Pengantar
Konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memang sudah berakhir. Secara legal konflik internal PKB dapat diselesaikan melalui proses hukum dengan adanya Putusan Kasasi MA No. 02/K/Parpol/2006 Tanggal 7 September 2006 yang mengukuhkan Putusan PN Jakarta Selatan No. 1445/PDT.G/2005/PN.JAKSEL, tanggal 5 Juni 2006 merupakan keputusan final yang secara tegas menyatakan bahwa PKB yang sah di mata hukum, aturan perundangan dan kepartaian adalah PKB dibawah kepengurusan KH Abdurrahman Wahid dan Muhaimin Iskandar. Putusan hukum itu kemudian ditindaklanjuti oleh Surat Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) No. M.14-UM.06.08 Tahun 2006 tanggal 11 September 2006 yang berisi pencabutan SK Menkumham No M-11.UM.06.08 Tahun 2005 tentang pendaftaran DPP PKB dibawah kepemimpinan Ketua Dewan Syuro KH Abdurahman Chudlori dan Ketua Dewan Tanfidz Choirul Anam. Kepengurusan DPP PKB pimpinan Muhaimin Iskandar memang lebih eksis. Mereka terus melakukan konsolidasi pasca konflik internalnya. Sebagian kalangan internal PKB mengakui konflik internal tersebut berpengaruh terhadap dukungan massa terhadap PKB. Hal itu karena tak sedikit pendukung dan kiai yang menyebrang ke PKNU. Tetapi, putusan hukum tetap tersebut mampu menjadi ‘amunisi’ bagi konsolidasi partai yang kini tampaknya semakin gencar dilakukan.
Namun, fakta hukum itu belum cukup mengatakan bahwa konflik laten tetap tak bisa dihindarkan. Seteru politik kubu Gus Dur-Muhaimin yaitu kelompok Alwi Shihab-Anam mendirikan partai baru sebagai kendaraan politiknya. Adalah Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) yang kian meramaikan peta politik nasional, khususnya konstelasi politik dikalangan kaum nahdliyin. Fenomena politik inilah yang merupakan babak baru dari perseteruan PKB versi Gus Dur-Muhaimin dan kelompok Alwi-Anam. Selain PKNU dan PKB terdapat juga PPP, rumah lama nahdliyin yang secara historis memiliki peluang yang sama merebut suara nahdliyyin serta masih menunjukkan taring dan prospek politik cukup menjanjikan.
Kehadiran PKNU yang didukung Kiai Langitan/Kiai Khos tentu saja tak dapat dianggap sepele ketika kita membaca politik Indonesia saat ini. Ada beberapa alasan kenapa kehadiran PKNU menarik dikaji lebih mendalam. Pertama, kehadiran PKNU tetap saja tak dapat dipisahkan dari konflik politik berkepanjangan yang terjadi di PKB. DPP PKNU saat ini merupakan representasi dari orang-orang yang dibuang dari kepengurusan PKB versi Alwi Sihab. Kedua, lebih menarik tatkala PKNU harus dibaca dalam konteks jamaah nahdliyin. Tidak lain, kantong suara kaum nahdliyin kian menarik, penuh greget dan tentu saja ‘sangat seksi’ diperebutkan antara PKNU, PKB dan PPP. Menjelang Pemilu 2009 kehadiran PKNU kembali meramaikan persaingan diantara partai-partai yang sama-sama memperebutkan kantong suara kaum nahdliyin. Hal ini mengulang kembali pengalaman Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.
Profil Tulisan
Tulisan ini sama sekali tidak memiliki pretensi politik terhadap PKNU sebagai partai politik baru apalagi dalam kepentingan promosi dan sosialisasi. Tulisan ini sepenuhnya didasarkan pada alasan yang sudah dikemukakan diatas. Secara garis besar, tulisan ini berkepentingan memberikan pengkayaan wacana dan diskusi tentang peta politik Islam khususnya politik Islam dikalangan kaum nahdliyin. Selama ini konstruksi politik dikalangan kaum nahdliyin semata-mata ‘hanya’ dimainkan oleh pengaruh PKB dengan sosok kharismatiknya Gus Dur. Pada saat deklarasi PKB, partai ini sempat diakui sebagai ‘satu-satu’nya yang direstui Gus Dur. Kehadiran PKNU pada dasarnya dapat dibaca juga pertarungan sengit antara Kiai-Kiai Langitan---yang membidani PKNU---versus sosok Gus Dur. Padahal, Kiai Langitan pada awal pendirian PKB berjalan bergandengan tangan bersama-sama Gus Dur. Pada saat itu, Gus Dur mendapatkan basis legitimasi dari Kiai-Kiai Langitan. Sayang, bulan madu antara Kiai Langitan dan Gus Dur harus berakhir. Secara lebih terbatas, studi ini hendak menjawab beberapa pertanyaan, yaitu :
1. Apakah kehadiran PKNU dapat dibaca sebagai ‘rivalitas’ bagi PKB ?
2. Bagaimana posisi PKNU dalam realitas politik saat ini, apakah dia hanya sebatas ‘penggembira’ atau menjadi pemain penting dalam realitas politik sesungguhnya ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut digunakan beberapa konsep seperti hubungan Islam dan politik serta dinamika partai politik Islam dalam konteks historis.
Penjajakan Teoritis
Hubungan Islam dan Politik
Diskusi tentang hubungan Islam dan politik selalu menjadi perdebatan menarik di kalangan intelektual baik intelektual Indonesia maupun kalangan Indonesianis. Sebagian menganggap bahwa diskusi tema ini membosankan. Meski, tak sedikit menganggap bahwa membincangkan hubungan antara Islam dan politik sepanjang masa akan selalu muncul. Effendy seperti mengutip beberapa intelektual seperti Isiah berlin, Sheldon Wolin, Levy Strauss serta David Easton mengatakan bahwa pemikiran politik Islam pada dasarnya masih berada pada tiga mazhab besar[1]. Pertama, Islam dan politik tak dapat dipisahkan. Kedua, Islam dan politik itu bisa dipisahkan. Ketiga, Islam dan politik mempunyai keterkaitan yang erat, akan tetapi hubungannya tidak bersifat legal formal, tetapi substansialistik.
Meski demikian, terdapat beberapa pandangan yang menelaah bagaimana posisi dan hubungan Islam dengan politik. Azra misalnya, mengatakan bahwa tinjauan terhadap hubungan Islam dengan politik dan sistem kenegaraan di masa awal Islam pada dasarnya tidak ada pemisahan antara agama (din) dan politik (siyasah). Ini diilhami oleh faktor kesejarahan awal Islam setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke madinah kemudian membangun suatu bentuk Negara kota (city state) mendorong pemikir Islam, semacam Al Maududi mengapreasiasikan sebagai negara teo-demokratik, karena selain bersifat ketuhanan juga berdasar pada prinsip syura (musyawarah)[2]. Kemudian akibat modernisasi, terjadi proses sekulerisasi oleh pemerintah-pemerintah Muslim mulai pada abad ke-19 yang diikuti munculnya gerakan modernisme Islam di dunia Arab dan anak benua India. Implikasinya, para pembaharu sekuler ini mendukung gagasan pemisahan antara agama dari politik, karena Islam hanya terbatas pada masalah moral dan individu (privat).
Sementara itu dalam pandangan Syamsuddin, paling tidak terdapat tiga gagasan besar hubungan agama dan negara (politik) dalam wacana Islam.[3] Pertama, pandangan integralistik yang menilai bahwa Islam sebagai suatu agama yang serba lengkap yang menghasilkan perspektif bahwa Islam adalah agama sekaligus Negara (al Islam din wa dawlah). Maka, kewajiban berpolitik juga salah satu kewajiban agama. Kedua, pandangan sekularistik yang memandang Islam sebagai agama yang mengurusi persoalan vertikal dan tak mengurusi masalah kenegaraan maupun politik. Kehadiran Nabi Muhammad SAW diutus untuk tujuan tunggal yakni mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dan tidak untuk mendirikan dan mengepalai negara. Ketiga, pandangan simbiosis yang beranggapan bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem politik atau kenegaraan yang baku tetapi hanya menyediakan seperangkat tata nilai bagi kehidupan politik kenegaraan.
Dari kalangan orientalis, Esposito melihat Islam bukan hanya sebagai agama yang bersifat ritual semata, tetapi komprehensif. Esposito mengatakan bahwa Islam tak hanya berdimensi kerohanian, melainkan juga berdimensi kenegaraan. Oleh karena itu, Islam berkembang sebagai gerakan politik. Esposito juga menjelaskan bahwa pemahaman totalitas Islam atau ketidakterpisahan antara Islam dan negara merupakan antitesa terhadap semua program penjajah[4].
Jejak Panjang Partai Politik Islam
Dalam peta politik nasional, keberadaan PKNU tentu saja tak dapat dilepaskan dari keberadaan partai Islam lainnya terutama Partai Masyumi dan Partai NU. Adalah Sarekat Islam (SI) yang didirikan pada 1911 menjadi peletak dasar keberadaan partai politik Islam di Indonesia. Menyusul berikutnya Partai Muslimin Indonesia (Permi) berdiri pada 1930. Tiga tahun berikutnya berdiri Partai Islam Indonesia (PII). Pasca Indonesia merdeka, Majelis Syuro Muslimin (Masyumi) didirikan pada 7 November 1945 yang diakui sebagai satu-satunya wadah partai politik Islam Indonesia. Rintisan awal Masyumi bermula dari Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) sebagai wadah federasi keagamaan sejak masa kolonial Jepang yang didirikan pada 1937[5]. Melalui Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) di Yogyakarta, 7-8 November 1945 disepakati perubahan menjadi parpol Islam[6]. Pada mulanya hanya bergabung empat organisasi yaitu Muhammdiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam. Menyusun berikutnya Persatuan Islam (Persis), Al Irsyad, Al Jamiyatul Washliyah dan Al Ittihadiyah bergabung ke Masyumi. Dalam perjalanannya, Masyumi tidak berjalan harmonis. Berturut-turut pada tahun 1947 dan 1952, PSII dan NU memisahkan diri.
Namun demikian, kiprah Masyumi dalam pentas politik nasional saat itu tetaplah memainkan peran yang sangat signifikan. Paling tidak, pada tahun 1950, itu diperlihatkan dengan sebaran anggota sekitar 10 juta anggota yang tersebar di 237 cabang, 1080 Anak Cabang, dan 4.982 Ranting. Salah satu keberhasilan Masyumi dalam pentas politik nasional karena kontribusi dan dukungan organisasi-organisasi onderbouw-nya, dianyaranya : Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Ummat Islam (PUI), Al Irsyad,Persatuan Islam (Persis), PSII, Al Ittihadiyah, PUSA, Mathlaul Anwar, dan sebagainya. Keberhasilan itu kian dibuktikan dengan perolehan suara dalam Pemilu pertama 29 September 1955. Lebih lengkapnya, perolehan suara tersebut disajikan dalam tabel dibawah ini :
Tabel 1
Perolehan Suara Pemilu 1955
No | Partai Politik | Persentasi Suara |
1. | PNI | 22,3 persen |
2. | Masyumi | 20,9 persen |
3. | NU | 18,4 persen |
4. | PKI | 16,4 persen |
5. | PSII | 2,9 persen |
6. | Perti | 1,3 persen |
Sumber : Rahmatullah (2007), Strategi Politik Islam Partai Bulan Bintang, Tesis Departemen Politik, FISIP UI, hal. 2
Pada 17 Agustus 1960, dibawah tekanan rezim Soekarno Masyumi membubarkan diri. Presiden Soekarno melalui Kepress No. 200/1960 resmi membubarkan Masyumi. Waktu itu Masyumi dianggap ‘kontra revolusi’[7]. Masyumi ketika itu menentang gagasan demokrasi terpimpin yang digagas Soekarno. Bahkan, Masyumi menganggapnya sebagai diktator dengan dukungan kaum komunis. Pembubaran ini dilatarbelakangi penolakan Masyumi terhadap konsep kabinet berkaki empat (PNI, Masyumi, NU dan PKI) serta menentang ajaran Soekarno tentang Nasakom. Menyusul pembubaran Masyumi, beberapa tokohnya kemudian ditangkap dan dipenjara diantaranya Muhammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanudin Harahap, As’at, Prawoto Mangkusasmito, Muhammad Roem, Isa Anshary, EZ Muttaqien, Junan Nasution, Kasman Singodimedjo serta Hamka.[8]
Peralihan politik dari Orde Baru ke Orde Lama, partai Islam mengalami perubahan corak dan bentuknya. Sama halnya dengan pendahulunya, Soeharto tidak mengizinkan Masyumi berdiri kembali bahkan membangun kembali gerakannya. Namun demikian, rezim Orde Baru memberikan izin mendirikan partai bagi golongan Islam modernis dengan nama baru Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang dianggap meneruskan perjuangan Masyumi. Sayangnya, pendirian Parmusi juga tidak lepas dari kooptasi dan rekayasa rezim Orde Baru. Peta politik Orde Baru terus berubah, puncaknya ketika dilakukan fusi beberapa partai Islam---Parmusi, NU, PSII, Perti--- menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), pada 5 Januari 1974. Dalam sistem politik yang cenderung represif dan hegemonik, PPP dianggap sebagai satu-satunya parpol yang mengakomodir aspirasi politik ummat Islam. Disinilah NU kembali memainkan perannya. PPP berjalan tidak lagi berjalan secara harmonis. Menghadapi Pemilu 1977, barangkali bisa disebut sebagai klimaks dari keharmonisan empat parpol Islam dalam wadah PPP. Puncaknya, pada Pemilu 1982, PPP kembali terkoyak-koyak. Akhirnya NU menyatakan kembali ke Khittah 1926 dalam Muktamarnya yang ke 27, 8-12 Desember 1984 di Situbondo. Keputusan NU kembali ke Khittah 1926 intinya NU tidak lagi menjadi pendukung PPP dan memberikan kebebasan kepada warganya mendukung parpol yang ada.[9]
Pembahasan
Konteks Historis PKNU
Dalam manifesto pendiriannya, dijelaskan bahwa PKNU didirikan oleh para ulama sebagai wadah politik untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (iqamatil chaq wal 'adl). Kelahiran partai ini harus dimaknai sebagai kebangkitan nasional "dari" (minal) ulama. Melalui PKNU, ulama menjadi motor menandai kebangkitan nasional kedua untuk melakukan perbaikan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah rusak. Alasan didirikannya PKNU karena :
“didorong oleh keinginan para ulama untuk memperbaiki keadaan bangsa dan negara yang mengalami keterpurukan berkepanjangan di semua sektor kehidupan. PKNU menghendaki terciptanya tatanan sosial dan politik di Indonesia selaras dengan visi keagamaan Ahlus Sunnah Wal Jamaah sehingga tercapai harmonisasi serta menghindari benturan antara agama dan negara (li-islaahil ummah diniyyatan wa ijtima’iyyatan, iqtishodiyyatan wa siyasiyyatan, fiqriyyatan wa akhlaqiyyatan).”[10]
PKNU lahir pada hari Selasa, 21 Nopember 2006 di Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Jawa Timur. Kelahiran PKNU disepakati melalui akad dan mufakat (ittifaq) sejumlah ulama yang oleh masyarakat dikenal mempunyai integritas keilmuan dan bermoral dalam pertemuan Tim Tujuh-Belas. Tim 17 ditambah dua kiai lainnya yaitu KH. Achmad Basyir (Kudus, Jawa Tengah)
KH. Aniq Muhammadun (Pati, Jawa Tengah) yang kemudian menjadi deklarator PKNU. Adapun anggota Tim 17 itu adalah :
Tabel 2
Tim Tujuh-Belas Kiai
(Kesepakatan Langitan Tanggal 21 Nopember 2006)
No | Nama Kiai | Asal Daerah |
1 | KH. Abdullah Faqih | Langitan, Tuban, Jawa Timur |
2 | KH. Ma’ruf Amin | Tenara, Banten |
3 | KH. Abdurrochman Chudlori | Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah |
4 | KH. Ahmad Sufyan Miftahul Arifin | Panji, Situbondo, Jawa Timur |
5 | KH. M. Idris Marzuki | Lirboyo, Kediri, Jawa Timur |
6 | KH. Ahmad Warson Munawwir | Krapyak, DI Jogjakarta |
7 | KH. Muhaiminan Gunardo | Parakan, Temanggung, Jawa Tengah |
8 | KH. Abdullah Schal | Bangkalan, Jawa Timur |
9 | KH. Sholeh Qosim | Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur |
10 | KH. Nurul Huda Djazuli | Ploso, Kediri, Jawa Timur |
11 | KH. Chasbullah Badawi | Cilacap, Jawa Tengah |
12 | KH. Abdul Adzim Abdullah Suhaimi, MA | Mampang Prapatan, DKI Jakarta |
13 | KH. Mas Muhammad Subadar | Besuk, Pasuruan, Jawa Timur |
14 | KH. A. Humaidi Dakhlan, Lc | Banjarmasin, Kalimantan Selatan |
15 | KH. M. Thahir Syarkawi | Pinrang, Sulawesi Selatan |
16 | Habib Hamid bin Hud Al-Atthos | Cililitan, DKI Jakarta |
17 | KH. Aniq Muhammadun | Pati, Jawa Tengah |
Sumber: situs resmi DPP PKNU (diakses 11/12/2007)
Berdasarkan data yang diperoleh, pendirian PKNU melalui serangkaian tahapan yang sangat panjang. Layaknya pendirian sebuah partai politik, didirikannya PKNU juga melalui tahapan musyawarah. Hal itu dapat dilihat adanya pertemuan di Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur, pada tanggal 10 Nopember 2006. Ihwal pendirian partai politik baru sudah disepakati oleh semua kiai/ulama dalam rapat hari Rabu tanggal 6 September 2006 di Graha Astra Nawa, Jl Gayungsari Timur, Surabaya. Rapat ini memberikan mandat kepada KH. Abdullah Faqih (Langitan, Widang, Tuban) dan KH. Abdurrochman Chudlori (Tegalrejo, Magelang). Tugasnya mempersiapkan pendirian partai baru sekaligus melakukan istikhoroh guna memperoleh isyaroh atau petunjuk-petunjuk dari Allah SWT.
KH. Abdullah Faqih dan KH. Abdurrochman Chudlori kemudian mengembangkan menjadi Tim 9 pada pertemuan di Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, hari Kamis tanggal 14 September 2006. Tim 9 berkembang menjadi Tim 17 dalam rapat hari Jum’at tanggal 21 September 2006 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, dan dilengkapi dengan Tim 13 Asistensi. Dari serangkaian pertemuan para kiai/ulama tersebut akhirnya bermuara pada pertemuan puncak Tim Tujuh-Belas di Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, tanggal 21 Nopember 2006 yang menghasilkan 9 butir kesepakatan. Antara lain para kiai sepakat mendirikan partai politik baru bernama Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) sebagai kelanjutan PKB Ulama yang didzolimi oleh pengadilan dan kekuasaan. Puncaknya, 31 Maret 2007, PKNU resmi dideklarasikan di di Pondok Pesantren (Ponpes) Langitan, Widang, Tuban. Acara di ponpes asuhan kiai khos KH Abdullah Faqih itu juga dihadiri ribuan simpatisan PKNU dari berbagai daerah. Sebelum deklarasi dibacakan Choirul Anam---Ketua Umum DPP PKNU---tampil 17 ulama deklarator PKNU. Kemudian dilakukan istighotsah untuk keselamatan bangsa yang dipimpin KH Abdullah Faqih. Setelah itu dilanjutkan penyerahan bendera PKNU---yang sebelumnya diarak dari Surabaya menuju Langitan---kepada Anam. Maka, publik pun mafhum bahwa PKNU dibidani oleh Kiai Langitan atau Kiai Khos. Tak dapat dipungkiri juga bahwa Kiai Langitan merasa dikecewakan dan ditinggalkan Gus Dur. Ringkasnya, Kiai Langitan berada di belakang PKNU.
Berebut Suara Kaum Nahdliyin
Kaum nahdliyin ibarat seorang gadis yang sedang ranum-ranumnya. Dia selalu diperebutkan setiap perjaka yang hendak meminangnya. Metafora itu ingin menggambarkan bahwa sepanjang perjalanan politik Indonesia, nahdliyin selalu menjadi basis massa yang diperebutkan partai politik yang ada. Pada Pemilu 1955 ketika NU masih menjadi partai berhasil mendapatkan suara 18,92 persen. Pemilu 1955 diikuti 28 partai Suara itu meningkat menjadi 18,67 persen pada Pemilu 1971 yang diikuti 12 partai. Pemilu 1977, NU berfusi kepada PPP. Kebangkitan Islam politik pada Pemilu 1999 tidak juga membuat bintang partai NU kian terang. Waktu itu, dari 48 partai politik peserta Pemilu terdapat 10 partai Islam. Empat diantaranya berdiri di lingkungan NU, yaitu PKB[11], Partai Kebangkitan Ummat (PKU) pimpinan Kiai Yusuf Hasyim, Partai Nahdlatul Ummah (PNU)[12], dan Partai Solidaritas Nasional Indonesia (Suni) yang dideklarasikan Abu Hasan[13]. Dalam Pemilu 1999 itu ke-4 partai tersebut memperolah suara seperti yang disajikan dalam tabel dibawah ini :
Tabel 3
Perolahan Suara Partai yang Mengklaim Berbasis NU pada Pemilu 1999
No | Partai Politik | Perolehan Suara |
1. | Partai Kebangkitan Bangsa | 51 kursi (12,60 %) |
2. | Partai Nahdlatul Ummat | 3 kursi (0,64 %) |
3. | Partai Kebangkitan Ummat | 1 kursi (0,23%) |
4. | Partai SUNI | Tidak mendapatkan kursi (0,17 %) |
Sumber : diolah dari berbagai sumber
Menariknya lagi, pada Pemilu 1999 terdengar kabar yang sangat mencuat bahwa diantara empat partai yang ‘berbau NU’ tersebut, warga NU ‘wajib’ hukumnya mencoblos PKB. Sebaliknya, jika warga NU tak mencoblos PKB, maka dia dituding telah ‘keluar’ dari identitas ke NU-annya. Implikasinya, konflik terbuka diperkirakan akan terjadi sengit. Pemilu 1999 menunjukkan terjadinya penggunaan ajaran agama untuk mobilisasi dukungan partai politik dikalangan kaum nahdliyin. Para kiai yang kebetulan menjadi fungsionaris partai politik dimanfaatkan agar dapat memberi fatwa-fatwa untuk memperkuat legitimasi partai di mata warga nahdliyin. Tak pelak lagi, ‘perang ayat’ dan fatwa antar kiai NU pun tak terelakkan. Alhasil, warga nahdliyin rentan terhadap friksi-friksi di dalam, sehingga membuka peluang bagi konflik-konflik terbuka. Faktanya konflik horizontal di kalangan warga nahdliyin memang terjadi. Kasus di Jepara, Surabaya, Pekalongan dan Yogyakarta menggambarkan bagaimana sesama warga nahdliyin melakukan tindakan-tindakan kekerasan terhadap sesama nahdliyin lainnya.
Sebelum Pemilu 2004, sebenarnya sempat muncul Partai Kejayaan Demokrasi (PKD) yang dipimpin Matori Abdul Djalil. PKD lahir akibat konflik berkepanjangan yang melanda PKB dan harus diselesaikan di pengadilan. Matori dipecat dari kepengurusan DPP PKB dan membentuk PKD bersama kader muda PKB, Abdul Khalik Ahmad. Sayangnya, PKD yang dinakhodai kubu Matori Abdul Djalil gagal mengikuti Pemilu 2004 karena tidak lolos diverifikasi. Namun demikian, meski tidak signifikan, kehadiran PKD dapat dicatat sebagai parpol yang ramai-ramai mengklaim konstituen dari kalangan nahdliyin.
Pemilu 2004 tidak mengubah peta perolehan suara partai-partai yang memiliki filogeni---partai yang memiliki sejarah kekerabatan politik--- dengan NU, politik dengan NU. Dalam pemilu yang diikuti 24 parpol tersebut PNUI hanya meraih 0,79% suara, sedangkan perolehan suara PKB melorot menjadi 10,57%. Fakta politik itu sebenarnya dapat dibaca bahwa rendahnya dukungan terhadap parpol yang memiliki filogeni politik dengan NU mengisyaratkan bahwa jam’iyyah tidak identik dengan jama’ah. Dukungan kelembagaan NU tidak identik dengan dukungan umat NU. Tegasnya, niat untuk mendulang suara warga NU tidak cukup hanya dengan menggaet kiai yang berorientasi politik atau menggandeng lembaga-lembaga yang bernaung di bawah bendera NU. Selain itu, fakta ini pun menegaskan bahwa dukungan warga NU yang telanjur tersebar ke banyak partai tidak mudah dihimpun kembali. Kemunculan partai-partai yang memiliki sejarah kekerabatan dengan NU belum menarik simpati nahdliyin.
PKNU:Rivalitas Politik atau Realitas Politik Sesungguhnya ?
PKNU merupakan jalan keluar kebuntuan penyelesaian konflik PKB pasca-Muktamar Semarang. Kehadirannya boleh disebut ijtihad politik sebagian politisi NU karena rumah besar yang difasilitasi PBNU ternyata sumuk dan sumpek. Dengan kata lain, PKNU lahir karena visi politik sebagian kiai NU tak lagi terwadahi dalam PKB. Sejarah telah memaksa wadah politik baru harus segera lahir untuk ikut meramaikan jagad politik NU di kancah nasional. Paling tidak, PKNU diperkirakan akan merubah konstelasi politik NU di mana PKB bukan lagi satu-satunya partai ’milik’ nahdliyyin. PKNU dan PKB bak pinang di belah dua, kedunya memiliki tokoh dan konstituennya yang persis sama. Lumbung suara nahdliyyin yang tinggal di desa akan menjadi rebutan kedua partai tersebut. Sedang nahdliyyin kota akan dibiarkan sebagai massa mengambang yang agak sulit dipengaruhi.
Meski demikian, fakta tak terbantahkan memang menunjukkan bahwa PKNU didirikan sebagai bentuk kekecewaan terhadap konflik internal PKB yang berkepanjangan. Sebagian menganggap bahwa PKNU merupakan ‘barisan sakit hati’ yang termarjinalkan dalam mainstream politik kaum nahdliyin. Apalagi jika melihat pendirian PKNU sendiri melahirkan kontroversi diantara beberapa deklaratornya. Hal itu dikatakan KH Nurul Huda Jasuli, pengasuh pondok pesantren Al Falah, Ploso Kediri. Kiai ini disebut-sebut sebagai salah satu penggagas dan deklarator serta pengurus PKNU. Menurutnya :
“…sama sekali tidak tahu atas terbentuknya PKNU.Iku karangan sopo tah.Waktu pertemuan di Lirboyo baru bentuk tim. Waktu rapat itu saya disuruh tanda tangan. Boten tanda tangan tim sembilan, tapi daftar hadir,”[14]
Menurut Kiai yang akrab disapa Gus Dah, banyak kiai yang sebelumnya ikut Anam, merasa ditinggalkan, termasuk dirinya sendiri. Bahkan Gus Da mengaku terkejut setelah mendengar bahwa namanya masuk menjadi salah satu dewan syuro di PKNU. Potensi konflik internal juga muncul karena para kiai yang awalnya mendukung Anam khawatir bakal didikte oleh Anam Cs. Menurut Gus Da para kiai juga tidak faham keinginan Anam mencatut nama kiai dalam kepengurusan PKNU. Ada kecenderungan beberapa nama kiai sepuh dicatut tanpa sepengetahuannya untuk mendongkrak popularitas PKNU.
PKNU lahir diliputi suasana kebatinan yang tidak sehat, sedang konflik dengan saudara sendiri. Ini menjadi momentum yang kurang pas dan kurang menarik bagi calon konstituen. Mengesankan diri "teraniaya" dengan harapan dapat simpati massa tak dimiliki PKNU. Dalam batas tertentu, kelahirannya barangkali malah menjadi bahan olok-olok kalangan nahdliyyin sendiri. Sekali lagi, kiai NU telah berijtihad politik dengan membentuk partai baru dengan nama PKNU. Kata NU yang tertera langsung sebagai nama partai belum tentu dapat menarik massa nahdliyyin. Apalagi kalau mereka tahu, NU di situ bukan singkatan Nahdlatul Ulama tapi kepanjangan dari Nasional Ulama. Meski demikian, PKNU tetap laku dijual meski tidak selaris partai-partai lain termasuk ‘saudara kandung’nya, PKB. Salah satu alasannya karena dukungan politik dan basis legitimasi dari beberapa Kiai Langitan.
PKNU diantara Kiai Langitan versus Kiai Kampung
Di awal sudah dikemukakan bahwa kehadiran PKNU dapat dibaca sebagai pertarungan pengaruh antara Kiai Langitan yang membidani PKNU dengan Gus Dur. Setelah ditinggalkan Kiai Langitan, Gus Dur tak kehabisan strateginya. Itu dilakukan Gus Dur dengan menggelar kekuatan (show of force) Kiai Kampung dalam wadah ‘Majelis Silaturrahim Ulama Rakyat’ (Masura). Masura dideklarasikan Gus Dur di Jakarta pada Minggu, 18 Februari 2007 lalu dengan menghadirkan 3.000 kiai kampung se-Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Menurut Gus Dur, kiai kampung adalah kiai yang secara kultural langsung bersinggungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Kiai kampung versi Gus Dur berbasis di pondok pesantren, langgar, takmir masjid, guru ngaji, musalah dan para ustadz. Dalam konteks partai, Kiai Kampung ini berada di belakang Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan Gus Dur-Muhaimin Iskandar.
Kehadiran Masura dengan Kiai Kampungnya dapat dibaca sebagai respon Gus Dur atas sikap para Kiai Langitan atau Kiai Khos terhadap Gus Dur. Idiom ‘Kiai Kampung’ muncul ketika di tubuh PKB terjadi perpecahan antara kubu Muhaimin Iskandar yang disokong oleh Gus Dur, dengan kubu PKB pimpinan Choirul Anam yang disokong kiai Langitan/Kiai khos. Sedangkan idiom ‘Kiai Langitan’ muncul seiring dengan mencuatnya nama Gus Dur sebagai salah satu calon presiden (capres) Periode 1999-2004 lalu. Langitan adalah nama pesantren di Kecamatan Widang, Tuban, Jatim---pimpinan KH Abdullah Faqih--- tempat pendiri NU KH Hasyim Asy'ari pernah nyantri. Sebutan Kiai Langitan itu secara langsung maupun tak langsung membuat keberadaan kiai khos meroket. Nama KH Abdullah Faqih, KH Mas Subadar, KH Idris Marzuki dan KH Anwar Iskandar kemudian sangat familiar, bahkan di telinga masyarakat non pesantren sekalipun.[15]
Kesimpulan
Pada dasarnya kehadiran PKNU memiliki pengaruh dalam peta politik kaum nahdliyin. Artinya, saham politik kaum nahdliyin tak lagi didominasi oleh PKB. Kompetisi semakin diramaikan dengan keberadaan PKNU. Meski, kemungkinan suara yang bakal didapatkan pada Pemilu 2009 tak terlalu signifikan. Mungkin kasusnya mirip sama dengan berdirinya Partai Bintang Reformasi (PBR) sebagai ‘sempalan’ dari PPP. Tampaknya PKNU harus kerja keras dan ekstra mendulang suara untuk menandingi kokoh dan solidnya PKB. Bagaimana pun juga PKNU tak bisa menyalip posisi politik PKB. Meski PKNU didukung sepenuhnya oleh Kiai Langitan/Kiai Khos, tapi mereka tidak memiliki sosok yang marketable yang mampu mendongkrak citra, reputasi dan tentu saja perolehan suara. PKB sejauh ini masih diyakini menjadi preferensi utama kaum nahdliyin. PKB masih kuat memiliki kesan di masyarakat sebagai ‘partainya wong NU”. Ada beberapa catatan penting kenapa PKB tetap memiliki daya tarik di kalangan nahdliyyin.
Pertama, selain kelahirannya direstui dan difasilitasi oleh PB NU serta dideklarasikan oleh tokoh-tokoh NU terkemuka (K.H. Ilyas Ruhiyat, K.H. Muchith Muzadi, K.H. Munasir Ali, K.H. Abdurrahman Wahid dan K.H. Mustofa Bisri) adalah juga karena adanya ”putra emas” NU dalam tubuh PKB yaitu Gus Dur sendiri, yang sampai saat ini masih menjabat sebagai Ketua Dewan Syuro PKB. Gus Dur dinilai oleh sebagian warga NU bukan sekedar tokoh NU semata dengan segudang ilmu dan pengalaman, namun juga ”magnet” dengan daya tarik yang sangat kuat. Bisa jadi, hal ini tidak hanya karena sosok beliau dari kalangan ”darah biru” NU, tetapi juga efek dari lamanya kepemimpinan Gus Dur yang panjang selama 3 (tiga) periode di tubuh organisasi keagamaan terbesar di tanah air itu (1984-1999). Bahkan tak bisa dipungkiri, kiprah sebagian politisi NU di negeri ini, khususnya pasca reformasi, tidak terlepas dari peran seorang Gus Dur.
Gus Dur di PKB adalah pimpinan kharismatis yang memiliki tiga basis kekuatan sekaligus: nasab, ilmu, dan massa. Ketika seseorang harus berhadapan secara vis a vis, maka akan menemui kegagalan. Dan seperti biasanya, seorang pemimpin yang telah memasuki dunia kharismatis akan cenderung untuk melakukan sesuatu yang dianggap benar sesuai dengan pikirannya. Jadi, apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang benar sesuai dengan ukuran kebenaran itu sendiri. Dalam banyak hal, orang akan cenderung membenarkan tindakan yang diambil Gus Dur. Sebab dalam logika politik yang terjadi, pemimpin kharismatis tidak akan berbuat salah. Ada kekuasaan adi kodrati yang terlibat di dalam proses pengambilan keputusan itu. Makanya, melawan terhadap kepemimpinan seperti ini akan menuai kesulitan.
Kedua, PKB sudah memiliki imej yang begitu kuat pada masyarakat NU sebagai partainya ”wong NU”, khususnya masyarakat pedesaan. Dukungan massa arus bawah terhadap PKB itu sudah seatle sebagai partai politik yang besar. Sedangkan pengaruh dari kyai-kyai yang berada di belakang PKNU, bahwa pengaruh mereka terhadap keberlangsungan (akhir) PKB ada ketika para tokoh (kyai) di tingkat lokal solid satu sama lain. Kalau tidak solid, maka massa akan kembali ke partai yang dipimpin Gus Dur (PKB).
Bahan Bacaan
Buku Teks
Awwas, Irfan S, Kaleidoskop 100 Tahun Pasang Surut Islam Indonesia
Azra, Azyumardi (1996), Pergolakan Politik Islam;Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga PostModernisme, Jakarta:Paramadina.
Effendy, Bachtiar, Disartikulasi Pemikiran Politik Islam, Kata Pengantar dalam Roy, Olivier (1996), Gagalnya Politik Islam (Judul asli:The Failure of Political Islam), Jakarta:Serambi.
Esposito, John L (1990), Islam dan Politik, Jakarta : Bulan Bintang
Feillard, Andree (1999), NU vis-à-vis Negara;Pencarian Isi, Bentuk dan Makna (terjemahan), Yogyakarta:LKiS.
Noer, Deliar (1985), Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:LP3ES
Romli, Lili (2006), Islam Yes, Partai Islam Yes;Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Sukidi, Desakralisasi Partai Islam dalam Basyaib, Hamid dan Hamid Abidin (ed) (1999), Mengapa Partai Islam Kalah;Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu 1999 sampai Pemilihan Presiden, Jakarta:Alvabeta
Syamsuddin, M. Din (2001), Islam dan Politik Era Orde Baru, Ciputat:Logos Wacana Ilmu
Jurnal dan Karya Ilmiah
Eriadi, Hermawan M (2007), Pengaruh Pemikiran Politik Masyumi di Partai Keadilan/Partai Keadilan Sejahtera, Tesis Magister Departemen Politik FISIP UI, Depok (tidak dipublikasikan).
Rahmatullah (2007), Strategi Politik Partai Bulan Bintang, Tesis Magister Departemen Politik, FISIP UI, Depok (tidak dipublikasikan)
Sa’dun, Moch M (1999), Kalkulasi Politik Islam dalam Jurnal Madani, Jakarta:PB HMI.
Internet
[1] Effendy, Bachtiar, Disartikulasi Pemikiran Politik Islam, Kata Pengantar untuk buku Roy, Olivier (1996), Gagalnya Politik Islam (Judul asli:The Failure of Political Islam), Jakarta:Serambi, hal.vi
[2] Azra, Azyumardi (1996), Pergolakan Politik Islam;Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga PostModernisme, Jakarta:Paramadina, hal. 2-3
[3] Syamsuddin, M. Din (2001), Islam dan Politik Era Orde Baru, Ciputat:Logos Wacana Ilmu, hal XXX
[4] Esposito, John L (1990), Islam dan Politik, Jakarta : Bulan Bintang, hal. 3
[5] MIAI pada mulanya bergabung tujuh organisasi, kemudian pada 1941 naik menjadi 21 organisasi. Pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan secara bersama mulai menjadi kebiasaan pada akhir masa penjajahan Belanda, saat MIAI dibubarkan.
[6] Lihat Noer, Deliar (1985), Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:LP3ES, cetakan III.
[7] Romli, Lili (2006), Islam Yes, Partai Islam Yes;Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, hal. 4
[8] Awwas, Irfan S, Kaleidoskop 100 Tahun Pasang Surut Islam Indonesia.
[9] Lihat Feillard, Andree (1999), NU vis-à-vis Negara;Pencarian Isi, Bentuk dan Makna (terjemahan), Yogyakarta:LKis, hal. 220
[10] Situs resmi DPP PKNU, www.pknu.org (diakses 11/12/2007)
[11]PKB sendiri tidak menyebut dirinya ‘partai Islam’ karena tidak menggunakan asas Islam, sama halnya dengan PAN. Tetapi kedua partai ini sama-sama berbasiskan ummat Islam sebagai konstituen utamanya. Adapun ketiga partai yang mengklaim berbasis NU, yaitu PKU, PNU dan Partai Suni merupakan partai Islam.
[12] Dideklarasikan melalui tokohnya KH Yusuf Hasyim---paman Gus Dur---dan KH. Sholahudin Wahid, adik kandung Gus Dur. Sementara Abu Hasan yang mendeklarasikan Partai SUNI merupakan saingan Gus Dur dalam Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya. Lihat Sa’dun, Moch M (1999), Kalkulasi Politik Islam dalam Jurnal Madani, Jakarta:PB HMI, hal. 25
[13] Sukidi, Desakralisasi Partai Islam dalam Basyaib, Hamid dan Hamid Abidin (ed) (1999), Mengapa Partai Islam Kalah;Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu 1999 sampai Pemilihan Presiden, Jakarta:Alvabeta, hal.50
[14] Kiai Nawawi (Ponpes Sidogiri): PKNU Bukan Partainya Ulama dalam http://dpw-pkbjatim.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=3&artid=18 (diakses 11/12/2007
[15] Untuk lebih lengkap mengetahui profil Pesantren Langitan lihat Salaf yang Kontekstual;
Pondok Pesantren Langitan dalam situs resmi Pondok Pesantren Langitan (diakses 11/12/2007)
Rakhmat Hidayat adalah Pengajar Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar