muda yang bersedia meluangkan waktunya hanya untuk mengurus masa depan IKASMANDA. Mereka kebanyakan masih kuliah dan tersebar di beberapa kampus terutama di Bandung. Terlepas dari berbagai kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki Fajar bersama segenap pengurusnya, IKASMANDA masih bertahan. Meski saja dengan stok nafas yang tersengal-sengal.

Jaringan Alumni sebagai Modal Sosial

Semua mungkin masih mengakui bahwa SMANDA dengan ribuan alumni yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia bahkan mancanegara merupakan sebuah asset dan potensi yang luar biasa. Jaringan alumni pada level ini dapat dibaca dalam dua hal penting. (1) alumni merupakan modal sosial yang tak ternilai harganya. Jaringan alumni bukan sekadar potensi ekonomi yang menguntungkan bagi sesama alumni terutama sekolah dengan berbagai sumbangannya. Tetapi lebih konstruktif dari itu adalah, jaringan alumni dapat dibaca sebagai sebuah ‘modal sosial’. Artinya, dengan jaringan alumni dapat meningkatkan relasi, silaturahmi sepanjang masa dan tentu saja menjadi mitra berharga dalam berbagai hal. Mulai dari bisnis, pekerjaan hingga persoalan jodoh. Modal ekonomi cenderung bersifat jangka pendek, tetapi modal sosial relatif lebih permanen dan bersifat jangka panjang. Pertanyaannya, apakah jaringan alumni tersebut dapat dimanfaatkan oleh setiap alumni ? (2) jaringan alumni dapat dibaca sebagai salah satu indikator keberhasilan sekolah---dalam hal ini SMANDA---sepanjang keberadaannya. Sebuah lembaga pendidikan dapat dinilai keberhasilan dari input, proses dan out putnya. Salah satu komponen output adalah tingkat persebaran dan distribusi alumni. Dalam konteks inilah, diseminasi alumni difasilitasi oleh wadah alumni. Lihat saja sekadar menyebut beberapa contoh:Alumni SMAN 1 Boedi Oetomo Jakarta maupun Alumni SMAN 78 Jakarta Barat.

Kebermaknaan IKASMANDA

Pertanyaan menarik adalah:apakah ada manfaatnya IKASMANDA bagi alumni-alumninya?Jangan-jangan memang tak ada manfaatnya bagi setiap alumni. Jangan-jangan lagi, banyak alumni yang merasa tak terwakili oleh keberadaan IKASMANDA. Dan, berbagai jangan-jangan lagi yang muncul sebagai kritik sekaligus tantangan bagi keberadaan IKASMANDA. Berbagai pertanyaan ini akan muncul seiring dengan nilai lebih IKASMANDA bagi para alumninya. Alumni akan berpikir, jangankan untuk tingkat kebermaknaan, lha wong sosialisasinya aja gak jelas. Begitu yang sering terlontar dalam beberapa kesempatan. Persoalan manfaat bagi alumni memang tidak dapat dirasakan secara langsung saat ini dan seringkali juga tidak berbentuk materi yang obyektif. Bagaimana seseorang ‘membaca’ dan ‘memanfaatkan’ wadah alumni (apapun bentuk & namanya:IKASMANDA, IA-ITB, dan sebagainya) akan berbeda dengan orang lain. Paling tidak itu dipengaruhi oleh---misalnya---tingkat awareness organisasi tersebut dimata alumni, kiprah organisasi tersebut dan terutama kemampuan memanfaatkan jaringan alumni tersebut---kaitannya dengan pemahaman tentang ‘social capital’. Pertanyaannya, apakah hal tersebut sudah dilakukan oleh IKASMANDA. Wallahu’alam.

Quo Vadis IKASMANDA

Periode Fajar Nugraha akan berakhir dalam hitungan hari saja.Setumpuk persoalan akan diserahkan kepada kepengurusan baru. Namun demikian, persoalannya bukan sekadar lokomotif IKASMANDA tiga tahun mendatang. Lokomotof IKASMANDA akan berjalan seiring dengan beberapa persoalan yang sudah dijelaskan diatas---tingkat awareness dan tingkat kebermaknaan IKASMANDA bagi alumni---. Jika disederhanakan mungkin terletak pada problem identitas dan eksistensi IKASMANDA. Jika ini bisa direspon dan diselesaikan secara elegen, maka kita akan menemukan jalan dalam mencari lokomotif IKASMANDA. Semuanya kembali kepada alumni SMANDA dalam merespon hal tersebut. Wallahu’alam

Rakhmat Hidayat

Alumni SMANDA’98, mantan Pengurus IKASMANDA Kuningan Periode 2003-2005. Saat ini mengajar di Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

RTH, Ruang Publik dan Kontestasi Ruang Perkotaan

Rakhmat Hidayat

Sejauh ini belum ditemukan literatur yang secara khusus membahas konsep RTH. Kebanyakan konsep ini memang ‘berserakan’ dari berbagai bahan bacaan yang ada. Sebagian berasal dari artikel di media massakotaurban ecology). Dalam pandangan peneliti, masih terbatas mengkaji topik RTH dengan menggunakan perspektif sosiologis. Hal ini perlu dikemukakan, untuk tidak mengatakan bahwa memang tidak ada kajian sosiologis tentang RTH. Studi ini dalam upaya memperkaya kajian sosiologi tentang topik RTH dan hutan kota sebagai sub(urban)ization problems. maupun jurnal penelitian. Penjelasan topik RTH selama ini lebih berkaitan dengan kajian perencanaan (planologi), arsitektur perkotaan maupun kajian ekologi perkotaan (

Secara umum konsep RTH adalah istilah teknis untuk menggambarkan lahan yang dibiarkan terbuka dan umumnya ditumbuhi pohon. Mengapa RTH dianggap strategis menjaga lingkungan sebuah wilayah ? Hal itu mengingat setiap satu hektar RTH dipercaya mampu menetralisasi 736.000 liter limbah cair hasil buangan dari 16 ribu penduduk per hari. RTH juga memproduksi 0,6 ton oksigen yang dibutuhkan 1.500 penduduk per hari, memindah 4.000 liter air per hari atau sama dengan pengurangan suhu 5-8 derajat Celcius.

Dalam sejarahnya, Jakarta pernah memiliki RTH seluas 32.110,30 ha atau sekitar 49,40 persen pada tahun 1970-an. Pada pertengahan tahun 1980-an, RTH sudah menyempit menjadi sekitar 36 persen. Pada tahun 1999, RTH yang masih tersisa hanya mencapai 7000-an hektar atau 11 persen. Sampai akhir tahun 2004 luas RTH yang ada sekitar 6.190 hektar atau 9 persen. Dalam perencanaan tata ruang tahun 2010, Pemprov DKI Jakarta menargetkan memiliki RTH seluas 9.544 hektar meliputi berbagai jenis hutan, pemakaman, ruang-ruang yang berfungsi sebagai pengaman, serta lahan pertanian. Idealnya, berdasarkan penelitian Lembaga Bina Lansekap Universitas Trisakti (2003), sebuah kota sebaiknya menggunakan 30 persen luas wilayahnya untuk RTH.[1]

Peruntukan RTH sudah mengalami banyak perubahan. Sampai tahun 1985, daerah pinggiran sungai dan lembah diperuntukkan menjadi kawasan hijau. Dalam rencana tata ruang tahun 2005, RTH DKI Jakarta terbagi pada tiga daerah yaitu barat laut, timur laut, dan selatan Jakarta. Sayang, dalam perkembangannya rencana tersebut tak terealisir. Pertama, bagian timur laut Jakarta meliputi Kelapa Gading, Cakung, Marunda, Rorotan, Rawa Terate, Pademangan Timur, dan Sunter Agung tak lagi diperuntukkan menjadi kawasan hijau melainkan diperuntukkan menjadi daerah permukiman dan kawasan ekonomi prospektif, yaitu kawasan yang memiliki nilai strategis dalam pengembangan kota. Kedua, bagian barat laut yang meliputi Kapuk, Kapuk Muara, dan Kamal Muara juga bernasib sama karena tingginya kebutuhan perumahan dan perkembangan kegiatan perkotaan. Dalam rencana periode selanjutnya, hanya bagian selatan yang diprioritaskan sebagai kawasan hijau.

Topik RTH sebenarnya berkaitan erat dengan struktur ruang perkotaan yang selama ini berkembang di kawasan urban (baca: Jakarta) maupun suburban yang dalam studi ini direprsentasikan. Problem serius minimnya RTH di kota-kota negara dunia ketiga sebenarnya jika menggunakan analisa Castells merupakan pergulatan kelompok-kelompok sosial yang ada. Castells mengatakan kota dibangun oleh struktur sosio-spasial (sosial-ruang).[2] Analisa Castell paling tidak membantu studi ini bahwa tergerusnya RTH, merupakan hegemoni dari proyek ambisius kekuatan pemodal yang dalam hal ini didukung oleh birokrasi untuk membangun berbagai pusat-pusat komersil. Kekuatan pemodal, jika menggunakan perspektif Castell sesungguhnya adalah kelompok dominasi dalam urban society yang berjuang mengkonkretkan citra dan visi mereka. Singkatnya, Castell ingin bergerak lebih jauh bahwa kelas pemodal perkotaan berupaya memenuhi tuntutan-tuntutan fungsional dan ideologis. Sebagai seorang neoMarxisme, Castell menilai kota merupakan area konsumsi bagi setiap individunya. Surbakti (1995:53) mengatakan bahwa Castell menjelaskan kota sebagai unit konsumsi kolektif, dimana setiap orang memperebutkan pengaruh dan kekuasaan satu dengan yang lainnya. Hasilnya, menempatkan manusia sebagai tahanan system produksi dan distribusi kapitalisme.[3]

Sejalan dengan Castells, RTH sebenarnya jika menggunakan pendekatan yang dirintis Edward Soja[4], merupakan tak terpisahkan dengan fenomena ruang-kota (citycpace), yang dipahami “kota sebagai fenomena histories-sosial-spasial, tetapi dengan spasialitas intrinsic yang ditekankan untuk tujuan penafsiran dan penjelasan”. Jadi, Soja hendak memasukkan problem ruang perkotaan ke dalam analisis sosial. Lebih lanjut Soja menjelaskan tiga perspektif dalam cityspace tersebut. (1) perspektif firtsspace, yaitu ruang-kota dapat dikaji sebagai seperangkat ‘praktik sosial’ yang dimaterialisasikan yang bekerja sama untuk memproduksi dan mereproduksi bentuk-bentuk konkret dan pola urbanisme spesifik sebagai gaya hidup. (2) perspektif secondspace, cenderung lebih subyektif dan berfokus pada “pemikiran tentang ruang”. Ruang kota dipahami sebagai imajinasi, pemikiran refleksif, dan representasi simbolik, sebuah ruang imajinasi yang dibayangkan atau imajinasi urban”, (3) perspektif thirdspace, melihat urbanisme diinvestigasi sebagai ruang yang dihidupkan (lived space) secara penuh, sekaligus riil dan bayangan, actual dan virtual, lokus dari individu yang terstruktur dan pengalaman kolektif. Berdasarkan analisa Soja, RTH dan hutan kota sesungguhnya merupakan upaya masyarakat mereproduksi bentuk-bentuk perkotaan dimana didalamnya terjadi ‘praktik social’. Sehingga, perspektif firtsspace relevan untuk menjelaskan topik RTH dan hutan kota.

Apa yang sudah dijelaskan diatas, tidak berlebihan jika kualitas ruang terbuka kota menjadi sangat memprihatinkan. Sisi sebaliknya, semakin nyaman dan atraktifnya pusat-pusat perbelanjaan. Festival budaya dan karnaval tak lagi digelar di ruang terbuka kota, tapi beralih mengisi atrium pusat perbelanjaan. Danang Priatmojo, pemerhati perkotaan menyebutnya evolusi ruang publik di Indonesia.[5] Konsepsi ruang publik sendiri merupakan sebuah kawasan dimana setiap orang dari berbagai latar belakang, etnis dan strata sosial bertemu dan berkumpul disatukan oleh kepentingan masing-masing. Dalam istilah lain, Habermas mengintrodusir terminologi public sphere. Juliawan (2004) mengemukakan :

“ruang publik yang muncul sekitar awal abad ke-18 digambarkan sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pribadi dan individu-individu dalam kehidupan keluarga dengan tuntutan serta kepentingan kehidupan sosial dan publik yang muncul dalam konteks kekuasaan negara”[6]

Penjelasan Juliawan tentang gagasan ruang publik juga menggambarkan kontradiksi yang sering digambarkan antara kepentingan borjuis dengan kepentingan masyarakat. Habermas sendiri menjelaskan ruang publik dengan menyebut beberapa contoh seperti lembaga-lembaga diskusi publik, media komunikasi, rumah minum, klub-klub politik, asosiasi sukarela, warung kopi, termasuk balaikota yang menjadi ruang terjadinya diskusi sosial politik. Dalam konteks urban sociology, ruang publik dapat dipahami sebagai ruang-ruang terbuka yang terdapat di kawasan perkotaan, dimana setiap orang dengan kepentingannya masing-masing dapat bersinggungan dan melakukan kontak-kontak. Hal itu dapat dijumpai misalnya pada mal (pusat perbelanjaan), taman kota, hutan kota, dan sebagainya.

Pada masa Jayakarta masyarakat mengenal alun-alun lama yang terletak di belakang Kali Besar Barat, Jakarta Pusat, sebagai ruang terbuka publik kemudian kondisinya diperbarui saat Belanda menduduki Batavia yang diadaptasi dengan tradisi plaza di Eropa.[7] Ruang publik yang berada di Plaza Taman Fatahillah itu, ditanam pohon-pohon yang rindang, untuk menyesuaikan diri dengan iklim panas di Indonesia. Sayangnya, kondisi itu tak berlangsung lama. Pada masa rezim Dandels yang juga pemerhati kota, dia mengadakan berbagai perubahan terhadap ruang publik ke arah Lapangan Banteng. Ruang publik itu lantas ditanami dengan rumput dan tanaman yang disebutnya sebagai waterloo plein. Pada 1850, pasca pemerintahan Daendels, pemerintah Belanda memindahkan pusat kekuasaannya di istana. Hasilnya, ruang publik berpindah di Monumen Nasional (Monas).

Babak baru ruang terbuka Jakarta berlangsung pada awal abad 20. Ruang publik dimeriahkan oleh pasar malam tahunan yang sangat terkenal, yakni Pasar Gambir. Ruang terbuka publik pada waktu itu meluas dari sepanjang Monas hingga sisi barat depan Departemen Pertambangan sekarang. Acara ini sekarang lebih popular dengan nama Jakarta Fair. Sayangnya, sekitar 10 tahun terakhir even Jakarta Fair tak lagi digelar di Monas tetapi memanfaatkan lahan di kawasan Kemayoran-Jakarta Pusat. Tradisi membangun ruang publik berbentuk taman kota atau-atau plaza dalam skala besar itu kemudian terputus. Beberapa taman kota di masa lalu telah berubah menjadi pompa bensin dalam skala kecil hingga hotel dalam skala besar.Secara sosiologis, gencarnya pembangunan perkotaan di Indonesia yang didominasi oleh kepentingan kapitalisme akan menghasilkan masyarakat yang secara social tidak sehat (socially unhealthy society)[8]. Karakteristik masyarakat ini sebagian besar menetap di pinggiran kota, kelompok strata menengah ke bawah, sangat bergantung pada pekerjaan di pusat kota, pola hubungan tidak dekat. Oleh karena itu perlu pemerintah setempat perlu meningkatkan kualitas hidup masyarakat kota tersebut. Dan, membangun hutan kota maupun RTH merupakan sebuah keniscayaan.

Ruang publik terbuka merupakan salah satu kebutuhan masyarakat perkotaan saat ini dan itu menjadi paru-paru kota. Di ruang publik terbuka itu warga dapat bersosialisasi melalu berbagai kegiatan seperti olah raga, bercengkrama, rekreasi, diskusi, pameran/bazaar, dan sebagainya. Anak-anak mungkin bisa bermain dengan leluasa dibawah teduhnya pohon-pohon yang rimbun. Warga juga dapat memanfaatkan taman kota sebagai terapi kesehatan dengan menginjak bebatuan sebagai pengganti pijat refleksi.[9] Singkatnya, ini menjadi tempat rekreasi dan olahraga yang menyenangkan tanpa harus mengeluarkan biaya.

Ketidakmampuan Jakarta mengelola RTH seyogyianya dapat belajar dari pengalaman Singapura dalam mengelola RTH yang serius, professional dan konsisten. Pemerintah Singapura melalui Urban Redevelopment Authority (URA) dan Singapore National Parks (Nparks) menyusun Rencana Induk RTH (The Parks and Waterbodies Plan) dengan komposisi RTH (19 persen), perkantoran (17 persen), infrastruktur (15 persen), perumahan (12 persen), dan lain-lain (lahan hijau cadangan, 37 persen)[10] Di Singapura, RTH yang dikelola sebesar 9.053,7 ha, taman sebesar 1.763 ha, hutan kota 2.979 ha, jalur hijau 2.390 ha, lahan hijau cadangan 1.871 ha, taman kompleks istana dan parlemen 42 ha, taman bangunan pemerintah 8,7 ha. Selain itu keberhasilan Singapura dalam mengembangkan RTH juga dilakukan dengan membentuk The Park Watch yang bertujuan memberdayakan masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan RTH secara bersama dan sederajat.

Rakhmat Hidayat adalah Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ)



[1]Seandainya Jakarta Tak Punya Kawasan Hijau”, Kompas, Februari 2005

[2] Evers dan Korff, op.cit, hal. 28

[3] Lihat Surbakti (1995), Dimensi Ekonomi-Politik Pertumbuhan Kota, dalam Jurnal Prisma 1, Januari 1995, hal.53. Lihat juga Schwab (1992), hal 24-25. Schwab menempatkan Castells sebagai neo-marxian urban sociology yang menjelaskan “views the function of the city as economic”.Ringkasnya, kepentingan ekonomi-kapitalis mendominasi ruang-ruang sosial kehidupan masyarakat perkotaan dan suburbanisasi.

[4] Ritzer and Goodman (2004) Teori Sosiologi Modern (Judul Asli : Modern Sociological Theory;diterjemahkan Alimandan), Penerbit Prenada Media, Jakarta, hal. 214.

[5] Mal=Ruang Publik ? dalam Rubrik Fokus Media Indonesia, 19 Juni 2005 hal. 4

[6] Juliawan (2004), Ruang Publik Habermas:Solidaritas Tanpa Intimitas, dalam Majalah Basis Nomor 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, hal. 32-33. Lihat juga, Allan, Kenneth (2006), Contemporay Social and Sociological Theory;Visualizing Social Worlds, Pine Forge, California, hal. 243.

[7] Media Indonesia, op. cit.

[8] Ibrahim, Kehidupan Sosial Budaya Kota dalam Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21;Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia, Yayasan Sugijanto Soegijoko dan Urdi, Jakarta, hal. 200.

[9] R Adhi Kusumaputra, Hutan Kota sebagai Penyeimbang Hutan Beton, dalam rubrik Metropolitan, Kompas, Senin, 17 April 2006

[10] Nirwono Joga, Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau ala Singapura dalam http”//www.kompas.com/kompas-cetak/0412/13/sorotan/1432267/htm (diakses 14/02/2006)

Kurikulum Pendidikan Nasional: Persinggungan Negara dan Neoliberal

Rakhmat Hidayat

Pengantar

Sepanjang negeri ini ada, kurikulum menjadi pembicaraan yang menarik seiring dengan rezim yang berkuasa. Pameo yang mengatakan ganti menteri ganti kurikulum rasanya tepat untuk menggambarkan perubahan tersebut. Pepatah tersebut sebenarnya hendak memberikan penjelasan bagi kita bahwa kurikulum bukanlah sesuatu yang given alias taken for granted, tetapi dia adalah hasil dari konstruksi sosial-politik yang saat itu berkuasa. Ini menunjukkan adanya kontinuitas antara kurikulum dengan kekuasaan. Ironisnya, bagi Indonesia, karena kurikulum menjadi komoditas politik yang dikendalikan rezim maka inipula yang kian menjadikan pendidikan kita semakin carut-marut. Tulisan ini hendak mengurai carut marut kurikulum pendidikan nasional di negeri ini dan bagaimana pergulatannya sejak kolonialisme, developmentalisme sebagai mainstream Orde baru hingga neoliberal yang semakin menancapkan pengaruhnya di berbagai struktur kehidupan masyarakat.

Melacak Jejak Kolonialisme

Perubahan kurikulum yang terjadi di negeri ini---seiring dengan pergantian kekuasaan---semuanya berjalan penuh dinamika bahkan polemik pada saat diberlakukan. Sejarah kurikulum di Indonesia dapat dilacak keberadaannya pada masa pra kolonial. Misalnya, sejak zaman Hindu dan Buddha pada abad ke-5 masehi.[1] Proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh kedua ajaran agama tersebut. Hal yang sama dialami pada zaman Majapahit (abad 14-16).

Kurikulum pada zaman kolonial ketika VOC mengendalikan Indonesia disusun sedemikan rupa dan sudah relatif sangat canggih. Abad 17, pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan sistem pendidikan yang ditujukan untuk mendidik tenaga-tenaga terampil yang dapat dipekerjakan di perusahaan-perusahaan mereka. Waktu itu beberapa jenis pendidikan yang tersedia meliputi pendidikan dasar, sekolah latin (latijnsche school), pendidikan teologi (seminar theologicum), akademi pelayaran (academie der Marine).[2] Pada akhir 1818, pada masa Daendels dikeluarkan peraturan umum mengenai persekolahan dan sekolah rendah. Isinya hanya mengenai ketentuan-ketentuan tentang pengawasan, pengajaran, namun tidak menyinggung perluasan pengajaran bagi golongan pribumi.

Pada 1842 pemerintah kolonial memperkenalkan apa yang disebut indologie, suatu bagian dari ilmu oriental yang dikembangkan untuk tujuan menyiapkan bekal pengetahuan tentang masyarakat negeri jajahan bagi calon administratur yang akan bertugas di Hindia-Belanda.[3] Indologie dalam prakteknya sebenarnya dapat disebut ‘ilmu negara’. Menurut Zed, saat itu banyak ilmuwan sosial yang bergerak di bidangnya ‘mengabdikan’ ilmunya untuk kepentingan kekuasaan atau menjabat pejabat pemerintah kolonial. Secara umum ada dua hal yang dapat menjelaskan indologie yang sudah lama berkembang di tanah air. Pertama, indologie sebagai keahlian Eropa tentang dunia Timur sangat diwarnai oleh bias Eurosentrisme dengan interest ideologi kolonial. Artinya, kontribusi mereka terhadap kebijakan sangat kuat. Untuk menjelaskan ini, pemikir poskolonial Edward Said mengatakan hubungan antarmanusia penjajah dan terjajah merupakan hubungan penaklukan dalam relasi kekuasaan yang seluruh inisiatif pengobjekannya dirancang dalam kerangka orientalis.[4]

Kedua, indologie memiliki kontribusi besar dalam membangun basis ilmu pengetahuan di Indonesia. Indologie dengan sedemikian rupa dijadikan seperangkat cara untuk mengerti dinamika masyarakat negeri jajahan lewat jalan ilmu pengetahuan. Intinya, kaum penjajah sadar betul bahwa dengan indologie-lah, mereka bisa mengkonstruksi (dan sekaligus mendekonstruksi) realitas sosial negeri jajahannya, sesuai dengan kepentingan rezim kolonial. Budaya, bahasa juga pengetahuan hasil dominasi penjajah---meminjam istilah Homi K. Bhaba---si penjajah dan si terjajah tak dapat dihadirkan dalam bentuk yang ‘murni’ karena mereka tak dapat dipisahkan satu sama lain. Mereka mengalami apa yang disebut cultural exchange.[5]

Sistem pendidikan saat itu menekankan kurikulum yang diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan mengisi lowongan kerja dalam administrasi modern, dengan gaji dan hasil yang lebih baik. Saat itu kurikulum pengajaran yang diwajibkan pemerintah kolonial adalah pengetahuan umum (Bahasa Belanda, sastra, dan berhitung). Dalam pandangan Umar Kayam, pola pendidikan yang dikembangkan Hindia-Belanda tersebut hanya berorientasi kepada kebutuhan praktis dari suatu pemerintah jajahan. Kurikulum yang ada saat itu hanya ditekankan kepada pendidikan calon-calon juru tulis (klerk), pegawai rendahan dan pegawai menengah birokrasi kolonial, termasuk lulusan STOVIA dipersiapkan untuk menjadi mantri cacar.[6]

Pada masa pergerakan kurikulum diimplementasikan ke dalam berbagai sistem pengajaran baik umum maupun kejuruan diantaranya dengan didirikan berbagai sekolah kejuruan seperti Sekolah Guru (Kweeschool)[7] di Surakarta pada tahun 1852. Setelah itu menyusul sekolah pertanian, teknik, sekolah kehutanan, dan sebagainya. Puncaknya, pada dua dasawarsa pertama abad ke-20 didirikan sekolah tinggi pertama di Bandung yaitu Technische Hoge School (THS) pada 1922 yang kemudian kita kenal dengan ITB. Saat itu, kurikulum yang digunakan semuanya mengacu ke kurikulum yang dikembangkan Belanda. Diantaranya diterapkan sistem persamaan (konkondantie), seorang siswa dapat meneruskan pelajarannya sampai ke Belanda. Saat itu, banyak dilakukan pengiriman mahasiswa program pascasarjana ke Belanda untuk berbagai bidang studi.[8]

Developmentalisme sebagai Mainstream

Belum lepas dari warisan kolonialisme, indologie perlahan-lahan mulai bergeser ke arah developmentalis yang berkembang pasca Perang Dunia II (1950-1960-an). Indologie yang berkiblat ke Eurosentrisme bergeser ke paradigma developmentalis yang merujuk ke Amerika Serikat. Keduanya saling berkontestasi dan bernegosiasi. Dominasi indologie tetap saja tak dapat dihilangkan karena sudah mengakar begitu kuat dalam mind set orang-orang Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, melalui BP-KNIP merekomendasikan untuk melakukan perubahan mendasar kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Ide ini direalisasikan dengan pembentukan Panitia Penyelidik Pengajaran, salah satu diantara tugasnya adalah menyusun sistem persekolahan pada tahun 1947. Disinilah developmentalisme berhembus kencang sebagai sebuah mainstream pembangunan hampir di seluruh negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Tak ayal, developmentalisme menjadi preskriptif terhadap berbagai dinamika pembangunan yang ada. Ranah pendidikan tak terkecuali menjadi ruang dominan berlangsungnya penetrasi tersebut.

Fase berikutnya, kurikulum pendidikan nasional menyesuaikan diri dengan Keputusan MPRS No. II/MPRS/1960 yang merumuskan mengenai manusia sosialis Indonesia sebagai suatu bagian dari pada sosialisme Indonesia yang menjadi tujuan pembangunan nasional semesta berencana yaitu tata masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Saat itu pendidikan menjadi alat revolusi dalam upaya menciptakan warga negara sosialis Indonesia yang susila, bertanggungjawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun material dan yang berjiwa Pancasila.

Kurikulum mengalami dinamika baru ketika Orde Lama tumbang dan Orde Baru mengambil alih kekuasaan negara. Melalui Tap MPRS No. XXXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan dirumuskan mengenai tujuan pendidikan untuk membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 dan isinya. Pada aras ini Orde Baru semakin mengokohkan kekuasaannya melalui pendidikan. Disana kekuasaan negara menyebar.

Developmentalisme menandakan berakhirnya kolonialisme dan memasuki era neokolonialisme. Ciri utamanya adalah modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung melainkan melalui penjajahan teori, ideologi dan discourse. Periode ini ditandai dengan masa kemerdekaan negara-negara dunia ketiga secara fisik. Namun dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dilanggengkan melalui kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial. Maka teori pembangunan maupun paham developmentalisme sesungguhnya merupakan bagian dari media dominasi. Singkatnya, fase ini kolonialisasi tidak lagi secara fisik, melainkan melalui hegemoni yakni cara pandang dan ideologi serta discourse yang dominan melalui pengetahuan. Dan, instrumen yang digunakan adalah pendidikan.

Fakta developmentalisme menjadi mind set pemerintah Indonesia melalui penetapan kurikulum 1975. Saat itu dibentuk Pembaharuan Kurikulum dan Metode Mengajar (PKMM) yang mana bermuara menghasilkan kurikulum dengan fokus pembangunan dan kemajuan (development and progress oriented) sehingga dapat menyiapkan tenaga kerja yang memiliki watak, pengetahuan dan keterampilan untuk pembangunan bangsa dan negara di berbagai bidang. Setali tiga uang, 19 tahun kemudian. Tepatnya, melalui Kurikulum 1994 secara gamblang merupakan derivasi rumusan GBHN yang menjelaskan bahwa Indonesia sedang mengalami Pembangunan Jangka Panjang II atau dianggap sebagai masa Kebangkitan Nasional ke-2. Semangatnya, hendak diorientasikan kepada pemanfataan, pengembangan dan penguasaan IPTEK. Kebijakan link and match yang digagas Mendikbud Ing Wardiman Djoyonegoro waktu itu pada dasarnya mengandung muatan besar dalam praktek modernisasi di Indonesia.

Antara Kekuasaan dan Ideologi

Pergulatan kurikulum di negeri ini jika meminjam konsepsi Foucault menggambarkan dominasi kekuasaan menyebar dalam dunia pendidikan. Menurutnya, konstelasi kekuasaan menyebar dan bekerja dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pendidikan[9]. Kurikulum merupakan produk pengetahuan yang diproduksi oleh negara. Foucault menjelaskan relasi antara kekuasaan dengan pengetahuan. Dalam bukunya Power and Knowledge, Foucault mendefinisikan kekuasaan sebagai strategi. Artinya, kuasa itu dipraktekkan, kuasa itu ada dimana-mana dan tidak dapat dilokalisir. Kuasa dalam pandangan Foucault menentukan susunan, aturan-aturan dan hubungan-hubungan dari dalam, seperti hubungan keluarga, hubungan seksualitas, media komunikasi, pendidikan dan lain sebagainya.[10] Relasi itu dalam pandangannya merupakan relasi yang bersifat struktural. Singkatnya, Foucault ingin menegaskan bahwa kekuasaan itu inheren ada dalam segala hal, termasuk pengetahuan.

Foucault juga melihat pengetahuan (melalui kurikulum) digunakan sebagai kekuasaan kepada sekelompok masyarakat selain penggunaan birokrasi.[11] Kekuasaan bagi Foucault tersembunyi dan sangat licik. Kekuasaan itu dapat ditemukan dalam kebenaran, diskursus, dan berada diluar tubuh, pikiran serta subyektifitas.

Kontestasi juga dapat dilihat bagaimana negara melalui kurikulum berada dalam proses pembentukan pengetahuan. Berbagai stakeholders seperti murid, guru, orang tua, pemerintah, atau masyarakat berada dalam kontestasi kekuasaan pembentukan pengetahuan.[12] Negara sendiri berupaya mengontrol seluruh proses pendidikan agar mengabdi kepada kepentingan politis penguasa. Dengan demikian, pengetahuan sebenarnya berada dalam posisi undercontrolling negara.

Tesis Foucault semakin menegaskan bahwa kekuasaan sangat dominan dalam konstruksi kurikulum sepanjang Indonesia berdiri. Pendidikan pada masa pra kemerdekaan diorientasikan untuk memenuhi kepentingan kekuasaan kolonialisme, selain itu pendidikan nasional juga dilaksanakan dalam upaya menciptakan nation building dan character building.[13] Pada Orde Lama, kepentingan tersebut masih bertahan. Muatan indoktrinasi sangat terasa dalam atmosfer pendidikan nasional pada saat era Orde Baru apalagi jika penerapan P4 untuk seluruh warga negara. Pasca Orde Baru, semangatnya adalah membangun tradisi demokrasi bagi masyarakat. Namun demikian, jargon yang diusung rezim Orde Baru adalah ‘nasionalisme’ terus menggema dalam berbagai ranah kehidupan. Semua dimensi kehidupan harus bermuara kepada semangat membangun nasionalisme tersebut. Karena negara berkepentingan dengan semangat nasionalisme, maka strategi yang ampuh dilakukan adalah dengan jalur pendidikan. Dalam pemikiran Tim Dant, term nasionalisme ini dapat bergerak secara dinamis dalam tiga ranah yang berbeda, knowledge, ideology, dan discourse. Awalnya, nasionalisme hanya menjadi pengetahuan, tapi dalam perkembangannya akumulasi kesadaran dari ketidaksadaran menghasilkan ideologi, sampai akhirnya melembaga menjadi discourse.[14] Foucault tidak sendirian. Habermas seperti halnya Foucault juga menjelaskan bahwa pengetahuan yang diproduksi manusia tak ada yang bebas dari kepentingan yang mendasarinya (interest free). Ignas Kleden menyebutnya tak ada satu disiplin ilmu yang bebas nilai (value free) dan bebas kekuasaan (power free).[15]

Praktek pendidikan yang dilakukan Orde Baru, jika meminjam Althusser sebenarnya mengalami apa yang disebut ideological state apparatus (ISA)[16], konsep untuk menjelaskan intervensi negara untuk menunjukkan eksistensinya. ISA tidak hanya menyebar di pusat-pusat kekuasaan tetapi juga menyebar di luar kantong-kantong kekuasaan seperti institusi agama, institusi pendidikan. Dalam hal ini pendidikan hanya digunakan untuk menegakkan ideologi dominan penguasa. Dengan demikian pendidikan hanya menjadi alat yang mengabdi kepada kepentingan negara, sehingga keberadaan guru, kurikulum, sarana prasarana adalah instrumen untuk melanggengkan kekuasaan negara.

Dalam pandangan Nugroho, kurikulum menjadi arena intervensi negara melalui pembentukan berbagai konsorsium yang relevan untuk mendukung pembangunan dan distandarisasi menjadi Kurikulum Nasional (Kurnas).[17] Dalam prakteknya, kurikulum tak lagi terkonsentrasi dalam filosofi pendidikan dan pembelajaran, tetapi hanya menempatkan praktik pendidikan sebagai instrumen belaka. Pendidikan ini hanya menghasilkan manusia yang taat pada kepentingan kekuasaan.

Neoliberal;Wajah Baru Kapitalisme

Di akhir abad XX, kapitalisme terus bergerak merumuskan strategi baru untuk mempercepat pertumbuhan dan akumulasi kapital. Strategi itu antara lain menyingkirkan segenap rintangan investasi dengan pasar bebas, perlindungan hak milik intelektual, good governance, penghapusan subsidi dan program proteksi kepada rakyat, deregulasi, dan penguatan civil society dan anti korupsi. Dengan demikian dibutuhkan suatu tatanan global. Sejak saat itu maka gagasan globalisasi dimunculkan. Globalisasi pada dasarnya merupakan kebangkitan kembali liberalisme, suatu paham yang dikenal sebagai neoliberalisme.[18]

Ada beberapa kata kunci dari neoliberalisme ini. Pertama, para penganut neoliberalisme percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari ‘kompetisi bebas’. Cara ini dianggap yang paling tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kedua, intervensi negara harus ditekan seminimal mungkin, pemerintah harus menyingkir dari menghalangi pertumbuhan ekonomi yang berlangsung. Demikian jargon utama yang dikemukakan kaum neolib. Ketiga, berbagai subsidi dihapus karena dianggap bertentangan dengan prinsip pasar dan persaingan bebas.

Pandangan tidak jauh berbeda diungkapkan Steger[19] mengemukakan lima klaim utama globalisasi. Pertama, liberalisasi dan integrasi pasar. Kedua, globalisasi adalah sesuatu yang tak terelakkan dan tak berbalik. Ketiga, tidak seorangpun memegang kendali atas globalisasi. Keempat, globalisasi menguntungkan semua orang. Kelima, globalisasi meningkatkan penyebaran demokrasi di seluruh dunia.

Pendidikan Indonesia bukanlah tempat yang steril dari gegap gempitanya neoliberal. Menjamurnya berbagai ‘proyek’ pendidikan yang dikelola oleh berbagai PTN seperti non reguler/ekstensi/jarak jauh (diluar S1 reguler) atau S2 kelas khusus, kelas jarak jauh, pembukaan cabang didaerah menjadi ragam neoliberalisme tumbuh subur di Indonesia.[20] Sejalan dengan itu, kebijakan otonomi perguruan tinggi bagi UGM, UI, ITB dan IPB sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Hal ini semakin mengafirmasi adanya komodifikasi pendidikan. Dengan status itu memberikan keleluasaan untuk mencari dana dalam pengembangan pendidikan. Kebijakan itu saat ini akan diterapkan ke kampus-kampus lain melalui Badan Hukum Pendidikan (BHP). Pendidikan Indonesia hari ini dihadapkan pada berbagai idiom-idiom neolib seperti komersialisasi, komodifikasi, korporatisasi, akuntabilitas, profitisasi, dan sebagainya. Jika meminjam George Ritzer, inilah era ‘McDonaldisasi pendidikan‘[21]. Alih-alih ingin meningkatkan kualitas pendidikan, yang terjadi adalah membengkaknya biaya kuliah, protes masyarakat muncul karena terjadi marjinalisasi kaum miskin dalam mengakses pendidikan.[22] Singkatnya, pendidikan menjadi arena permainan politik bagi negara, pasar dan pelaku pendidikan yang memiliki otoritas akademik.

Pada sisi lain, kita menjumpai ‘obral gelar’ yang dilakukan berbagai institusi pendidikan. Tak jarang, sangat mudah dan murah mendapatkan ijazah S1. Hanya dengan beberapa juta rupiah ijazah pascasarjana (baik S2 maupun S3) dapat dikantongi. Tidak heran berbagai kasus (calon) kepala daerah banyak yang terjerat kasus ijazah palsu. Apa yang bisa menjelaskan pengarunya terhadap kurikulum pendidikan nasional ? Tentu saja, konstruksi kurikulum nasional terkena imbasnya. Kurikulum jika pada kolonialisme harus melayani dan mengabdi kepada kolonialis, pada developmentalis harus mengabdi kepada rezim modernisasi dan kapitalis. Kurikulum dalam arus neoliberal harus ‘mengabdi’ kepada pasar. Rezim pada fase neoliberal tak lagi dominan seperti halnya di era developmentalisme, tetapi ‘pasar’ melalui aktornya multinational corporation (MNC) dan lembaga finansial internasional (internasional finansial institutions, IFIs) seperti Bank Dunia dan IMF menjadi aktor penting. Pada titik ini, tantangannya adalah budaya akademik versus budaya pasar. Disinilah akan terjadi kontestasi. Budaya pasar perlahan-lahan akan menggerus budaya akademik yang sejatinya harus menjadi produk dan benchmark pendidikan nasional. Sejalan dengan itu, budaya pasar dengan mudah dapat melakukan penetrasi terhadap kurikulum di berbagai jenjang pendidikan.

****

Bahan Bacaan

Allan, Kenneth. 2006. Contemporary Social and Sociological Theory;Visualizing Social Worlds, Pine Forge Press, California.

Anonim, Ilmu Sosial di Asia Tenggara dari Partikularisme ke Universalisme, Jakarta, LP3ES.

Cahyadi, Hari, Louis Althusser Telaah Negara dan Ideologi, dalam Tim Redaksi Driyarkara (Tim Penyunting), (1993), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Penerbit Gramedia, Jakarta.

Calhoun, Craig, et.al (ed) (2002),Contemporary Sociological Theory, Blackwell Publishing.

Dant, Tim. 1991. Knowledge, Ideology, Discourse;A Sociological Perspective, Routledge, London.

Delanty, Gerard.2001. Challenging Knowledge;The University in The Knowledge Society, SRHE & Open University Press, Buckingham.

Hardiman. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas;Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

------------1993.Menuju Masyarakat Komunikatif;Ilmu, Masyarakat, Politik & Postmodernisme menurut Jurgen Habermas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa:Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieui, dalam Majalah Basis Nomor 11-12, Tahun ke-52, November-Desember 2003.

Gilbert, Moore-Bart, (1997). Post Colonial Theory;Contexts, Practices, Politics, Verso, London.

Gandhi, Leela, (2006). Teori Poskolonial:Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat (Judul asli; Postcolonial Theory A Critical Introduction), Penerbit Qalam, Yogyakarta.

Samuel, Haneman, (2002), The Making of Indology:Orientalism in Colonial Relation, dalam Jurnal Masyarakat, No.10 Tahun 2002.

Kleden, Ignas, (1987).Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta.

--------, (1992). Ilmu Sosial di Indonesia;Tindakan dan Refleksi dalam Perspektif Asia Tenggara dalam Ilmu Sosial di Asia Tenggara dari Partikularisme ke Universalisme, LP3ES, Jakarta.

Kayam, Umar (1989), Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, (19 Mei 1989).

Kusumo, Pendidikan Sebelum Masa Kolonial dalam Salim (2004), Indonesia Belajarlah;Membangun Pendidikan Indonesia, Gerbang Madani, Semarang.

Lubis, Akhyar Yusuf (2006), Dekonstruksi Epistemologis Modern. Pustaka Indonesia Satu, Jakarta.

Mudji Sutrisno, Diri dan “The Other”, dalam Sutrisno dan Putranto (ed), (2004). Hermeneutika Pascakolonial;Soal Identitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Pryhantoro dan Nugroho, (2002), Paradoks Modernitas dalam Pembangunan;Diskursus tentang Kapitalisme Menjelang Runtuhnya Orde Baru dalam Jurnal Sosiohumanika, Volume 15, Nomor I/Januari 2002.

Nugroho, Heru, (2000). Menumbuhkan Ide-Ide Kritis, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

----------, Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi:Universitas sebagai Arena Perebutan Kekuasaan dalam Hadiz, Veri R dan Dhakidae Daniel (ed), (2006), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing, Jakarta.



[1]Kusumo, Pendidikan Sebelum Masa Kolonial dalam Salim (2004), Indonesia Belajarlah;Membangun Pendidikan Indonesia, Gerbang Madani, Semarang, hal 219-220

[2] Suryana, Pendidikan Masa Kolonial dalam Salim (2004), Indonesia Belajarlah;Membangun Pendidikan Indonesia, Gerbang Madani, Semarang, hal. 226.

[3]Zed, Ilmu Sosial Indonesia dalam Wacana Methodenstreit, dalam Taufik Abdullah (ed), 2006 Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 57. Lihat juga Kleden, 1987, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Penerbit LP3ES, Jakarta. Bandingkan dengan Samuel, 2002, The Making of Indology:Orientalism in Colonial Relation, dalam Jurnal Masyarakat, No.10 Tahun 2002, hal. 3

[4]Sutrisno, Diri dan “The Other”, dalam Sutrisno dan Putranto (ed), 2004. Hermeneutika Pascakolonial;Soal Identitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal 27.

[5] Lihat Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial:Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat (Judul asli; Postcolonial Theory A Critical Introduction), Penerbit Qalam, Yogyakarta, hal.viii.

[6] Lihat Kayam, Umar (1989), Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, (19 Mei 1989), hal.19.

[7] Kelak sekolah ini menjadi cikal bakal Sekolah Pendidikan Guru (SPG)

[8] Salim, Pendidikan Zaman Pergerakan dalam Salim (2004), Indonesia Belajarlah;Membangun Pendidikan Indonesia, Gerbang Madani, Semarang, hal. 240.

[9]Pradipto, (2004), Pendidikan dan Negara sebagai Konstelasi Kekuasaan;Studi Kasus SDKE Mangunan Sebagai Fenomena Pendidikan Alternatif di Indonesia, Ringkasan Disertasi Program Antropologi FISIP UI, (tidak dipublikasikan), Depok, hal. 5. Baca juga Pradipto (2007), Belajar Sejati versus Kurikulum Nasional;Konstelasi Kekuasaan dalam Pendidikan Dasar, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Buku ini merupakan hasil revisi disertasi Pradipto yang kemudian dibukukan.

[10] Lihat Lubis, Akhyar Yusuf (2006), Dekonstruksi Epistemologis Modern. Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, hal. 230. Lihat juga Ritzer, George (2003), Teori Sosial Postodern (Judul Asli :The Postmodern Social Theory, diterjemahkan Muhammad Taufik), Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 81.

[11] Allan, Kenneth (2006) Contemporary Social and Sociological Theory;Visualizing Social Worlds, California, Pine Forge Press, hal. 289.

[12] Pradipto, op.cit, hal. 12.

[13]Nation Building merupakan istilah yang diintrodusir oleh Soekarno untuk melukiskan proses integrasi nasional. Saat itu, Soekarno menekankan nation building untuk menjaga berbagai kelompok etnis, agama, politik tetap berada dalam satu kesatuan. Kleden, 1992. Ilmu Sosial di Indonesia;Tindakan dan Refleksi dalam Perspektif Asia Tenggara dalam Ilmu Sosial di Asia Tenggara dari Partikularisme ke Universalisme, Jakarta, LP3ES, hal. 11.

[14]Dant, Tim. 1991. Knowledge, Ideology, Discourse;A Sociological Perspective, Routledge, London, 185.

[15]Indigenisasi Ilmu-Ilmu Sosial:Tanggapan Nasional atas Model Pembangunan dan Pembentukan Teori dalam Kleden,1987.Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, hal 21.

[16]Althusser juga mengintrodusir repressive state apparatus (RSA) yang identik dengan sistem dan struktur negara, yang semata-mata berdiri sebagai penyangga kekuasaan yang sah dan eksplisit. RSA menjangkau publik lebih luas dan geraknya bersifat politik. Wujudnya berbentuk birokrasi, lembaga pengadilan dan militer. Lihat Cahyadi, Hari, Louis Althusser Telaah Negara dan Ideologi, dalam Tim Redaksi Driyarkara (Tim Penyunting), (1993), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Penerbit Gramedia, Jakarta, hal. 55.

[17] Nugroho, Heru, Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi:Universitas sebagai Arena Perebutan Kekuasaan dalam Hadiz, Veri R dan Dhakidae Daniel (ed), (2006), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing, Jakarta, hal. 185.

[18] Istilah neoliberal pada mulanya adalah nama yang dipakai para pejuang demokrasi di Amerika Latin untuk menggambarkan watak ideologis kolusi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang ekstrim. Tepatnya pada saat rezim ekonomi-politik Pinochet di Chili (1973-1990). Kemudian, istilah neoliberalisme mulai menyebar. Lihat Priyono, Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan dalam Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), 10 November 2006, hal.6-7

[19] Steger, Manfred (2005), Globalisme:Bangkitnya Ideologi Pasar (Judul Asli:Globalism, The New Market Ideology), Penerbit Lafadl, Yogyakarta, hal. 80-85

[20] Nugroho, op.cit, hal.156.

[21] Istilah ini diintroduksi Ritzer dalam bukunya McDonaldization of Society (1996) yang menjelaskan proses-proses rasionalisasi yang tidak rasional dalam masyarakat modern. Nugroho, ibid.

[22] Nugroho, ibid, hal. 159.


Rakhmat Hidayat adalah Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta.